Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2022

PUISI "TERTEMPEL DI JENDELAMU", Oleh: Erka Ray

 Kisah kita aku tulis pada kaca yang berdebu jendela yang karatan sebab lama tidak dibuka kain yang kumal dan kusam kujadikan dia sebagai penghapus kisah kita yang salah Pada dua kata pertama, kita bersembunyi di denyut-denyut yang masih berusaha dikontrol beringkuk di kata 'lembut' yang masih mitos kisah kita tidak untuk disebut indah Pada kertas putih, garis-garis yang sering berwarna kebiruan, mulai mengotorinya warna abu-abu pensil jadi selingkuhan di putih yang belagak suci apa kita hilangkan saja putihnya keseluruhan? jika kamu setuju akan aku usap darahku di sana sebagai pewarna Jendela yang buram menjadi tempat paragraf-paragraf kita menempel dengan keseriusan menyelinap masuk ke kamarmu yang persegi membaringkan diri, aku ingin istirahat untuk bisa melanjutkan kisah ini Pamekasan, 31 Agustus 2022

PUISI "PERKATAANKU TIDAK BAIK", Oleh: Erka Ray

 Langit didoakan untuk kehilangan birunya pohon disumpahi kehilangan daunnya air dizolimi agar keruh warnanya dan pada akhirnya, aku yang kehilangan Matahari didoakan redup cahayanya pelangi dicuri satu warnanya jalanan mulai cerewet karena berlubang aspalnya aku mendoakan yang tidak baik ucapanku mulai linglung bisakah pikiranku pulang Aku menghina putih yang tidak lagi suci hitam yang tidak lagi menyeramkan merah yang sok kuat aku menghina warna-warna itu mereka terlalu munafik bagiku Sudah, aku tidak suka daun harus berpura-pura renta untuk dikasihani senja harus pura-pura menangis saat akan pergi kenapa penuh drama? perkataan mulai tidak baik aku mendoakan kamu ditinggalkan tubuh sendiri dikhianati senyuman sendiri dan kamu kehilangan semuanya seperti aku Pamekasan, 30 Agustus 2022

PUISI "TUHAN, AKU SAKIT", Oleh: Erka Ray

 Tuhan, apa kakiku masih berguna kenapa tidak bisa kutukar dengan yang lain Tuhan, aku terlanjur menjemawa diri menyebut diri ini bermahkota mengklaim diri ini suci yang dijunjung tinggi Tuhan, aku perindu langitmu yang teduh saat selarik cahaya ada disudut matanya aku langsung menjadi si rendahan yang tak punya apa-apa saat bias rembulan menyapa wajahmu aku menenggelamkan diri di sana Tuhan, aku urungkan untuk menjemawa diri aku urungkan mentahtakan diri ini dari beling-beling yang tidak tahu diri menusuk tidak iba dan tidak peduli Tuhan, tanganku kosong minta diisi aku beri seluruh pengharapanku pada-Mu jangan jatuhkan mata ini karena penglihatannya salah jangan usir diriku dari tempat ini Meski Tuhan, aku lagi-lagi adalah patah yang sengaja dipatahkan aku ranting renta yang coklat tua ingin hijau tapi tidak tahu diri Tuhan, aku urungkan diriku untuk tidak pergi darimu Pamekasan, 30 Agustus 2022

PUISI "MENANGGUNG MALU", Oleh: Erka Ray

 Jika matamu ingin tertutup akan aku persilahkan penglihatan berguguran ini pedih kuselipkan di matamu mukaku berkerut menyapa usia sendiri sesekali aku ingin bermonolog dengan diri sendiri jika kamu ingin terduduk akan aku sediakan satu kisah di mana aku sudah tidak sempurna lagi lupa pada diri sendiri aku mengorbankan diri sendiri untuk kisah yang kosong Di kisah itu aku selalu berdialog dan lupa bermonolog tanganku sibuk menyapa diri sendiri seraya berbisik, tolong berhentilah aku berkerudung malu pada diri sendiri aku ingin istirahat dari ricuhnya pendengaran ini diri ini iba saat harus dijajal kemunafikan Aku menutupi tubuh ini dari malu mulut-mulut yang beringas tanpa ampun menyumpahi kisah ini basi dan tidak menarik lagi Pamekasan, 30 Agustus 2022

PUISI "JIKA KUSAM", Oleh: Erka Ray

 Saat kusam air matamu relakan dia seperti itu saat rebuk tulangmu, tetap relakan dia seperti itu akan ada yang berbeda dari susut manapun senyummu yang selalu gelisah akan tenang pada akhirnya pikiranmu yang campur aduk, akan merindukan kesibukannya lagi Jika kusam pandanganmu tunggu aku di jalan yang sudah remang ada mataku yang siap jadi matamu hingga menjadi mata kita yang saling menjaga Jika tetap kusam petunjukmu ada aku sebagai petunjukmu pada akhirnya saat rambu-rambu jalanan cuma jadi patung yang tidak berguna ada aku dalam dirimu yang renta tapi tetap setia Pamekasan, 29 Agustus 2022

PUISI "ADA AKU UNTUKMU", Oleh: Erka Ray

 Apa jarimu tanggal satu? kamu korbankan untuk apa? apa air matamu kering? kamu kuras untuk siapa? tawamu hilang, siapa yang menjadi malingnya? Tangan ini sudah kucuci bersih siap untuk membelaimu bahu ini sudah cukup kuat siap untuk menjadi sandaranmu Bajuku cukup bersih, jika sudah tidak ada lagi kain untuk menghapus air matamu akan kukorbankan dia demi siapa? tentu demi kenyamanan kita Jika kakimu tinggal sebelah, ada kakiku yang siap jika tanganmu dimutilasi ada tanganku di sini Kita bisa menjadi sepasang meski kekurangannya di mana-mana Sumenep, 29 Agustus 2022

PUISI "APA DAN SIAPA", Oleh: Erka Ray

 Aku kehilangan kata untuk mendeskripsikan kita kita ini apa warna pada bunga? putih pada awan, atau biru pada langit? Kita ini apa, aku sampai kehabisan kata-kata untuk dijadikan seserahan aku kebingungan di tanah lapang tidak tahu arah barat, kukira selatan Apa kita adalah kelopak mawar yang tidak cukup menutupi rasa malu atau kita hanya sekedar awan yang bersandiwara menangis untuk menyejukkan tanah mungkin kita hanya pohon-pohon yang sibuk menggoda dirayu angin, dia jual mahal Kita jalang yang mengemis pada langit tangan kotor, lalu mengambil bunga untuk membersihkan merusaknya, membuatnya tidak layak lagi untuk dipandang Kita ini apa? Kita ini siapa? Pertanyaan yang membuat muak langit malam tempat pulang peraduan yang tidak lagi nyaman padahal kita butuh itu Sumenep, 29 Agustus 2022

PUISI "KOPI SUSU", Oleh: Erka Ray

 Dengan cangkir berwarna putih antara putih dan hitam berebutan ingin bersamanya padahal mendekap asap dan wanginya jauh lebih hangat mengepul di sela-sela senyummu Warna hitam yang mengklaim dirinya manis padahal ada gula yang tidak rela bersanding dengannya ada hiasan bunga di cangkirnya yang cemburu tapi juga ada cangkir yang bahagia bersentuhan dengan bibirmu Sepagi ini tangan sudah angkuh katanya, kamu milikku langsung dia peluk dirimu digenggam tidak mau lepas Antara panas dan manis, ingin mendominasi mulutmu ingin jadi juara di sana ingin diseruput olehmu dimanja oleh lidahmu dia suka katanya berlama-lama di mulutmu Secangkir dua cangkir satu tegukan atau dua tegukan, nikmat menyatu dalam cangkir dengan warna hitam dan putih yang saling berperang untuk menyatu Sumenep, 29 Agustus 2022

PUISI "SEPENGGAL KISAH SAAT SUBUH", Oleh: Erka Ray

 Dari sudut-sudut gelap yang belum terdapat mentari telinga lebih dulu disapa olehmu dahi melanglang buana ke sampai ke tanah saling membenturkan pelan tangan juga tidak mau kalah menjunjung tinggi dirinya ada ucapan ulang sedang dirajut pada langit Tumbuhan-tumbuhan masih menunduk tertidur pulas dari semalam daunnya sendu sebab teringat akan jatuh tapi selalu tahu kalau di berarti tak lama mereka didekap dengan kalimat-kalimat indah yang menyejukkan ke semua penjuru Tubuh-tubuh tak rela meninggalkan kekasihnya meringkuk di kata 'sebentar lagi' hingga akhirnya sudah tidak tahu sampai di mana Air tidak pernah iba saat di pagi hari langsung menusuk dengan dinginnya berusaha membangunkan kita sudah harus saling berhadapan meminta menengadah untuk diri sendiri untuk di sekeliling kita dengan tubuh-tubuh yang berpakaian rapi kita mulai mencium tanah mendekap diri dengan hidmat Sumenep, 29 Agustus 2022

PUISI "AKAN TETAP KUISI", Oleh: Erka Ray

 Ingin kuisi dengan yang lain kertas-kertas putih itu bukan lagi puisi yang menangis atau opini yang tertawa juga bukan cerpen yang sibuk mendamba Aku ingin mengisi dengan yang lain berbeda dari biasa yang sering aku tulis tidak seperti senyummu juga tidak dengan tatapanmu lalu dengan apa? itu juga menjadi pertanyaanku Kertas ini hanya tidak boleh kosong jangan biarkan pena jadi pengangguran jangan biarkan juga penghapus jadi raja di sana lalu dengan apa? apa dengan ocehanmu yang tidak bisa kumengerti atau cukup dengan kata cemburu yang sibuk mencari orangnya Akan tetap aku isi meski pikiran sudah berlari lebih dulu untuk mencari temanya pena sudah gelisah akan menjelaskan apa pada huruf-huruf yang sibuk dengan tanda tanya mungkin cukup memberi namamu di sana sudah bisa memberi penjelasan pada semuanya Sumenep, 28 Agustus 2022

PUISI "AKU DI SEBELAH KIRI", Oleh: Erka Ray

 Cita-cita dan duka beriringan di pipimu menjadi pewarna warna merah yang kurang senada manjadi air mata yang hilir mudik di pipimu perkataan kotor yang merusak kesucian mulutmu Aku mendekap diri sendiri menggandeng jemari harapan ini tertidur di sana lumpuh kakinya resah hatinya senyuman digantung pada bibirmu menjilati kemunafikan sendiri tidak merespon terus memberontak di sebelah kananmu Jika aku ada di pipi kirimu aku akan hapus siapapun di sebelah kanannya tidak suka tidak tenang aku ada di sini, kamu tidak butuh yang lain yang lain pergi terbirit-birit sampai penglihatan perguruan di sekitarmu tenang, aku di sini di sebelah kiri yang kau duakan Siapa? tentu bukan itu saat tidak ada yang lain ada aku yang sesekali hanya dilirik tidak menoleh sempurna Sumenep, 28 Agustus 2022

