Untuk bisa menyebutku buram
Aku bisa melihat kaca-kaca Bus yang transparan
Bisa melihat orang-orang sibuk mereka-mereka jalanan
Untuk bisa disebut tuli
Aku bisa mendengar kernet Bus meminta uang bayaran
Mendenger penumpang lain menyebutkan tujuan
Saat menatap keluar,
Ada harapan yang menggantung di lampu merah
Ada warna hijau yang terus didamba
Tapi pada kaca Bus, aku menulis harapan-harapan ini
Merana di jalan-jalan yang terus dilalui
Aku bertanya, untuk apa Bus ini
Untuk apa terminal yang ramai ini
Jika untuk aku kenapa aku sesepi ini
Dari atap panjangn Bus, ada yang yang juga mengulur tanganmu yang panjang
Ada aku yang lesu duduk seharian
Harapan-harapan yang semakin digulis candunya Ban pada jalan
Semakin resah lemas di dilepaskan lewat asap Bus yang panas
Di undakan Bus pertama,
Aku diam menyaksikan sesak dan sempitnya harapanku berdesak-desakan
Miris kakiku yang berdiri menunggu kursi-kursi ditinggalkan
Risih duduk berdua,
Tapi sepi duduk sendiri saja
Hingga turun,
Aku masih bertanya
Kapan berhenti menyusuri yang itu-itu saja
Terus diulang sampai muak
Aku berpaling
Ternyata aku ditinggal
Kita berpisah di harapanku yang hilang terbawa deru Bus yang sekali saja
Jadi cerita ini sudah
Sumenep, 12 Agustus 2022
Komentar
Posting Komentar