Pagi hari, kehidupan mulai menggeliat di sebuah pedesaan. Satu dua jendela rumah mulai dibuka oleh pemiliknya. Ayam tak berhenti berkokok sahut-sahutan dengan suara kicau burung di atas sana. Dari arah timur mentari mulai muncul. Cahayanya menyirami persawahan dengan padi yang mulai membungkuk memasuki usia panen, menyapa ladang penduduk dengan beranekaragam tanaman. Embun di rumput-rumput sebetis mulai menggelayut, diinjak oleh orang-orang yang mulai pergi ke ladang pagi ini. Menjemur punggung dibawah terik matahari sampai siang bahkan ada yang sampai sore hari.
Terdengar suara ibu-ibu memanggil seorang tukang sayur. Teriakan ibu-ibu memanggil anak-anak yang bandel susah disuruh mandi untuk berangkat sekolah. Teriakan ibu-ibu yang meminjam bumbu pada tetangganya. Kehidupan di desa ini sudah mulai menggeliat sejak subuh dengan suara air yang ramai di kamar mandi. Suara adzan yang nyaring sekali, terdengar kesemua penjuru.
Anak-anak berseragam dengan tas besar tersampir di punggung bergiliran menggoes sepedanya melewati jalan beraspal di sepanjang desa menuju sekolah mereka. Saling jahil di jalan menyenggol sepeda temannya yang lain. Tertawa puas melihat temannya kehilangan keseimbangan. Lalu main kejar-kejaran sampai gerbang sekolah.
"Pr-mu sudah selesai, Dimas?" Yanti bertanya, sambil berteriak mengalahkan suara bising kendaraan lain. Saat ini kedua anak itu ada di pinggir jalan raya menggoes sepeda mereka hendak berangkat sekolah.
"Pr yang mana?" Dimas berusaha mengingat-ingat.
"Oh ya, aku ingat. Tentu saja sudah. Kau tenang saja," lanjutnya.
Bukan apa-apa Dimas sering lupa jika ada pr di sekolah. Sering tidak mengerjakan tugas. Pernah sampai dihukum guru beberapa kali karena bendelnya dan nakalnya.
"Ibumu kapan pulang, Dim?" Yanti bertanya lagi. Sekolah mereka masih agak jauh, kali ini jalanan menanjak jadi mereka harus turun menuntun sepeda.
"Aku tidak tahu. Aku tidak peduli dia pulang atau tidak. Toh dia juga tidak peduli depanku." Jawaban Dimas terdengar sewot.
Percakapan mereka harus berhenti karena sudah hampir sampai di depan gerbang sekolah. Mereka buru-buru karena satpam sekolah akan menutup gerbang. Sudah jam tujuh ternyata.
"Seharusnya pak Badrut tidak memberi tugas tambahan. Guru itu menyebalkan sekali. Sudah jarang masuk, sekali masuk penjelasannya sedikit sekali, tidak nyambung, bikin pusing, tugasnya malah yang banyak." Dimas lagi-lagi menggerutu. Dimas dan Yanti saat ini sedang beranda di kantin mengantri membeli Sempol.
"Sudahlah, Dim. Tidak apa-apa lagi pula tugasnya mudah. Hanya mengerjakan tugas evaluasi di halaman 56. Nanti kita kerjakan bersama di rumahku." Yanti menenangkan.
Yanti dan Dimas berkawan sudah lama. Mungkin sudah dari dalam perut. Mereka tinggal di desa yang sama. Bahkan rumah mereka deket sekali hanya berjarak sepelemparan batu saja. Jadi jika berteriak dari rumah Dimas akan terdengar ke rumah Yanti. Pun sebaliknya.