PUISI "TANPA JUDUL", Oleh: Erka Ray

 Gedung-gedung tinggi melebihi harapan yang dibangun tiang-tiang lurus, lebih lurus dari pendirianku tidak bisa lebih rendah dari atap genting yang berlubang Tangan-tangan menyelinap di antara kabut pagi dan mentari saling adu kecepatan untuk maju saling iri pada tangis yang lebih dekat denganmu kaca-kaca yang berdebu masih lebih sering disapa tanganmu dibandingkan aku Kita sudah tak layak bertanya kaca ini untuk apa jika hitam yang tak bisa digunakan untuk berkaca dan gedung itu untuk siapa dan langkah kaki ini mau kemana Jalanan yang jadi background dengan backsound pilu tapi latar waktu yang tak menentu dan aku sebagai tokoh figuran yang berdiri tidak dipersilahkan duduk yang ada di jalanan tapi tidak menepi Sumenep, 28 Agustus 2022

PUISI "UNTUK MAJU", Oleh: Erka Ray

 Kaki-kaki ambisius menginjak tanah menerka-nerka kapan akan menjadikannya pendamping jari-jari lihai menuliskan takdir menyerbu pikiran mengecam hati yang sering resah Angin jadi penerus dari langkah selanjutnya membisikkan pada telinga kalau untuk bangkit harus rela jatuh membelai lembut pipi katanya, tidak apa-apa kehilangan tangisan Terus maju di kerikil yang menjerit saat diinjak angin-angin yang memberi semangat anak rambut bersorak saat melihat garis hadapan Citaku sudah di depan mata Terus ambisius untuk maju darah di kaki dilupakan keringat diabaikan kita bisa tanpa iming-iming janji dari mulut sendiri bisa tanpa tangis dari mata sendiri Sumenep, 28 Agustus 2022

PUISI "TERIMA KASIH", Oleh: Erka Ray

 Terima kasih, Saat kupu-kupu hanya hiasan di matamu yang pada akhirnya tidak menggoda Terima kasih, Saat warna-warna pelangi tidak lagi membuat iri dan tubuh-tubuh ini tidak lagi mengeluh lesu Tidak ada yang bisa ditukarkan selain jiwa-jiwa yang berusaha tenang ingin terbang di antara matamu yang indah ingin diam di kepalan tanganmu yang didamba Hanya bisa menerima meski tidak tahu apa yang bisa diberi Tapi duri-duri itu tunduk padamu tahu siapa yang kuat selama ini tahu jika lidah berdarah-darah untuk di sisimu Terima kasih, sudah mengorbankan tangis sudah tidak lagi resah Sumenep, 28 Agustus 2022

PUISI "PUISI ITU", Oleh: Erka Ray

 Puisi-puisi renta ini  adalah aku yang sudah mengorbankan hurufnya adalah aku yang kehilangan bait pertama merelakan bait yang di tengah untuk tanggal Puisi-puisi yang menagis itu  adalah aku yang sudah rela kehilangan irama saat membaca adalah aku yang sakit punggung demi memikulmu Di puisi yang sudah mulai berpaling itu ada aku yang tak lagi menarik untuk jadi tema aku yang tak lagi nikmat untuk dinikmati Puisi-puisi di bab awal itu sudah direnggut kesuciannya sudah dibarter maknanya tidak bermakna tidak bergairah tidak punya lagi kaki tidak lengkap baitnya pendek barisnya Sumenep, 27 Agustus 2022

PUISI "MUNGKIN BISA DISEBUT RUMAH", Oleh: Erka Ray

 Yang bisa kusebut nyaman yang bagaimana? apa yang atapnya tidak berlubang yang dindingnya tidak lagi menjerit karena retak apa yang kasurnya ribut ingin menjadi yang utama atau yang lantainya sering menyakiti karena licin Yang mana? apa yang berdinding putih yang mengaku suci atau abu-abu yang katanya tidak akan memihak atau justru yang dapurnya terlalu wangi hingga membuat ingin datang Jika yang seperti itu akan aku filter dindingnya menjadi putih tulang yang katanya sudah terlalu sakit untuk bisa disebut putih akan kubuat dindingnya meredam jeritan karena luka akan aku buat dia teduh dengan jendela yang tak lagi ditampar angin dari luar Bisa kusebut dia sesuai definisinya? tempat pulang yang harus jadi nyaman tempat pulang yang mengikat tubuh diam-diam jika iya, definisi ini cocok untuk rumah tua yang tak lagi layak kupeluk dengan luka Sumenep, 27 Agustus 2022

PUISI "TUBUH INI TIDAK KUAT", Oleh: Erka Ray

 Tubuh ini meringkuk di sela-sela penglihatan yang harus rela buram tertatih saat membaca mengeja yang selalu salah kata bernapas yang terasa dipenggal Tubuh ini terbujur kaku di sampingmu diam, tidak berbicara untuk yang kesekian gaduh, untuk menutupi rahasia renta di senyummu yang kian memikat rasa tidak bisa kusebut apa-apa lesu lemas yang tak hidmat lagi Tubuh ini terkapar di depanmu dengan tangan yang terkepal ingin membuat langit iri dengan dahi yang diukir namamu tapi masih kurang dalam kurang resah di napasmu yang mulai terengah kurang kuat di kakimu yang lemas Masih menatap mengerjap untuk bisa merapa hatimu Sudah, tidak perlu sentuh tubuh ini dengan ucapanmu jangan diraba dengan semangatmu dia tuna rungu yang tak mau peduli dia ingin netral dengan jari-jari meminta digenggam Sumenep, 27 Agustus 2022

PUISI "JANJI BASI", Oleh: Erka Ray

 Remuk yang berusaha diredam pada penglihatan tangan-tangan lihat memanipulasi lewat tulisan tubuh berlenggak-lenggok dengan ucapan kertas-kertas mulai bermain peran Pengeras suara terhias dengan tawanya ditempel pada kertas-kertas yang bernomorkan satu dua jas hitam tersenyum jadi bukti pangkat tinggi menanam janji di lidah orang banyak Pikiran mulai terhampar jauh menginjak kaki-kaki yang lusuh akibat tanah memberikan iming-iming akan mencucinya bersih tapi ujungnya hanya dilap dengan kain basah lalu ditiup janjinya yang sudah tak berbentuk Diikatkan di leher diberi naungan filter-filter yang meresahkan sangat memanipulasi mengiris lidah mengaduk isi perut yang tak henti-hentinya membenci janji Sumenep, 27 Agustus 2022

PUISI "DI UJUNG WAJAHMU", Oleh: Erka Ray

 Kusut di bibirmu tidak membuatku resah buram di matamu tidak membuatku buta tidak juga membuatku pincang kaki Bila sudah kuinginkan kabut bisakah angin berkorban untuk menghilangkannya Nyatanya sisi di sampingku kurang nyaman untuk disinggahi kabut Ada yang saling sahut-sahutan tapi tetap membisu tangan meraba di perkataan sendiri melata di lidah sendiri Basahnya air hanya cukup jadi pelengkap bukan membasah lalu sepersekian detik kering lagi yang ditukar dengan dengki Kisah di separuh wajahmu bisakah ditukar dengan alas lama yang tak mau bercerita? Maukah jika kutukar dengan buramnya kisah ini akan ku bersihkan terlebih dahulu kisah di awal bab yang mencumbui bibir ini bisakah sanggup untuk tidak terus berbicara saat kisah ini tak juga selesa Sumenep, 27 Agustus 2022

PUISI "KISAH SEDIH MAWAR" Oleh: Erka Ray

 Kurang lebar kurang menutupi kurang panjang hanya sebatas menutupi penglihatan warna merahnya hanya mampu menempel di pipi tidak mau berkencan dengan bibir Ingin sama saat hanya hitam yang mendominasi ingin menutupi pendengaran tapi layu di tanganmu tempo lalu tertidur pulas didekapanmu waktu itu merintih sakit di hadapannya menangisi luka di kakinya Tubuhnya penuh luka saat disapa dipetik terlalu keras bekasnya kontras senyumnya dihapus paksa tidak suka katanya Mawar ini tertunduk dia bilang, matanya tidak berguna membenci warnanya sendiri meronta resah pada tubuhnya sendiri sakit di jarinya yang diiris kisah sendiri membuatnya mundur "aku tidak sanggup", katanya, Mukanya diletakan susah memahat di muka sendiri bingung ingin membuat bentuk yang seperti apa, katanya Pamekasan, 27 Agustus 2022

PUISI "TIDAK TAHU TUJUAN", Oleh: Erka Ray

 Pohon-pohon menunduk di barisannya air mata gugur di daunnya sedih di warna coklat tuanya kehilangan semangat di rantingnya Akar-akar diam membisu di tempatnya ingin mengganti cuaca hari ini ingin menolak kisah yang mulai resah saat diceritakan Ingin menolak bab pertama yang yang harus membuat daun-daun cemburu Dia membiru di jalan-jalan yang mulai sepi bertanya untuk siapa warna hitam pada aspal jika untuknya, dia tidak butuh itu dia tidak tumbuh di sana tanah-tanah mulai menaruh iba pada diri sendiri sudah lama tidak bersenggama dengan air yang membuatnya sejuk dengan angin yang sibuk menggodanya Berdiri tegak sepanjang usianya dia tidak tau apa takdir daun memang harus kehilangan warna hijaunya dia tidak tau apa usianya dibuat cemburu oleh kematian ingin memilikinya secara utuh Pamekasan, 27 Agustus 2022 *****

PUISI "SEMANGKUK KUAH", Oleh: Erka Ray

 Asap-asap yang mengepul dibalik matamu ada aku ujungnya yang akan segera hilang warna merah pada kuah kalah pekat dari merah darahku yang merana dia resah kalau saing lebih pedas dari yang lain Mie yang berukuran sedang, masih terlalu pendek dibandingkan yang lalu sudah tercampur di telur yang meminta asin di lidahku yang hambar Sudah masuk satu suap masih kalah menggoda dibandingkan kuah Seblak ku yang menjerit meminta ditelan aku merasakan enaknya jadi kamu seputih mangkuk yang memintamu utuh di sana juga Semerah yang h telah kau lumpuhkan keberadaannya hingga surut di mataku yang perih tidak berair mata Dua suapan, hambar kusandingkan dengan lidahku yang banyak maunya aku cekcok dengan rasanya masih tidak paham kenap bisa kamu bersanding dengan yang lain Pamekasan, 26 Agustus 2022

PUISI "AKU PEMILIKMU", Oleh: Erka Ray

 Sepagi ini siapa yang berani memelukmu selain aku sepagi ini, siapa yang rela dingin demi senyummu siapa yang rela bertengkar dengan angin demi membelai rambutmu akan aku jawab lantang, tentu aku Apa membenci mawar yang berusaha menyaingi keindahanmu aku tidak suka pada air matamu yang dengan semena-mena menyentuh pipimu aku iri pada alas kakimu, selalu kau cari saat hendak kemana-mana Apa aku harus mengadu pada embun yang hendak luruh Jika diperbolehkan, akan aku katakan aku menyelimutimu dengan doaku aku mengikat namamu pada lidahku menelan mentah-mentah harapan demi harapan di mulutku lalu aku memasungmu di penglihatanku menjadikanmu objek nyata yang bisa kusebut milikmu Siapa yang rela panas demi ingin menghampirimu? akan aku jawab, Aku orangnya Dengan kaki yang hilang sebelah sebab ditebas lidahmu Pamekasan, 26 Agustus 2022

PUISI "BISA BERTANYA UNTUK SIAPAKAH", Oleh: Erka Ray

 Kaki ini terjatuh di matamu yang merah menyala Kaki ini pincang di pembicaraan terakhir kita kaki ini kesakitan saat akan melangkah bersama harapan kita Bunga-bunga jadi background yang indah di rambutmu dia bangga menyebut dirinya sebagai perindu juga pecandu yang kehilangan jiwanya Dia tahu dia gelandangan tapi dia bangga dengan iming-iming yang gaetkan di telingamu Kaki ini mengemis sambil terseok di lidahmu meminta tempat di mana sekiranya yang nyaman meski hanya tipuan Jari-jarinya angkuh di pipimu yang ingin dia miliki tapi juga dengki pada jari tanganmu yang mendahului Apa kaki ini cukup? apa kaki ini bisa bertanya, Untuk siapa dia ada? untuk siapa langkahnya yang tertatih? untuk siapa dia dengki dan menjadi pecandu? jika kulit berbaik hati jadi yang pertama menjawab, maka sebutkanlah, apa posisiku sebentar Pamekasan, 26 Agustus 2022

PUISI "KITA SUDAH DI SANA", Oleh: Erka Ray

 Sudah di mana? kerikil yang menjerit diinjak mengemis tangan menengadah meminta sudah Ingin terang tapi gelap mendominasi Di mana? Di jalan-jalan yang rumputnya jadi jalang melambai seraya berucap, aku murah diujung bibirmu tapi aku dipaku di tepi jalan ini kerikil yang tak henti-hentinya berdosa ranting-ranting pohon pinggir jalan yang meminta lepas tubuhnya sudah direnggut usia sendiri Kita di simpang tiga yang membuat bingung saja tidak mau mengalah pada rambu-rambu yang semangat memberi arahan tapi telinga tuli ditebar di sepanjang jalan tidak berguna tidak mendengar mulut hanya segelintir dari anggota tubuh yang lalai lalai memberi tahu dan lalai tahu Di mana? sudah di sini di jalan yang katanya siapa untuk siapa dia punya kerikil yang siap tak tajam demi angkuhnya digadaikan sudahkah di sini? Pamekasan, 25 Agustus 2022

PUISI "DEFINISIKAN SENDIRI", Oleh: Erka Ray

 Secemburu apa aku dengan matahari jangan tanya itu sekarang jika bunga sudah merintih sakit jika awan sudah menangis pilu tanah meminta basah dan padi-padi tak ingin tua Sesakit itu aku saat harus mengemis kalimatnya lengkap paragrafnya bermakna dan impianku untuk memberi kenyamanan Cemburu, entah termasuk kata apa tapi jadi duri saat sudah dirasakan secemburu apa saat bunga rela mengorbankan tubuhnya saat harus memusuhi warnanya Secemburu apa, jangan ditanya sekarang jika matahari sudah jadi yang kedua dia memusuhi cahayanya sendiri mengorbankan diri sendiri yang dicintai Pamekasan, 25 Agustus 2022

PUISI "GAGAL", Oleh: Erka Ray

 Suara-suara speaker yang diletakkan ditempat tinggi malu-malu menyebarkan suaranya ke telingaku terdengar mendayu ingin disapa mengitari muka ingin menjadi tangisku, katanya Suara-suara indah itu membelah langit-langit gelap di pagi hari menyapa awan membenci angin iri pada fajar, padahal dia juga terlupakan memuja mentari dengki pada embun lalu dia berbicara semaunya Suara ini, pamit duduk di pangkuanku ingin membuatku jatuh cinta ingin membuat orang-orang tergerak dengan suaranya ternyata memenuhi satu ruangan tidak membuatku tenang tidak ada yang memeluk tangisnya raga-raga jauh dari tempat pulang juga jauh dari pandangan tidak ditempatkan yang sudah disediakan malah memilih meringkuk di dalam selimut Pamekasan, 25 Agustus 2022

PUISI "TIDAK BENAR", Oleh: Erka Ray

 Jatuh duduk diam selama ini kaki masih setia bermesraan dengan jejaknya sen jatuh, kaki masih di situ untuk jadi yang pertama membantu diam, juga masih tidak bergerak Sudah sampai mana simpang tiga yang beradu argumen kebenaran merebut jalan terbaik untuk memanipulasi masih merayu untuk dikatakan murahan tapi masih tidak bisa disebut rendah Sudah di titik tapi masih cemburu pada koma masih memfitnah alenia selanjutnya Mulai menulis cerita jatuh tapi jahat membuat diri sendiri jadi tokoh antagonisnya yang sigap, tapi dalam diamnya saja tidak bergerak meski hanya untuk membuat cemburu tokoh pendamping Lalu apa benar ingin maju tapi berjalan mundur ingin memberi titik tapi malah memaksa koma jadi penutup Pamekasan, 24 Agustus 2022

PUISI "APA SUDAH TERIKAT", Oleh: Erka Ray

 Tali-tali yang kutabur di mukamu waktu itu, telah menjerit lesu merusak penglihatan yang sedang bermanja-manja dengan objeknya menyakiti ludah yang terbuai pada kemanisan padahal bukan diri sendiri yang sakit Tali-tali ini singgah di matamu dengan anggun mengikat kita yang terpaksa diikat menyita waktu yang ingin cepat-cepat bibir ini merah karena gelisah ingin mengucapkan, tapi tetap ditahan Jika menjadi angka di jam, kita tidak pernah se dekat angka dua jam jam yang setia tampaknya kita cukup jauh antara jam enam dan dua belas apa kita cukup untuk itu? jika tidak beri aku jalan untuk menyeret tubuh sendiri Apa kita sudah terikat, apa kita sudah saling menyakiti meski tak pernah sesederhana Langit untuk bumi tidak juga tanah untuk tumbuhan yang rela diracuni Pamekasan, 24 Agustus 2022

PUISI "MENCARI AKU", Oleh: Erka Ray

 Selama beberapa hari ini aku mencari aku di warna abu-abu yang kuinginkan putih warna merah yang berusaha kuat hitam yang berusaha kejam tapi aku tersesat di warna biru yang berpura-pura lembut Aku masih mencari aku di garis buku yang berjejer rapi juga pada paragraf pertama yang harus menduakan idenya dengan paragraf selanjutnya Tapi lagi-lagi tersesat pada huruf awal yang berselingkuh dengan imbuhannya Jika aku sudah menemukan aku apa aku akan menguliti lidah sendiri apa masih harus bersedih hati atau berdamai dengan hati Diri sendiri bilang, aku ada di sisi bayangmu yang kusamarkan dengan air mata ada di tawa-tawa yang ditempel paksa merah yang angkuh ingin pekat dan putih tulang yang terus bercita-cita putih Pamekasan, 24 Agustus 2022

PUISI "MASIH PERLUKAN AKU", Oleh: Erka Ray

 Mikrofon yang kau genggam siang ini adalah aku yang kau bisiki dengan hikmat dan kabel-kabel itu juga aku aku yang kau lilit dengan diberi iming-iming janji Karpet merah ini, katanya mau kau jadikan tempat lukis dengan tinta yang juga merah aku tidak paham, apa mataku harus telanjang untuk melihatnya penglihatanku cukup buram di tantamu Apa aku masih mikrofon yang kau genggam itu? jawab, jika sudah tidak aku akan matikan suaraku agar tidak mengganggumu akan aku sumpal keinginan ini di tenggorokanku Apa karpetnya masih ingin kau gunakan? jawab, jika sudah tidak akan ku gulung bersama harapan ini di mataku Sudah terhampar jauh penglihatan ini  sejauh luka dengan darah yang sudah kalah merah putih yang sudah tak layak lagi dan biru yang sudah ternodai hitam masih perlukah aku? Gedung Pemuda Pamekasan, 21 Agustus 2022

PUISI "MUSIK DAN LUKANYA", Oleh: Erka Ray

 Saat suara musik beriringan ingin berkompromi katanya, ingin mengajak telinga bernegosiasi tapi apa dia mau saat suara gamelan dan suling saling rebut ingin mengajaknya berdansa ingin menuangkan cinta pada mangkuknya Saat suara drum justru mendominasi tapi cukup untuk mengadu mata dan mulut keduanya tidak sepakat antara siapa yang lebih dulu tersakiti tapi tetapi musik-musik memaksa masuk  Pintu sudah ditutup kuncinya hilang suling-suling menjajal dengki pada diri sendiri suaranya pelan merayu, tapi tidak mau disebut begitu dan trompet ambisius pada luka sendiri tapi masih tetap bersanding dengan suaranya Musik-musik ini apa bisa disebut pasti pasti untuk terus mendayu dan pasti untuk terus mengalun jika iya, bisa berbisik pada telingaku jika luka ini bisa kering dengan alunan-alunannya Gedung Pemuda Pamekasan, 21 Agustus 2022

PUISI "KAMAR DENGAN CERITANYA", Oleh: Erka Ray

 Di kamar kotak dengan sisi-sisinya ku rendai tangis Ada kaca yang menggantung kosong di sebelah kanan ada pintu hitam yang berdiam durja ada paku yang tersakiti di atas sana Kamar kotak persegi empat riuh ricuh tak mau diam angin tampar menampar lewat jendela kecil gorden-gorden melambai mempersilahkan Tapi ada di pojok kanan atas kesedihan yang digantung paksa Mengetuk pintu tidak dibuka seisi kamar menolak didatangi bantal-bantal basah dengan air mata yang bercerita selimut tidak lagi hangat tubuh mengadu dia dipermainkan oleh kedinginan Sudah tidak bisa dipersilahkan Kunci di gagang pintu memaksa mengurung diri sudah muak ada benda riasan yang tak bisa melukis senyum di wajah sendiri masih asik dengan merah pipi yang warna-warni tapi budar kala diadu dengan senyum yang nanar Kamar kotak persegi, tempat bersimpuh di sisi-sisi yang tak bisa ditemui dengan banyak mulur yang sibuk melukis perkataan di dindingnya dan air mata jadi pewarna alaminya Sumenep, 19 Agustus 2022