Yanti Andriyani, biasa dipanggil Yan atau Yanti oleh teman-teman dan keluarganya, tinggal bersama kedua orangtuanya yang berprofesi sebagai petani. Dan memiliki seorang Kakak laki-laki yang sudah menikah. Keluarganya terlihat harmonis meskipun hidup dengan keadaan yang serba sederhana. Hal tersebut berbanding terbalik dengan Dimas Guil Batusangka yang biasa dipanggang Dim oleh Yanti. Orang tua Dimas sudah lama cerai. Bapak dan ibunya kompak pergi dari rumah mencari kehidupan masing-masing setelah perpisahan mereka. Lupa terhadap kewajiban yang harus merawat anak mereka Dimas, lupa jika Dimas masih duduk di bangku sekolah dasar dan masih membutuhkan kasih sayang keduanya. Dimas kali ini tinggal dan diasuh oleh neneknya Ibu dari Ibunya Dimas yang juga sama tidak pedulinya pada Dimas. Sebab bukan cucu kesayangan. Padahal pada cucu-cucunya yang lain neneknya Dimas ramah dan lembut sekali. Berbanding terbalik pada Dimas yang selalu kena marah dan sering tidak diurus. Pantas saja kadang Dimas lupa mengerjakan tugas. Dan bahkan lebih betah berada di rumah Yanti.
"Dimas mau kemana?" Itu suara teriakan neneknya Dimas. Dimas baru pulang sekolah langsung berganti pakaian. Langsung tancap gas pergi bermain.
"Letakkan dulu seragam dan tas sekolahmu ke tempat yang benar." Nenek Dimas memungut seragam dan tas sekolah yang berserakan di lantai.
"Anak itu sudah sekali diatur. Bandel sekali sama seperti orang tuanya," tukasnya.
Dimas menggoes sepedanya ke tanah lapang yang ada di desa mereka. Melambaikan tangan pada temannya yang sudah lama menunggu.
"Lama sekali, Dim. Ayo cepat terbangkan layangannya," seru Iman.
Anak-anak itu ramai sekali bermain layang-layang di tanah lapang. Angin berhembus kencang cocok sekali untuk menerbangkan layang-layang. Mereka tertawa memamerkan bentuk layangan masing-masing punya siapa yang lebih bagus.
Di tempat lain ada Yanti yang tengah sibuk membantu ibunya menjemur padi. Mereka baru saja panen. Padi-padi itu dijemur di atas tikar besar digelar di halaman rumah.
"Kau jaga dulu ya, Yan. Jangan sampai ada ayam berkeliaran. Fokuskan matamu pada padi-padi itu, Ibu mau mencuci sebentar." Demikian perintah Ibunya Yanti.
Yanti duduk santai di teras rumahnya sambil memakan camilan dan membaca buku cerita yang dia pinjam dari perpustakaan sekolah. Melihat-lihat sekitar, aman tidak ada ayam tetangga yang usil.
"Heh ayamnya, Yan." Itu suara seruan Dimas yang sudah heboh mengusir ayam yang mematuk padi yang sedang dijemur.
Yanti panik baru-baru berdiri ikut mengusir ayam. Karena tadi terlalu fokus membaca jadi tidak tahu kalau padinya dimakan ayam.
"Terima kasih Dim sudah membantu."
"Sama-sama, Yan," balas Dimas.
"Kamu dari mana?" Yanti bertanya pada Dimas yang saat ini sudah duduk di teras rumahnya. Langsung tancap gas embel-embel apapun mencomot camilan Yanti.
"Dari tanah lapang menerbangkan layangan," jawabnya santai.
Mereka bergurau sepanjang sore itu di teras rumah Yanti. Sambil diteriaki Ibunya Yanti yang meminta bantuan untuk memindahkan padi-padi yang dijemur, memasukkannya kembali ke dalam karung untuk esok harinya akan dijemur lagi hingga benar-benar kering.
"Kamu tidak mau pulang, Dim?" Yanti bertanya setelah selesai memasukkan padi kedalam karung.
"Sebentar lagi."
"Nanti nenekmu mencarimu, Dim. Pulang sana. Sudah sore juga sebentar lagi Maghrib."
"Kamu seperti tidak tahu nenek saja, Yan. Mana pernah dia mencariku meski aku tidak pulang seharian pun ke rumah. Bukankah waktu itu saat kita terjebak hujan deras saat pulang sekolah, kamu dicari oleh Ibumu karena khawatir. Nenekku mana mau dia mencariku. Apalagi sampai khawatir aku kenapa-kenapa. Itu mustahil." Jawabannya Dimas sewot. Namun meski demikian, akhirnya Dimas pulang juga karena sudah adzan Maghrib.