PUISI "BERITAHU AKU", Oleh: Erka Ray

 Jika tidak berbentuk perhiasan apakah bisa menghiasi Jika berbentuk duri apa bisa melukai seperti terhipnotis, kaki diseret untuk maju lebih dan lebih hingga tidak tahu sampai di mana Saat bunga ditabur di matamu apakah warna merah pada mawar bisa menjadi darah apa putih pada melati benar-benar suci beritahu aku jika benar begitu saat tirai panjang bisa menjadi penutup busukmu dan membuatmu transparan dari kejenuhan ini beritahu tahu aku jika nanti warna pelangi pudar jika memakan janji semangkuk harapan jadi hambar dan lidah benci saat mencicipi aku tahu, meski tidak diberitahu apa yang membuatmu memaksa tanah rela basah padi rela tertunduk pada usia dan lama kelamaan menguning di pelupuk matamu apa siapa hingga akan diberitahu olehmu aku duduk yang kau paksa berdiri aku yang baru datang dipaksa pergi Sumenep, 19 Agustus 2022

PUISI "LEMAS DAN LEMAH", Oleh: Erka Ray

 Aku sandingkan embun pagi dan angin sore menyelingsing pilu ribut ingin pergi sama seperti kaki yang makin mundur tertabrak kenyataan yang nanar Mungkin tidak sesejuk ini, saat rimbun kabar bahagiamu menyusupiku membuatku duduk menatap lama ke hadapan lalu bertanya, di mana objek bahagiamu Saat embun-embun luruh ada harapan yang siap menangkap meski lemah tetap berdiri di samping tubuhmu Saat kubaluri kenyataan ini pada ragamu akankah kain dapat menjadi baju yang menyempurnakanmu apa tangan bisa jadi penyembuhmu jika iya, aku ada di sebelah warna putih yang bernoda siap menjadi mahkotamu yang berharga Tapi tubuh-tubuh ini lemas lemah untuk melata di air mata tak sanggup untuk mengucap meski lirih hilang diujung lidah Sumenep, 19 Agustus 2022

PUISI "APA AKU TELAT HARI INI?", Oleh: Erka Ray

 Apa ini Terlalu sore untuk memulai? Iya menurutmu, tidak menurutku, apa kita sudah seerat tali saat ini? tentu tidak saat warna pada tali rafia hanya rekayasa bagimu dan tangan yang merah jadi lawakan bagimu padahal sudah kucantumkan di sana aku berjuang dengan sukarela Apa sudah terlalu senja saat semburat kuning dipermainkan juga senja dililit kakinya saat hendak pergi dicegah, tidak mau dibiarkan, malah mengadu Jika sudah lelah untuk membuka pintu mari aku bukakan jika tanganmu tidak bertenaga aku bisa jadi anak buahmu yang sukarela iya, tidak apa-apa jika aku telat hari ini aku bisa kembali besok untuk hal baru yang aku perbarui dengan harapan yang berdampingan dengan kaki dan tangan yang jadi saksi bisunya telinga jadi temannya mata jadi arahnya aku akan kembali esok, jika aku telah telat hari ini Sumenep, 18 Agustus 2022

PUISI "KARENA EGO", Oleh: Erka Ray

 Aku berniat menutup malam ini,  Hanya malam ini kenapa? ada banyak yang terluka ada banyak yang meminta berhenti padahal baru saja aku gantung harapan di rambu-rambu jalanan Dengan warna hijau yang dinanti dan merah yang dibenci Aku masih baru kemarin ada di sini di simpang tiga yang membuatku tersasar membuatku merangkak tidak kuat Baru kemarin, malam terkesima dengan ucapanku untuk paginya sudah dirayu fajar Dan aku? Aku kemana? Dengan siapa? Jawabannya aku sendiri di sini hanya sibuk menyumpal pikiran hanya sibuk mempermainkan diri sendiri berbisik, kalau masih ada terang di barat meski kadang mendung di utara Pertanyaannya apa Aku masih terlalu tuli untuk mendenger kenapa malam diakhiri? Jawabnya, aku si jahat yang mendukung ego sendiri merajakan pikiran menistakan hati Sumenep, 17 Agustus 2022

PUISI "DIAM DAN MEMINTA MAAF", Oleh: Erka Ray

 Diam, hanya jari yang sibuk bersekongkol dengan pikiran Maaf, hanya mulut yang bertengkar dengan hati tidak sejalan Maaf, saat kalimat-kalimat panjang malah mengusik kenyamanan saat tangan yang mengucap lelah semuanya hanya rekayasa semata Diam, karena jika berucap hanya akan jatuh sadar jika diri sendiri yang salah tapi ada dibalik kaca transparan yang tidak diketahui seperti apa bentuknya apa telah baru, atau cuma sekedar rekayasa Tapi sejauh ini Aku tulus dengan kalimat-kalimat panjang yang kurangkai meski tidak bisa menina bobokanmu,  aku masih terus berusaha dengan cara apapun itu Dan maaf, jika kamu malah bangun dari tidur membuang selimut melemparkan keinginan kesembarang tempat bahkan tidak tertarik lagi untuk memungutnya kembali Maaf, terdiri dari empat huruf meski aku tahu, ini tidak akan berarti apa-apa hanya sekedar apa yang tak dianggap olehmu lagi Sumenep, 17 Agustus 2022

PUISI "TOLONG BERHENTI", Oleh: Erka Ray

Sesakit ini Saat diam dipaksa maju Melewati tenggorokan dengan tidak ramah Memaksa mulut terus bergerak Sakit saat satu dua kali diulang Napas menderu tidak karuan Sibuk tersendat-sendat Sesak, Tapi tetapi dibiarkan untuk terlihat baik-baik saja Sudah sampai di pernapasan Keluar masuk tanpa permisi Menghirup udara dengan terburu-buru sekali Ada apa? Tentu ada hal yang tidak enak di sana Saat terus diulang lagi dan lagi Sakit ini menggorok leher dengan semangat Tak penat Luka ini sampai menganga, Ricuh sendiri dengan berhiliran Tanpa permisi membuat tubuh takluk Mata terasa berat Sesat ini kamu menyapa tenggorokan Berulang kali tanpa henti Aku mengemis  Dengan tangan yang menengah meminta pemberian Tolong hentikan Aku aktifitas yang mulai cemburu sebab diabaikan Sumenep, 17 Agustus 2022

PUISI " PENAWARAN DARIKU", Oleh: Erka Ray

 Apa aku telah mengindahkanmu sebagai seorang tamu tentu iya, saat tidak hanya teh sebagai suguhan kue-kue kering asyik menggoda tanpa henti aku juga memberimu perasaan yang lebih banyak dari porsi biasanya Duduklah lama, meski alasnya tidak empuk juga tidak nyaman luruskan kakimu dengan tenang aku akan duduk di depanmu meski kau tak suka itu Aku tawarkan kamu untuk istirahat, tapi tidak mau katanya, kasur ini terlalu tipis untuk alasanmu yang tebal Aku tawarkan kamu teh, kamu tidak suka katanya, lebih manis janji dari pada teh itu lebih panas mulut-mulut yang ditempel di cangkirnya Sumenep, 17 Agustus 2022

PUISI "KITA DI TUJUH PULUH TUJUH", Oleh: Erka Ray

 Tujuh puluh tujuh Angka yang indah Saat mula-mula mawar layu dari tangkai Air surut dari genangan Yang cekung jadi rata Tujuh puluh tujuh Tangan-tangan bengis ingin tangguh Setelah begitu lamanya diam tak bergerak Nyaman di tempat peraduan yang menyanyikan lagu tidur Dulu, raga-raga hanya bercengkrama dengan darah Mendambakan bebas Mencintai tanah lapang yang direnggut mahkotanya Tangis jadi sesajen di malam hari Tangan kanan rela rakat demi menggenggam belati Saat mata tidak hanya berfungsi untuk tangis Dia rela jadi pemburu yang bertuan asing Juga lutut rela bercumbu dengan harapan yang makin dalam dipijak Tujuh puluh tujuh tahun Kata 'ingin' telah merangkak Meski beberapa tahun terakhir ada yang diam-diam mencintai Hingga tawanya tukar dengan tangis Selang-selang melilit tubuh Tabung oksigen bahkan bilang, aku bersamamu Tujuh puluh tujuh Setelah kita renggang satu meter Sekarang kita berdempetan Dengan merah yang jadi darah Putih yang jadi selimut Tujuh puluh tujuh tahun, D...

PUISI "PUNYA SEGALANYA", Oleh: Erka Ray

Hapus kabut di matamu yang sering mengancam Usir kedut di bibirmu yang sering memaki Kita sudah tidak lagi butuh itu Kita punya tangan sepasang yang saling menggenggam Punya kaki yang manja tapi terus berjalan Sepuluh jari menjadi hiasan  Dan kita punya pipi Yang cukup kuat menampung keresahan Telinga, Kita punya dia untuk mendengarkan keluh kesah resah Iya, dari semuanya Kita masih berlutut di pojokan Menuntut pada gelap Mengajak candaan untuk menjadi tema Padahal tidak jadi tokoh utama Sudah, Kita punya segalanya Meski tidak cukup sederhana Tapi cukup memaksa kita kuat Sumenep, 17 Agustus 2022

PUISI "PARAGRAF RUMIT", Oleh: Erka Ray

 Sudah sampai di mana Di tanda titik yang mengusir tanda koma Tanda tanya yang mulutnya mulai berbusa dengan pertanyaannya Atau tanda seru yang sering membohongi diri sendiri Pada paragraf pertama, Penuh masalah Ada sedikit alur yang melenceng Di setting waktu, kita sering telat Malah di pertengahan, kita tidak berkabar Di paragraf pertengahan Ada skenario yang tidak masuk akal Tanda tanya yang makin banyak Tanda seru yang juga mengoceh Dan ada tanda petik yang diam dengan nasibnya Sudah di mana kita Ternyata sudah mendekati ending Terlalu terburu-buru Bahkan Dialog Tag belum diselesaikan Ada tanda Apostrof yang sibuk menyembunyikan perkataan Selesai, Kata tamat berebutan untuk mangkir di akhir Sumenep, 16 Agustus 2022

PUISI " PERTANYAAN DI JALAN", Oleh: Erka Ray

 sepanas ini, kota sibuk dengan kendaraan yang menyapa klakson yang memberi isyarat, Juga lampu-lampu yang sibuk bilang penat Jalan ini, kenapa bisa sehitam ini, untuk siapa Kenapa berulang kali terselip rindu di sana untuk apa knalpot dengan asap tebal kenapa bisa bisa menutupi kesedihan Saat ada orang-orang mengintip di balik kaca spion apa ada harapan yang juga ditabur di bawah setir-nya Apa ada ada cinta yang dikaitkan pada pohon yang banyak cabangnya Di pinggir jalan, angin begitu jadi raja yang didamba Awan menjadi permaisuri yang mulia pertanyaannya, untuk siapa simpang tiga di jalan sebelah sana untuk siapa panas yang menyengat ini, jika untuk pengendara, apa mereka sudah menjanjikan sesuatu yang nyata untuk kembali ke jalan itu lagi Sumenep, 16 Agustus 2022

PUISI "DIA TIDAK MEMPERMASALAHKAN", Oleh: Erka Ray

Saat warna merah segar pada mawar harus ditukar layu Aku ikhlas untuk itu Saat kelopaknya ditarik paksa Tak apa,  Mungkin dia tidak ingin bergandengan lagi Dulu setangkai Dengan duri-duri yang sibuk menyuarakan perlindungan Tapi pada akhirnya takluk pada usia Tangkai yang hijau Membarter diri menjadi coklat Tapi dia tetep tidak masalah Untuk yang mulanya warna kuring pada bunga matahari, Warna putih pada teratai Semuanya rela jadi layu demimu Mengubah dirinya jadi tak berguna Dia tetap tidak mempermasalahkan itu Tidak ada yang menghalangi Semua dibiarkan Pada akhirnya, Semua diberikan padamu Yang katanya demimu Sampai tidak tahu kalau tubuhnya ingin terlentang Matanya ingin tertutup sebentar Mulut hanya sibuk membujuk, Berbisik, Tidak masalah untuk yang kali ini Sumenep, 16 Agustus 2022

PUISI "APA MUNGKIN", Oleh: Erka Ray

 Mulut-mulut itu kasar menginjak telinga Tangan-tangan menampar pipi Kaki malah dijajal duri Mulut-mulut juga bergantian dengan tangan untuk menampar Kaki apa lagi, Sudah sejengkal Mengeluh lelah Pakaian seperti enggan jadi mahkota Robek di mana-mana Warnanya sudah ditukarkan Tapi sudah tidak jelas dengan apa Penglihatan memilih muram Telinga sepakat tuli dari kemarin Padahal ada kewajiban yang harus didengar Kaki ini tahu, Jika dia harus berjalan Tangan ini juga tahu jika harus berkerja Tapi keduanya sepakat diam Berapa kali ditampar Jari sudah tidak mampu menghitung Bekas tamparan bahkan masih merah Tidak mau ditukar yang lain Mungkin menutup mata bisa membuat buram ini lebih reda Atau membuang perkataan Bisa membuat mulut lebih ringan Sumenep, 16 Agustus 2022

PUISI "INGIN TENANG", Oleh: Erka Ray

 Ingin Berselimut malam, tapi diusir ingin duduk diam tapi disuruh berdiri Tubuh ini dikuliti dengan fakta yang tajam masih bisa tersenyum meski begitu Kaki meski dibasuh arang, tetap ingin sepasang untuk tenang Mata ini bahkan ada yang buta satu tapi masih berdampingan Dingin, Gelap, Hening, jadi musuh dari mulut-mulut ini yang menjilati sumpah serapah Ramai, Terang, masih difitnah karena mengganggu Saat sudah begini, apa usia harus jadi pendek atau malah panjang apa otak ini harus kosong Jika iya, aku ingin tidak membenci meski dengki tidak ingin menjadi musuh tapi aku tidak ingin diganggu ada yang meronta meminta tenang, tapi masih dijahili untuk gaduh Meski sudah kututup telinga ini, suara-suara hati masih membuncahkan langit-langit masih menggetarkan diam tapi aku hanya ingin sendiri diam, tenang, tidak menyumpahi keributan Sumenep, 15 Agustus 2022

PUISI "RUMAH", Oleh: Erka Ray

 Rumahku atapnya dari genting Tapi masih ada yang mencurinya dindingnya juga dari beton tapi cat-nya masih sering mengelupas Saat yang lain mencapai cat yang terang aku memilih warna putih tulang broken white orang bilang pintuku tak lagi coklat warnanya diganti kelam yang pekat Mata-mata ini, sering kujadikan penghuni agar tahu sesepi apa sudut-sudutnya agar tahu, selain warna putih tulang di dinding ada warna abu-abu yang diam membisu Rumahku masih difitnah meski renta masih dipotong dua gentingnya jendelanya masih dicuri masih dipilah dipilih saat hendak dimasuki Aku menyebutnya rumah meski alasnya luka atapnya tangis yang memaksa reda dan dindingnya warna putih yang dirusak paksa Sumenep, 15 Agustus 2022

PUISI "DIRI SENDIRI", Oleh: Erka Ray

 Jatuh yang membuat terduduk Diam yang membuatku tersandung ucapan sendiri malihat yang membuatku ragu dengan pandangan sendiri mendengar yang membuatku benci pada suara-suara sendiri Aku menghitung jari sendiri tapi aku bingung di angkas dua apa aku harus mendua aku ragu pada hasil hitunganku apa harus ku kurangi atau tambahi Tapi terima kasih, aku masih duduk aku masih berjalan dengan kaki mata ini masih berfungsi Telinga ini meski sering salah masih terus aku asah Sumenep, 15 Agustus 2022

PUISI "TEMPAT PULANG", Oleh: Erka Ray

 Jika kamu butuh hujan malam ini? akan aku berikan, meski aku hanya jadi dinginnya saja Saat kamu butuh hangat aku akan berikan meski aku hanya jadi api nya saja Jika aku akan menjadi debu Kamu jangan pernah menjadi angin yang tertawa menerbangkan ku Menelisiknya setiap rambutnya mengikatnya dengan erat pada warna hitam kamu butuh aku, Aku ada, tidak kemana-mana cari aku di mana kamu mau Aku ada di doamu paling lama aku juga ada di judul buku yang sering kamu ubah aku tidak tahu kenapa sesulit itu kamu menentukan aku jadi judul Saat malam hanya menjadi latar waktu aku ingin latar tempatmu adalah aku tempat kau pulang untuk rebah untuk rehat yang sering kau lupakan tak apa aku ada untukmu menjadi tempat dudukmu setelah seharian tanpa kepastian Sumenep, 15 Agustus 2022

PUISI "TANPA JUDUL", Oleh: Erka Ray

Kita memang tidak semenarik malam Saat orang-orang terduduk diam mulai bercerita Kita hanya siang, Yang kadang ditinggalkan demi pekerjaan Perkataan yang hilir mudik lewat telepon genggam Dan pandangan-pandangan yang ditempel pada layar-layar pipih Aku di pundakmu Jadi beban yang sering kau angkat sendiri Aku di hatimu yang jadi tekad kuat di antara pikiran-pikiran yang tak karuan Aku jadi kanan yang lebih baik dari kiri Tapi di matamu, aku putih yang akan menemani hitam itu Sepagi ini Aku luruh di antara semangat dan sibuk mengeluh Entah akan jatuh di mana Aku sini akan tetap ada di antara pelukan kuat dan takut Sumenep, 15 Agustus 2022

PUISI "SATU SALURAN TV", Oleh: Erka Ray

 Suara TV yang terlampau nyaring membuatku berpaling apa yang sedang disibukkan mereka, padahal tidak ada kisah kita di sana meski aku mencarimu, kamu tidak akan ada di iklan-iklan yang itu-itu saja Dari remote dengan warna hitam aku hanya ingin menjamah nomornya, Ternyata ada angka dua, tapi kamu tidak akan jadi yang kedua saat aku tancapkan penglihatan ini di sisi kanan Ada pembawa acara yang memberi isyarat, tapi kenapa saat aku berisyarat, kamu tidak suka Dari saluran yang satu aku lompat ke saluran yang lain aku kira sudah menemukanmu di antara ramainya acara-acara sinema tapi kamu malah merangkap jadi pelawak di saluran yang satunya Aku ke sana, memintamu dengan mata yang basah, tapi kamu bilang, lelucon ini masih harus diteruskan Aku mematikan TV, tidak ada yang cukup pas saat ku suguhkan pada penglihatan, tidak ada yang mesra saat ku pasangkan dengan pendengaran Sumenep, 14 Agustus 2022

PUISI "JIKA KAMU MASIH DI SANA", Oleh: Erka Ray

 Apa kamu menungguku sekarang? Di kayu yang sudah agak lapuk Di dinding yang agak mengelupas cat-nya Apa kamu masih setia di situ meski sendiri? Jika iya, Terima Kasih Aku masih tidak sempat singgah, entah apa yang membuatku cukup betah hinggap dari hati yang satu ke hati yang lain Karena sebenarnya aku tidak tahu kamu siapa dan di mana Apa kamu masih di tempat pertama? Jika iya, aku masih terseok mengikat kaki sendiri yang menangis aku masih membujuk jari agar tidak berhitung terlalu cepat Aku takut, aku jadi penyebab lupa berikutnya Aku akan ke tempat itu, Tapi kenapa jalan ini berkabut kenapa masih ada ilalang yang suka menghalangi Masih ada kerikil yang iseng menjahili Padahal kakiku hanya ingin menyapa sebentar, Sol sepatuku cukup bersih untuk berkenalan, Tapi aku malah jatuh membuatku lama untuk bertemu denganmu Jika kamu masih di situ, Terima kasih Sumenep, 14 Agustus 2022

PUISI "HURUF DAN IMBUHAN", Oleh: Erka Ray

 Ada huruf 'T' pada kata 'kuat' Juga ada Imbuhan 'Me' dan 'Kan' untuk membuatnya manjadi kata kerja yang benar-benar diterapkan Juga ada huruf 'T' pada kata 'Tekad' Untuk mendukung kita bergerak meski sejengkal Untuk membuat kita melangkah dari tempat sekarang Modal minim yang akan membuat kita percaya Ada hujan yang harus jatuh demi bumi berair Ada laut yang harus jernih untuk kehidupan yang berkelanjutan Pada kata 'Berani', Lagi-lagi ada Imbuhan 'Me' dan 'Kan' yang siap membuatnya kembali menerapkan Bukan untuk siapa dan apa Diri sendiri yang harus dilibatkan Agar kelak, menjadi kata 'Memberanikan diri' Sumenep, 14 Agustus 2022

HUMOR "PANGKAS HABIS KENANGANNYA", Oleh: Erka Ray

 Hari ini panas sekali, sudah terasa seperti membakar kepala. percuma pakai topi tetap tidak melindungi kepala. sudah sekitar pukul sebelas siang. Tempat potong rambutku emang selalu sepi di jam-jam segini, paling hanya satu atau dua orang. Jam-jam segini cocok sekali untuk bersantai, menikmati kipas yang berputar-putar memberi kesejukan. tiba-tiba masuklah masuklah seorang pria yang hendak memotong rambutnya. "Selamat datang, Pak," aku menyapa ramah. Memang harus seperti itu pada pelanggan. "Iya," ucap pelanggan itu. cuek sekali orang ini, ditambah dengan tubuhnya yang tinggi besar dan bidang dan wajah yang ... ya begitulah, cukup membuatnya terlihat agak seram. "Mau dipotong yang seperti apa, Pak," sambil lalu menyodorkannya beberapa foto model rambut. "Cukur habis setiap helai yang pernah dia belai, aku tidak ingin menyisakan satu kenangan pun bersamanya." Wah rupa-rupa Bapak-bapak ini anak senja. "Betulan dicukur habis nih?" tanyaku...