"Tidak usah pulang saja sekalian. Seperti ayam saja, pulang saat petang. Jika belum petang tidak mau pulang." Dimas langsung disambut ucapan pedas dari neneknya. Tidak mau ambil pusing, dia hanya lewat di depan neneknya. Mengambil handuk di kamar lalu bergegas mandi sebentar lagi harus pergi mengaji ke surau di belakang rumah.
***
Hari sudah pagi. Sama seperti pagi kemarin kehidupan di desa ini sudah dimulai sejak adzan subuh berkumandang.
"Sebentar lagi kita akan lulus SD. Kamu sudah mempersiapkan untuk ujian kelulusan dua bulan lagi?" Yanti bertanya saat mereka menggoes sepeda berangkat sekolah.
Yang ditanya hanya mengangkat bahu tidak peduli.
Mereka sekolah dengan rajin hari ini. Meski sesekali sebal dengan tugas yang diberikan guru. Apalagi guru matematika, seperti tidak ada habisnya memberikan tugas. Konon katanya, guru matematika adalah guru yang paling rajin. Meskipun hujan badai angin ribut halilintar, guru matematika akan tetep datang ke sekolah mengajar murid-muridnya.
Setelah lulus SD, baik anak-anak atau orang tuanya akan sibuk mencari sekolah SMP mana yang akan masuki setelah lulus SD. Sama halnya Yanti sudah memikirkan akan masuk ke SMP mana. Berbeda dengan Dimas yang lagi-lagi acuh tak acuh. Neneknya bahkan tidak bertanya soal kapan dia akan ujian.
"Nek, nenek." Itu teriakan dari Sadam dan Iman teman bermain Dimas. Datang terbirit-birit sambil berteriak..
"Nek, nenek. Dimas terjatuh dari atas pohon mangga," lanjutnya.
Neneknya Dimas buru-buru keluar dari dalam rumahnya saat mendengar teriakkan.
"Kalian serius? Bagaimana bisa sampai jatuh. Siapa pula yang mengizinkan Dimas naik pohon. Sudah jatuh baru tahu rasa. Jatuhnya di mana?" Masih sempatnya neneknya Dimas menyumpahi.
"Di rumahnya Intan, Nek. Pohon mangga yang tinggi besar itu. Kepalanya Dimas berdarah terkena batu. Lukanya parah sepertinya," ucap Sadam.
"Hah! berdarah? Kenapa sampai berdarah? Haduh merepotkan sekali anak itu. Kenapa kalian tidak bilang dari tadi kalau kepalanya berdarah." Neneknya Dimas sudah berjalan terburu-buru menuju rumahnya Intan salah satu teman Dimas.
"Nenek mau kemana?" Iman bertanya
"Ke rumah Intan menjemput Dimas. Kau tidak lihat?"
"Dimas sudah dibawa ke puskesmas oleh orang tuanya Intan, Nek. Tidak akan ada Dimas di rumah Intan," titah Sadam memberitahu.
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi. Sudahlah lah aku mau pergi ke rumah nya Jumadi saja untuk minta antar ke puskesmas." Neneknya Dimas berbalik arah ke rumah Yanti akan meminta diantar ke puskesmas pada bapaknya Yanti. Sadam dan Iman hanya memandangi kepergian neneknya Dimas.
Tadi siang selesai pulang sekolah, seperti biasa Dimas pergi bermain dengan teman-temannya. Tidak memperdulikan teriakan neneknya yang mengomel mencegah pergi. Sempat mampir ke rumah Yanti mengajaknya ikut bermain, tapi tidak bisa karena membantu Ibunya menjemur padi. Jadikan siang itu Dimas, Sadam dan Iman pergi bermain ke tanah lapang untuk menerbangkan layangan lagi. Tapi tidak ada angin, layangan mereka tidak bisa terbang. Jadilah mereka bertiga pulang. Saat lewat di depan rumahnya Intan, mereka melihat ada mangga yang matang di pohon mangga yang ada di depan rumahnya Intan.
Mereka mengucap salam meminta izin pada bapaknya Intan untuk meminta mangga yang matang itu. Karena tidak ada galah untuk mengambil mangga itu, Dimas menawarkan diri untuk memanjat agar lebih cepat. Toh Dimas juga sudah terbiasa memanjat pohon mangga dan pohon yang lain.
"Biar aku saja yang memanjat, kalian tangkap mangganya dari bawah. Jangan sampai jatuh ke tanah ya," ucap Dimas.
Dimas pun mulai memanjat pohon mangga. Entah nasib malang atau apa, tidak butuh waktu lama mangga yang matang itu berhasil dipetik di atas sana. Lalu dilempar kebawah dan ditangkap oleh Sadam dan Iman. Tapi saat hendak turun, Dimas salah memilih pijakan. Dia mengira di bawah kakinya ada batang pohon, jadi diinjaklah sebagai pijakan. Namun ternyata tidak ada. Seketika tubuh itu kehilangan keseimbangan hingga terjatuh. Tapi naasnya saat terjatuh dari pohon mangga yang tinggi besar itu, dibawah sana terdapat batu yang cukup besar, batu yang biasanya digunakan bapak Intan yang menumbuk. Dimas terjatuh dari atas pohon lalu kepalanya telak terbentur pada batu besar itu hingga mengeluarkan darah. Nyaring sekali suara benturan itu, bapak Intan yang berada di dalam rumah refleks keluar langsung kalang kabut melihat kejadian itu. Diangkatlah Dimas ke teras rumahnya dengan kondisi setengah sadar. Karena darah yang ada di kepala Dimas terus mengalir hingga rembes ke sarung bapaknya Intan di tambah Dimas yang tiba-tiba tidak sadarkan diri akhirnya bapaknya Intan memutuskan membawanya ke puskesmas, lalu menyuruh Sadam dan Iman untuk memberitahu keadaan Dimas kada neneknya Dimas.
Siang ini keadaannya genting sekali. Neneknya Dim terburu-buru pergi ke rumah Yan untuk meminta diantarkan ke puskesmas.
"Yan ikut ya, Nek?" Yan memohon, dia khawatir temannya kenapa-napa. Siang itu nenek Dim di antara bapaknya Yan ke rumah puskesmas dan Yan itu bersama mereka.
"Dimana anak bandel itu. Merepotkan orang saja." Suara nenek Dim terdengar di lorong puskesmas. Bapaknya Intan menunjuk ruang UGD. Dim ada di dalam sedang ditangani oleh dokter.
Keadaannya parah. Darah yang semula hanya keluar dari kepalanya semenjak sampai ke rumah sakit tadi juga keluar dari hidungnya. Siang itu, dokter meminta keluarga Dim untuk memindahkan Dim pada rumah sakit yang lebih besar. Puskesmas ini tidak memiliki alat yang lengkap untuk melakukan tindakan lebih lanjut. Surat persetujuan ditandangani oleh nenek Dim. Dim dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar yang ada di kota dengan peralatan yang lebih canggih.
***
"Kamu mau permen ini, Dim?" Yan bertanya sambil menjulurkan permen pada Dim yang duduk di sebelahnya dan hanya diam membisu.
Tadi setelah pulang sekolah, Yan buru-buru berganti pakaian dan belum sempat makan siang lalu pamit pada ibunya akan ke rumah Dim sambil membawa beberapa buku dan permen yang dia beli di sekolah.
"Tahu tidak, aku berhasil menyelundupkan buku yang ada di perpustakaan seperti yang kamu lakukan dulu." Yan nyengir menunjukkan buku yang dia bawa.
"Kuota pinjaman bukuku penuh, tapi aku ingin sekali meminjam buku ini. Jadi, aku mengikuti saranmu. Apa yang kamu katakan waktu itu, hanya meminjam tidak dicuri, nanti juga dikembalikan." Yan cekikikan mengingat usulan Dim dulu.
"Kau mau aku bacakan isi bukunya? Ini novel terbaru karangan Tere Liye loh." Yan antusias sekali. Namun nihil, tetap tidak ada respon dari Dim. Yan tersenyum tipis menatap lekat wajah Dim yang tanpa ekspresi.
Semenjak keluar dari rumah sakit satu minggu yang lalu, Dim hanya duduk diam, tidak berbicara apapun. Tidak pergi ke sekolah, tidak pergi bermain, bahkan tidak pergi ke rumahnya Yan meksipun hanya untuk menumpang makan atau membantu menjaga padi yang dijemur.