PUISI "TIDAK SENDIRI", Oleh: Erka Ray

 Tangan ini berusaha melambai dan menggapai Tapi tidak ada yang menyambut Ada mulut yang juga aku selipkan di antaranya Agar dia tidak lagi bicara Itu dulu, Saat hanya kayu rapuh yang berkurban jadi abu Saat hanya melati yang harus layu karena tidak dihinggapi Itu dulu sekali, Kini ada aku yang sama-sama di sebelahmu yang duduk lama sampai kebas Tapi suka rela Ada tanganku yang bisa menghapus tangis ini sendiri Ada mataku yang juga siap memandangi Aku berdua saat tangan-tangan telah diusap pada muka Saat amin menyelingsing di antara telinga Aku telah berdua Arti ini ambigu, Aku berdua dengan tanganku yang tak lagi kosong Aku berdua dengan kaki yang asik berjalan romantis bersebelahan Aku tidak sendiri saat hari dan pikiran saling bercengkrama, Dan aku jadi tema di sana Sumenep, 14 Agustus 2022

PUISI "CARAKU MEMBUAT KEPUTUSAN", Oleh: Erka Ray

 Mungkin hari ini tidak akan seperti kemarin yang ramai jadi sepi, yang sepi jadi ramai Banyak mulut-mulut singgah sibuk mengomentari semuanya melilitkan perkataan yang berbeda menyelipkannya makian yang kebenarannya tak ada Aku di tanah kali ini berlumuran warna coklat di segala sisi mataku sayu kali aku dipasung jauh dari tempat ini aku miskin yang terus membuka doa untuk meminta Aku diam kala pagi mulai merambat siang kala panas yang kusebut tenang membuat gersang meski aku pura-pura sibuk menutupi embun dia malah luruh tanpa pamit aku jadi ketahuan Meski aku lagi-lagi dimaki, aku tutup telinga ini caraku berjalan meski tak benar aku harus membolak-balikkan pikiran untuk membuat keputusan Sumenep, 14 Agustus 2022

PUISI "YANG KALI INI", Oleh: Erka Ray

 Aku hari ini kembali, tapi tidak denganmu di tempat ini, dulu aku mengusap sendiri tapi hari ini, ada yang bisa mengusap dan menghapus luka ini Tanganku dulu menggapai-gapai langit, berusaha berbicara ditengah-tengah awan yang jadi latar aku bilang, yang ini Tuhan tapi ternyata benar yang ini, yang kali ini Meski dia tidak tahu caranya menabur bunga, dia setidaknya berusaha memberi warna meski saat tertawa, leluconnya tidak seberapa tetap usahanya yang membuatju tergerak Meski bukan yang dulu, yang kini aku tahu, aku tidak perlu memintal tangan aku tidak perlu membarter hati aku cukup tenang, dia duduk di sebelah dengan menerima gapaianku Aku kali ini kembali, tapi tangan ini tidak perlu menggapai, hati ini tidak perlu melata untuk menuju nyaman Tuhan, yang ini, Sumenep, 14 Agustus 2022

PUISI "PAMIT TERLELAP", Oleh: Erka Ray

 Saat mata ingin tertutup maka biarkan dia hanya ingin rehat sesaat dari pandangannya yang sudah tak karuan meski berulang kali berkedip,  mata tau apa yang ingin dilihatnya salahsatunya, menjadikanmu nyata di pelupuk matanya entah kamu Sudi atau suka,  tidak ada yang tahu itu Jika mata ini sudah buyar biarkan dia lepas pandang kali ini kelopaknya hendak mengatup meski sekali cukup membuatnya tau bahwa kamu menjadikannya nomor satu dia akan suka dengan itu Tapi malam ini, bantal-bantal terlanjur membuat janji  selimut-selimut membujuk agar mau membarter dengan hangatnya tapi ada dingin yang sedang dibenci malam ini sebab ingin terlelap nyaman Mata pamit, sudah saatnya untuk berbincang dengan rehat lalu bertemu di mimpi yang dadakan  Sumenep, 13 Agustus 2022

PUISI "TETAP AKU IYAKAN", Oleh: Erka Ray

 Hening malam ini, entah kenapa merambat menjalar semakin membuatku jerih aku mengiyakan hanya sekedar memberi tenang tapi tidak bisa Sunyi malam ini ada yang diam-diam berbisik, meski aku tidak tau apa yang di maksud tetap aku iyakan Meski tanganku berusaha menggapai tak pernah ada yang berminat menyamai tak apa, aku tetap biasa saja perkataanmu melilit otakku aku tidak atau apa maksudmu kali ini tetap aku iyakan apa harus aku merobek hening yang tenang ini melipat malam agar cepat berhenti tapi kurasa tidak perlu aku tetap setuju dengan maumu Meski hanya sekedar latar, aku bahagia malam jadi warna gelap yang membuatmu semakin redup yang tengah kebingungan mencari maksud tapi aku tetap iya tetap padamu sebagai nomor satunya Sumenep, 13 Agustus 2022

PUISI "ADA DI MANA KALI INI", Oleh: Erka Ray

 Apa puisi ini tidak sampai padamu hingga huruf-hurufnya harus mengeriput dulu kalimatnya harus sedih dulu puisi ini sampai di mana detik ini apa cukup di angka satu dan tak mau memperdekat jarak denganmu puisiku ini singgah di mana kenapa matamu malam ini tidak ada untuk membacanya kenapa tanganmu tidak mengulur untuk menyambutnya Apa puisi ini hanya mangkir di luar saja apa kamu menutup pintu malam ini aku hanya ingin kalimat ini menyelimutimu tidak lebih dari itu apa puisiku kurang bagus malam ini apa puisiku tidak menarik sebab tidak elok kali ini Tapi kemarin, puisiku kau pangku dengan sukarela tidak ada paksaan, kamu bermanja dengannya kamu juga tidak rela ada tanda titik mengakhiri puisiku tapi malam ini, kamu yang mengakhirinya Apa puisiku cukup kali ini apa puisiku membuatmu bosan kali ini jika iya, aku akan ubah diksinya atau kuubah objeknya Sumenep, 13 Agustus 2022

PUISI "HITAM YANG TAK BERUBAH", Oleh: Erka Ray

Apa yang bisa disampaikan awan untuk menyatakan cintanya pada langit Apa dia hanya bisa menangis untuk membuatnya merasakan perasaan itu Jika iya, apa harus hitam yang menjadi warna Kenapa saat putih cintanya tak diungkit Apa yang bisa diberikan langit untuk awan Apa warna biru yang terkadang pudar Atau sisi yang harus dibagi dua dengan pelangi yang datangnya hanya sesaat Sejenak, jika harus menjadi awan Aku tidak mau menjadi warna hitam yang terkadang dibenci olehmu Jika aku harus putih,  Aku rela bertukar biru demi kesukaanmu Tapi meskipun biru, Kadang aku kalah cantik dengan pelangi yang memiliki banyak warna Entah apa janji kebahagiaannya nyata Meski aku hitam Tapi aku warna yang netral untukmu Meskipun aku dicampur merah, Apa aku berubah? Tentu tidak Meski aku hitam, Awan berulang kali memakai warna ini untuk menangis Meski biru langit, nampak jauh lebih indah Tapi hitam tetap tidak tergantikan Sumenep, 13 Agustus 2022

PUISI "PUISIKU KALI INI", oleh: Erka Ray

Tidak sederhana itu saat menulis puisi Jika objeknya kamu Aku harus meminta izin pada mata agar tidak menangis Harus menutup mulut agak menyebutmu Harus membolak-balikkan pikiran agar tidak diisi olehmu Kata pertama adalah mudah Tapi nyatanya harus melilit huruf-huruf demi kalimat Berjuang merangkai pada yang sepertinya tidak ada Berusaha menjadikannya ada Jika puisi ini kurung Aku sudah tidak tau apa menyebabkan bahagia dulu Mungkin senyum ini hanya cat dinding yang mudah mengelupas Hanya spidol warna yang tidak permanen Jadi lusanya sudah lupa bahagia Tapi tadi, puisi ini tersenyum Entah objeknya siapa Huruf-hurufnya bahagia Huruf-hurufnya riang sekali merayu-rayu makna untuk tersirat Kali ini, meski puisi ini kurang  Tetep berusaha merangkap terang Meski redup terus mengungkung, Tetep akan ada kalimat yang satu paragrafnya meminta secercah cahaya yang membuatnya tertidur Lelap dalam imajinasi yang kebingungan dipertigaan Entah harus ke kiri atau ke kanan Mungkin puisi cukup jika...

PUISI "LELAH", Oleh: Erka Ray

Ibu, Saat kupasung wajah ini di dekapanmu  Apa yang bisa dipertaruhkan sejuk yang begitu kudamba Apa yang bisa dikorbankan hangat demi tubuhku yang terus meminta Ibu Saat ingar bingar mengitari memory Haruskan aku hapus dan mempertaruhkan sesuatu Demi tenang yang selama ini aku inginkan Saat aku terlelap di pangkuanmu Ada lapang yang meminta hati untuk ikut serta Aku bersedia, Kala perih bisa aku korbankan atau ditukar dengan seutas hasrat putih yang mengungkung raga Ibu, Haruskah aku istirahat sekarang Saat jiwa-jiwa miskin menengadah meminta mengemis senyum Saat mata buram karena sering salah pandangan Aku tau jika sudah dipaksa Tidak ada yang akan suka rela Mengitari sekitar hampa Yang menjejak dalam pada air mata Sesak semakin dibajak keberadannya Diaman tempat rehat jika sudah seperti itu? Sumenep, 12 Agustus 2022

PUISI "APA YANG AKAN DIDAPATKAN", Oleh: Erka Ray

Segalap ini, Ada mata yang merintih ingin melihat Merengkuh gelap sendiri Berbincang sendiri Mendekap perih-perih yang ingin menjalar ke sana kemari Gelap diujung mata Melengkung anggun di pikiran Meski lagi-lagi tidak tahu, apa yang didapatkan malam  Seresah hati ini yang menenggelamkan sepi Menggorok daging sendiri yang merintih tak sanggup Membelah malah yang sedang riang menikmati cumbuan dingin Apa seperti itu saat angin jadi tokoh yang menyebabkan perih di tangan? Menggeliat hampa di renungan malam Bermanja di bintang yang tak kunjung datang Ingkar janji, Katanya, awan sedang menepis tangisnya Tapi semua bohong semata, Awan ikut gundah di saat hamparan langit ingin di jemput oleh hitamnya Kecewa semakin mencekik leher saat itu juga Segelap ini, Apa yang didapatkan malam Sendiri yang benar-benar sepi? Atau hanya dingin yang dirobek jadi beberapa sisi Sumenep, 12 Agustus 2022