Ada sesuatu yang terjadi di rumah sakit waktu itu. Setelah Dim dipindahkan dari puskesmas ke rumah sakit yang lebih besar, dokter di rumah sakit langsung melakukan tindakan, menjehit luka yang ada di kepala Dim. Darah yang keluar akhirnya bisa tersumbat. Namun, akibat dari benturan kepala pada batu besar itu ternyata berakibat fatal. Dokter mengatakan saat Dim sadar nanti kemungkinan besar akan mengalami afasia. Afasia adalah gangguan berkomunikasi yang disebabkan oleh kerusakan di otak. Gangguan ini dapat memengaruhi kemampuan berbicara dan menulis, serta kemampuan memahami kata-kata saat membaca atau mendengar.
Penderita afasia umumnya keliru dalam memilih atau merangkai kata-kata menjadi sebuah kalimat yang benar. Selain itu, penderita afasia juga tidak bisa memahami perkataan orang lain. Meski demikian, gangguan dalam berkomunikasi ini tidak memengaruhi tingkat kecerdasan dan daya ingat penderitanya. Afasia sebenarnya bukan merupakan suatu penyakit, melainkan gejala yang menandai adanya kerusakan di bagian otak yang mengatur bahasa dan komunikasi.
Salah satu penyebab kerusakan otak yang paling sering memicu afasia adalah stroke. Saat terserang stroke, tidak adanya aliran darah ke otak menyebabkan kematian sel otak atau kerusakan di bagian otak yang memproses bahasa. Diketahui sekitar 25–40% penderita stroke menderita afasia. Selain stroke, kerusakan otak akibat cedera kepala, tumor otak, atau infeksi di otak (ensefalitis) juga bisa menyebabkan afasia. Dalam kondisi tersebut, afasia biasanya disertai dengan gangguan daya ingat dan gangguan kesadaran.
Dan itulah yang dialami Dim. Benturan keras itu mengakibatkan fungsi otaknya tidak berkerja dengan baik. Nenek Dim terduduk lemas di depan pintu rumah sakit setelah mendengarkan penjelasan dokter. Sama sekali tidak dibayangkan sebelumnya cucunya akan seperti ini.
"Jumadi, bisa kau carikan nama Hasuna di sana, aku akan menelpon mau memberitahu keadaan, Dim." Neneknya Dim menjulurkan Telfon genggam pada bapaknya Yan.
Dicarilah nomor telfon Ibunya Dim. Nomor itu dihubungi berkali-kali namun tidak ada jawaban. Terakhir dihubungi malah dimatikan. Ibu Dim tidak peduli dengan keadaan sekarat anaknya.
"Tidak diangkat, Nek," kata Bapaknya Yan.
Yan ingat sekali waktu itu, Ibunya Dim tidak bisa dihubungi bahkan sampai Dim pulang ke rumah setelah tiga hari berada di rumah sakit. Kemana Ibunya.
"Seru sekali bukan. Aku sampai ketawa cekikikan membaca bagian saat Ali Raib dan Seli dikejar beruang." Apapun yang dilakukan Yan tetap tidak membuat Dim bergeming.
"Ngomong-ngomong nenekmu kemana? Aku tidak melihatnya dari tadi. Apa dia masih berkeliaran ke rumah tetangga untuk bergosip?" ucap Yan.
"Aku sekarang pergi ke sekolah sendirian, Dim. Sadam dan Iman sering meninggalkanku saat berangkat sekolah. Apalagi saat pulang, bahkan sepeda mereka sudah kosong di parkiran saat aku baru keluar dari kelas. Tega sekali mereka." Yan menunjukkan ekspresi jengkelnya.
Namun, akhirnya menunduk. Yan tergugu lama. Ini menyesakkan melihat temannya dari kecil harus berada dalam keadaan seperti ini. Dim benar-benar kesulitan saat membaca dan menulis sekarang, seperti yang dikatakan dokter di rumah sakit waktu itu. Kesulitan menangkap perkataan orang lain, kesulitan merespon perkataan orang lain. Tiga hari yang lalu saat Yan ke rumah Dim, mengajarinya menulis, bahkan kalimat yang ditulis Dim salah-salah. Seberapa besarpun usahanya untuk membuat Dim tersenyum itu seperti sia-sia.