PUISI "DI BUKUMU TIDAK ADA AKU", Oleh: Erka Ray

Kamu membuat dua kisah sekaligus Yang katanya, Salah satunya denganku Kisah kita Aku dengan suka rela menyempatkan diri mengetuk sampul bukumu Cover hitam, kelam Aku juga bercengkrama dengan nomor halaman pada bukumu Ternyata lumayan tebal untuk memanjakan mataku saat membaca di bab pertama Pada kata pengantar, Kamu masih sempatnya menebar manis  Huruf yang saling bercumbu mesra Dan kalimat yang merangkap jadi paragraf Indah, itu kataku Di kata pengantar saja, kamu bilang kamu direngkuh Banyak sisi yang ikut serta dalam rangkaian kisah yang menjadikannya indah Aku suka pengantarmu, Meski tidak ada aku Aku pindah ke bab pertama, Lucu, kata-katamu menampar keras  Mencetak, menjejak, meninggalkan bekas dalam di mataku yang membacanya Aku bersenandung dengan hurufnya,  Berselingkuh dengan paragraf Berselingkuh dengan alinea Meski aku lagi-lagi tidak ada Ceritamu cukup menghibur di kala gundah gulana  Bab kedua dan bab-bab selanjutnya Kamu bermain-main dengan perkataanmu...

PUISI "BANGKIT DARI JATUH", Oleh: Erka Ray

Letih Pulih Jatuh  Bangkit Diulang-ulang untuk terus mengenang Pasang surut laut yang konon membuat tenang Tidak pernah berarti apa-apa Pembicaraan-pembicaraan itu hilir mudik di telinga Menyapa anak rambut Membuat cemburu warna hitamnya Ingin rasanya memutih hari itu juga Saat bangkit Ada jatuh yang harus kutinggalkan Ada rapuh retak yang ingin kuduakan Dan ada semangat yang akan ku nomor satukan Tapi jatuh membuatku nyaman duduk Telinga seketika ingin tuli Tidak mau mulut berucap manis untuk kali ini Rayuan-rayuan yang mulut ucap Diiyakan begitu saja oleh lidah Gigit mengatup tak mau ikut campur Pada akhirnya lutut berdiri dari tekuk Di kali pertama, Bingung Kali kedua Tak mampu Mulai teringat kembali duduk membuatnya jatuh cinta seketika itu juga  Tapi otak memaki tanpa henti Katanya, bodoh juga tidak memulai hari ini Mata mengiyakan berkedip Lalu hati sepakat, Lelah, istirahatlah Jatuh, bangkitlah Sumenep, 12 Agustus 2022

PUISI "KAKI INI LENGKAP SEPASANG", Oleh: Erka Ray

Apa kaki ini hanya sebelah? Kenapa aku pincang saat berjalan? Tidak seimbang Ingin rasanya sejajar,  Tapi tetap tidak kuat Dan aku ingat, aku siapa. Apa aku masih memiliki kaki? Saat aku menunduk, tentu iya Dan aku jari-jariku saling harap berharap Meski jalan hanya omongan yang tak tau harus diapakan Kaki ini lengkap Tapi aku merasa kurang saat berdiri Jari ini sepuluh, Tapi seperti tanggal separuh Apa aku berhalusinasi? Aku rasa tidak Kakiku dua kanan kiri Aku berdiri Tapi tidak kunjung berjalan Aku diam, Tapi pikiran yang sibuk gentayangan   Mari melangkah, Meskipun satu langkah Harus maju jangan mundur meski cuma halu Ada tanah yang harap-harap cemas menunggu diinjak Ada langit yang siap jadi atap Ada diri sendiri yang menunggu berhasil Sumenep, 12 Agustus 2022

PUISI "KISAH SESINGKAT BUS", Oleh: Erka Ray

Untuk bisa menyebutku buram Aku bisa melihat kaca-kaca Bus yang transparan Bisa melihat orang-orang sibuk mereka-mereka jalanan Untuk bisa disebut tuli Aku bisa mendengar kernet Bus meminta uang bayaran  Mendenger penumpang lain menyebutkan tujuan Saat menatap keluar,  Ada harapan yang menggantung di lampu merah Ada warna hijau yang terus didamba Tapi pada kaca Bus, aku menulis harapan-harapan ini Merana di jalan-jalan yang terus dilalui Aku bertanya, untuk apa Bus ini Untuk apa terminal yang ramai ini Jika untuk aku kenapa aku sesepi ini Dari atap panjangn Bus, ada yang yang juga mengulur tanganmu yang panjang Ada aku yang lesu duduk seharian Harapan-harapan yang semakin digulis candunya Ban pada jalan Semakin resah lemas di dilepaskan lewat asap Bus yang panas Di undakan Bus pertama, Aku diam menyaksikan sesak dan sempitnya harapanku berdesak-desakan Miris kakiku yang berdiri menunggu kursi-kursi ditinggalkan Risih duduk berdua, Tapi sepi duduk sendiri saja Hingga turun, Aku...

PUISI "SERAKAH", Oleh: Erka Ray

Jangan berbisik pelan Aku kurang mendenger  Bukan tuli Tapi pura-pura tidak peduli Wajah ini palsu Meski tersenyum, tetap tidak semanis itu Perkataan ini,  aku untukmu, kataku Tapi nyatanya,  aku untuk diriku, kataku Dasi ini memang terikat rapi di leher tinggi Dudukku juga tinggi Dan ucapanku rapi Tapi aku tahu, aku tidak menepati janji Siapa aku? Aku yang wajahnya kau tusuk paku Dengan janji kelingking palsu Jangan dengarkan saat mulutku berbicara Mulutku hanya busa yang tak berguna Boleh jika kamu menomor satukanku Maka aku akan semakin mengikis apa yang seharusnya milikmu Jas ini hanya penutup Mulut ini, apa yang terucap saja Tapi hati ini putih yang sudah tercela Sumenep, 11 Agustus 2022

PUISI "TIDAK MENYERAH", Oleh: Erka Ray

 Aku memang menutup matamu,  Tapi aku bingung kenapa kamu masih bisa melihatku aku menjadikanmu senja yang akan segera pergi tapi kamu malah betah di sini Aku mengusirmu sekali dua kali dan berkali-kali apa yang kamu mau saat diam-diam tanah merindukan hujan saat daun menua bersama ranting apa kamu cukup dengan ketidak pastian ini membuatmu melata pada jalanan aku iba perlahan tapi sudah kubilang, jangan diam-diam membuat debu dari api yang membakarnya Diam kali ini bukan aku yang diterbangkan oleh angin bukan pula aku yang jauh dari tempatku berpijak yang lupa pada asalku dulu Kamu masih berdiri di sana dengan kaki yang tak tau apa gunanya berdiri atau terus berjalan meski pelan sudah kubilang aku untukmu saat ini kita bukan hal yang cocok untuk duduk santai dan berbincang-bincang soal nyali Nyali yang menciut aku yang takut tapi kamu yang tak pernah bertekuk lutut Sumenep, 11 Agustus 2022

PUISI "TIDAK PERNAH CUKUP", Oleh: Erka Ray

 Sempit apa kelopak mawar menjadi gaunmu Jika kamu terus saja merasa kurang Warnanya jadi hitam, tidak lagi merah Tapi cukup sesuai denganmu Seputih apa melati jika dibandingkan dengan kulitmu Aku rasa, cukup aku yang hitam tanda tandingan Tapi aku bangga tidak berduri untuk melukaimu Terbanding terbalik jika harus melawan egomu Aku tidak cukup meski menjadi warna hitam di rambutmu Kamu warna pirang yang ingin terus berubah Melambai-lambai pada perih yang merintih-rintih Meringis tangis yang tak kunjung habis Kamu jahat untuk bisa merenggut waktu Menyuruh detik berdering cepat Padahal sudah ada yang mengaturnya Menjepit harapan di antara jamnya Apa kamu tidak bisa sukarela untuk meikhlaskannya? Aku terselip di ujung lidahmu Dengan kisah kotor yang kau sebut aku sebagai tokohnya Tapi aku tidak pernah tau itu Kamu membalikkan fakta dengan segala cara Kamu tidak cukup meski kuberi merah yang dikorbankan bunga Tetap kurang meski duri telah menjadi dengan sukarela Tanpa imbalan, tanpa a...

PUISI "SENJA DI WAJAHMU", Oleh: Erka Ray

Petang tadi ada semburat senja di garis barat Terasa berat saat dia melambaikan tangan Terus turun membenamkan harapan Jika kupasung wajahmu di sana Apakah aku akan membuat diri ini semakin merana Entah karena apa Tapi ada Wajahmu yang ku toreh di dekat mata Jika aku injak tanganmu Kumohon jangan berteriak Aku hanya berusaha memberitahumu Bahwa aku mengemis di senja yang hilang separuhnya Ternyata senja menelaah Wajahmu Terlalu buruk untuk dicumbu Luka itu membuatmu tertunduk Kamu lemah saat itu Maaf, senja kali ini izin pamit Mengecup lukamu Lalu menenggelamkan diri Berat katanya, tapi harus dia lakukan Sumenep, 10 Agustus 2022

PUISI "PERIHAL MENJADI APA DAN SIAPA", Oleh: Erka Ray

 Jika aku doa, Izinkan aku menjadi 'Amin' yang begitu mengharapkanmu Jika aku bunga, Aku hanya ingin menjadi warna yang mempercantikmu Jika aku pada akhirnya menjadi luka Aku tidak mau menjadi tangis yang membuatmu mengemis Aku rela jadi matamu, Meski aku harus cemburu orang-orang menatapmu saat berbicara denganmu Tapi untungnya, aku selama ini menjadi selimut Yang setia memberimu hangat saat dingin dengki padamu Cukup aku dan kamu, Meski aku tidak tahu akan menjadi apa Apa aku ini adalah yang kau mau Atau aku adalah apa yang terpaksa kau mau Meski menjadi warna hitam di rambutmu Setidaknya aku setia sampai warna putih memaksaku tutup usia Jika aku menjadi mulutmu, Akan kubuat merona dengan warna merah mudanya Perihal aku apa dan siapa Aku tidak apa-apa Sumenep, 10 Agustus 2022

PUISI "SEMAKIN JAUH SEMAKIN RINDU", Oleh: Erka Ray

 Aku jauh dari lantai-lantai yang merindukanku Dari jubah-jubah putih yang melambangkan suci Jauh dari kalimat-kalimat yang merindukan mulutku Aku tidak dekat lagi Semakin menabung, Tapi yang kudapat hanya kusam yang tak kunjung kubuat terang Sebenarnya aku rindu simpuhku di malam-malam sunyi, Tapi aku sering lalai untuk mendekati itu Aku buta pada mataku yang merindu air-air itu Dibasuhan pertama, Aku tersenyum dengan hati yang berniat kokoh Hingga kaku ikut basah di akhirnya Dahiku akhir-akhir ini tidak kunjung mengunjunginya Meminta ampun, bahwa aku telah menduakannya Aku pulang kali ini, sebab aku telah merindukanmu Merindukan pipi kita bertemu pada sajadah dengan gambar Ka'bah Dan rambutku ditutupi sebab terlalu indah Sumenep, 09 Agustus 2022

PUISI "BANYAK MAUNYA", Oleh: Erka Ray

 Tuhan, aku tidak tahu, kenapa kaki ini memaksa berjalan  Padahal duri sudah jelas-jelas dihadapan Aku juga tidak tau, kenapa mata ini terus menangis Padahal tissue-ku sudah habis Sekuat apa hatiku jika dibandingkan ranting Rela menua dengan warna coklatnya Setia dengan daunnya  Kapan aku berhenti berpura-pura Jika untuk meneguk Aku butuh air yang sejuk Tuhan, mata ini kembali berair Aku tidak tau kenapa dia terus mengalir Membuat basah pipi Membuyarkan senyum yang kupaksa tampil rapi Helaan napas kali ini terasa seperti api Harus panas demi membakar kayu yang rela jadi abu pada akhirnya Entahlah, apa yang bisa kukorbankan kali ini Jika aku miskin yang tak mau disebut tidak mampu Jika aku rapuh yang ingin selalu disebut kuat Padahal aku tidak berdaya Dimana aku yang sebenarnya Tuhan? Bingung di tempat terbuka Mencari aku yang banyak maunya Cukup satu saja, Jangan terus beri aku rasa untuk memiliki semuanya Sumenep, 09 Agustus 2022

PUISI "AKU MAU DIRIMU", Oleh: Erka Ray

 Yang kutunggu darimu adalah apa yang tak bisa kutunggu dari daun yang akan jatuh Yang selalu aku harapkan darimu bukan apa yang diharapkan tanah pada hujan Apa yang diharapkan air agar jernih, memang tidak bisa kudapatkan dari perkataanmu Terlalu kotor sebab dustamu Jika hanya beling kaca yang membuat goresan, Kenapa kamu malah ikut jadi pemberi luka Yang aku mau darimu, bukan apa yang hendak diberikan warna pada bunga yang membuatnya indah Juga bukan angin yang rela memujamu dengan sejuk yang bisa diberikannya Aku hanya ingin seutas senyummu Saat aku mau kamu, apa yang tidak bisa kudapatkan, bahkan luka pun kujadikan asupan Jadi teman yang konon sebagai gurauan Aku tidak secakap itu untuk memintamu layaknya embun yang malu-malu dibujuk mentari Aku hanya berani untuk sembuh sendiri tanpamu Jika aku lusuh, mungkin hatiku sudah tidak tahu caranya sembuh Sumenep, 09 Agustus 2022

PUISI ”AKU TERBIASA”, Oleh: Erka Ray

Saat menaruh gelas kosong di hadapanku, Itu tidak akan berarti apa-apa Pandangan ini sudah kabur kemana-mana Masih mau dicari kemana? Air mataku tidak akan memenuhi isi gelasnya Percuma jika kamu duduk menemaniku Kursi di sebelahku agak remuk Sudah tidak kuat lagi Tidak cukup berdua untuk menjadi teman sepi Apalagi sendiri,  Aku bersyukur masih bisa duduk di sini Aku sudah terbiasa Tidak perlu menemaniku yang senantiasa begini adanya Jika redup aku bisa mematikan lampu agar lebih gelap Jika suram, aku akan membuat mataku makin buram Biarlah buta, Aku terbiasa Jangan terperangah, Ini biasa saja Hanya kamu yang masih kurang terbiasa dengan apa yang ada padaku Lain kali tidak perlu Aku bisa sendiri dulu Kamu sia-sia untuk aku yang tak bersuara Kenapa demikian? Sebab sudah saatnya aku kesepian sendirian Lawak memang, Tawa hanya stiker yang ditempel pada muka Masih kurang jelas untuk dilihat mata Sebab aku buram senja Gelap semuanya Sumenep, 08 Agustus 2022

PUISI "SELALU ADA KATA TIDAK APA-APA", Oleh: Erka Ray

 Kamu tidak apa-apa, Kamu berbohong soal itu Senyum ini indah sekali jika benar-benar kamu miliki Deretan gigi-gigi itu seperti semangat sekali saat tertawa lepas Sudut-sudut mata berkedut tiada henti Selama ada kata tidak apa-apa yang bisa mulutmu ucap Meski kamu tidak tahu sudah berapa kali dirimu cakap mengucap kata itu Tidak apa-apa untuk kali ini, Kenapa senyummu jadi lusuh Padahal aku tidak pernah membuatmu kotor  Sudut matamu tidak pernah kuberi air mata Tapi kamu selesu itu sekarang Beri tahu aku,  Ada apa? Masih bertahan dengan tidak apa-apa? Tentu aku tahu kakimu sakit karena luka Tapi tetap berjalan, Karena kamu kira jalanmu tidak akan sesulit yang dikira Tapi tidak apa-apa, Ada yang kuat karena diri sendiri, Ada yang rapuh karena harapan sendiri Diri ini selalu terlibat bukan? Tentu iya  Sumenep, 08 Agustus 2022

PUISI "YANG KAU LIHAT DI RUMAHKU", Oleh: Erka Ray

Saat kau masuk pada rumahku, apa yang kau lihat pertama kali Jika kau suka Maka tetaplah di sini sebagai penghuni Ada gelas-gelas kaca yang kupajang di sisi-sisi sana, Itu semata hanya untuk menyambutmu saja Aku tidak pernah berharap ia jatuh dari tempatnya Aku takut delingnya menusukku dari mana saja Saat kau mengetuk pintuku dan tidak ada jawabannya Aku sedang bersiap-siap di dalam sana Dengan apa yang bisa menutupi luka yang masih di mana-mana  Berusaha percaya Bahwa yang kali ini akan berbeda Aku juga tengah membersihkan noda Cat rumahku kusam oleh air mata Saat aku persilahkan kau masuk Jangan terkejut jika hidanganku sedikit busuk Hanya itu yang bisa kuberi dari sisa-sisa luka Juga jangan puji kopiku, karena kamu tidak akan suka dengan pahitnya Di rumahku, aku ragu-ragu menerimamu Tapi, akan aku coba untuk memberikan nuansa baru Dan rumahku tidak sebagus imajinasimu Sumenep, 07 Agustus 2022

PUISI PROSAIS "UNTUK KITA YANG BERANTAKAN", Oleh: Erka Ray

Coba ke sini, kita tulis puisi prosais sebentar, tidak perlu panjang. Yang penting kamu bisa tenang saat menulisnya. Kita rekap bersama kisah kita yang berantakan tahun lalu, bahkan saat ini masih juga berantakan. Kita butuh diri kita masing-masing untuk saling menata ulang agar kita tidak usai. Bukankah begitu? Iya aku tahu, tidak ada yang dengan suka rela untuk saat ini mengulurkan tangan masing-masing untuk memperbaiki, tapi setidaknya kita punya hati dan pikiran untuk saling mengerti. Meski aku tidak tahu, apa kita akan baik seperti bunga-bunga yang dengan santainya bermanja pada angin. Aku juga tidak tahu, apa kita selembut kapas saat menyentuh satu sama lain. Cobalah berdiskusi denganku sebentar, untuk kita yang sudah tak layar disebut usai. Kita memang putih bak dinding, tapi retak di sisi-sisinya. Tapi untuk patah, kita masih merekat.  Seberantakan apa kita hari ini? Aku tidak tahu, tapi jarak ini menjadi jawabannya. Sumenep, 07 Agustus 2022

PUISI PROSAIS "DUDUK DAN ISTIRAHATLAH", Oleh: Erka Ray

 Beristirahatlah hari ini, tubuhmu bukan pohon yang akan terus berdiri tegak, bukan juga besi yang terus kuat. Kamu butuh istirahat dari kesibukan. Terutama kesibukan pikiranmu sendiri. Meski aku tahu, kamu tidak benar-benar merehatkan tubuh. Matamu bisa saja terpejam, tapi entah pikirannya sudah sampai mana berkelana. Pundakmu Kokoh sekali hari ini, juga hari-hari yang lalu. Kamu berhasil mencabut duri di kaki sendiri, berhasil memikul beban sendiri. Kamu sehebat itu. Tapi mari sekali-kali duduk bersamaku. Kita istirahat bersama. Berbincang-bincang santai atas apa-apa yang telah kamu lalui. Aku akan jadi pendengar setiamu. Aku akan mendengarkan seberapa sering kamu jatuh dan bangkit saat bersamaan. Aku tahu, kamu bukan orang yang terlena saat jatuh. Sering aku lihat kamu terdarah-darah sendiri. Tidak apa-apa, itu tandanya tidak ada yang sekuat kamu. Coba duduk denganku sebentar. Aku memang tidak punya kopi sehitam punyamu. Tapi setidaknya seduhan teh ku kali ini cukup manis untuk ...

CERPEN "TIDAK SAMA RATA", Oleh: Erka Ray

 Hari ini matahari terik sekali padahal masih pagi begini. Di kotaku kehidupan sudah mulai menggeliat sejak azan subuh berkumandang. Orang-orang yang memang kesehariannya bekerja pasti sudah mulai bangun untuk menghadap Tuhan-Nya dan bersiap-siap untuk berangkat kerja. Seperti aku yang kesehariannya kerja di salah satu perkantoran di kota kami. Dengan kantor yang berdiri gagah, pegawai yang rapi, wangi nan klimis, ruangan ber-AC dingin. Bagaimana kulitku tidak putih jika berada di ruangan ber-AC seperti ini. Kulit yang dulunya hitam sekarang sudah putih begini, tidak perlu perawatan cukup ber-AC. Tapi sebelum ke kantor, seperti biasa Sang Nyonya, Ibuku lebih tepatnya, sudah mengomel dari jam 5 pagi minta diantarkan ke pasar. Bilang nanti kesiangan, nanti kehabisan ikan segar, sayur segar, nanti tempe yang bagus ludes. Ini nih hanya bualan Ibu saja. Padahal yang jualan kan banyak.  "Sudah cepat, Andi. Kamu mau makan enak tidak hari ini," ucap Ibu sambil menepuk punggungku, man...