Yan bukan pelawak tidak bisa membuat orang lain tertawa. Bahkan selera humornya rendah sekali. Justru lebih banyak Dim yang membuat Yan terpingkal-pingkal karena ulahnya dulu. Yan menangis sambil menunduk.
"Jangan menangis." Tiba-tiba tangan Dim terjulur menghapus air mata Yan. Yan mendongak kaget. Setelah seminggu sejak keluar dari rumah sakit ini adalah kali pertama Dim berbicara. Yan buru-buru menghapus air matanya. Tersenyum menatap Dim.
"Mau aku lanjutkan ceritanya, Dim?" Yan bertanya. Dim balas mengangguk dan lagi-lagi tanpa ekspresi apapun.
Tiga puluh menit kemudian nenek Dim datang dan langsung mengomel.
"Kalian berdua kenapa membuat rumah ini menjadi kotor hah. Baru saja kutinggal sementara." Yan terkaget nenek Dim marah-marah setelah pulang dari bergosip di rumah tetangga. Apanya yang ditinggal sebentar, nenek Dim lama sekali di rumah tetangga. Bukankah Yan sudah di rumah ini cukup lama dan nenek Dim memang sudah tidak ada di rumah. Yan melihat sekitar, padahal cuma ada bungkus kerupuk dan permen. Yan hanya nyengir, bilang nanti akan dibuang ke tempat sampah.
"Tidak ada nanti-nanti, Yan. Sekarang!" seru nenek Dim yang sudah masuk ke dalam rumah. Yan dengan malas berdiri memungut sampah plastik di sekitarnya.
"Nenekmu seperti beruang yang ada di novelnya Tere Liye, sama galaknya." Demikian kata Yan.
***
Satu bulan terlewati saat Dim berbicara sepatah kata saat menghapus air mata Yan. Ternyata itu hanya kebahagiaan sesaat, setelah itu Dim tidak berbicara lagi. Tatapannya kosong, wajahnya tanpa ekspresi dan Dim lebih banyak duduk terdiam. Dan Yan tak henti-henti mengunjungi Dim di rumahnya setelah pulang sekolah. Berharap dengan ditemani dan dihibur, keadaan Dim akan lebih baik.
Afasia ini sebenarnya bisa diobati, namun agak sulit. Jika kerusakan otak tergolong ringan, afasia dapat membaik dengan sendirinya. Namun, bila afasia yang diderita cukup berat, dokter akan memberikan penanganan. Dan Dim termasuk pada yang cukup berat, yaitu afasia progresif primer.
Kondisi ini menyebabkan penurunan kemampuan membaca, menulis, berbicara, dan memahami percakapan, yang terjadi secara perlahan. Afasia progresif primer jarang terjadi dan sulit ditangani.
Metode penanganan afasia akan disesuaikan dengan jenis afasia yang diderita, bagian otak yang rusak, penyebab kerusakan otak, usia, dan kondisi kesehatan pasien.
Dim menjalani metode terapi wicara. Terapi wicara dan bahasa ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan dalam membaca, menulis, dan mengikuti suatu perintah. Selain itu, pasien juga akan diajarkan cara berkomunikasi dengan gerakan atau gambar. Terapi wicara bisa dilakukan dengan menggunakan teknologi seperti program komputer atau aplikasi.
Dim juga mengkonsumsi obat yang diberikan oleh dokter untuk mengatasi afasia. Biasanya obat itu bekerja dengan cara melancarkan aliran darah ke otak, mencegah berlanjutnya kerusakan otak, dan menambah jumlah senyawa kimia yang berkurang di otak. Salah satu obat yang digunakan adalah piracetam.
Sudah satu bulan lebih sejak sejadian itu tidak lagi masuk sekolah dan harus bolak balik terapi ke rumah sakit. Dim bisa berbicara, namun tidak terlalu tanggap. Dim juga bisa berjalan, kadang pergi ke rumah Yan. Namun kemudian hanya diam. Saat diajak bicara pun jawabnya sering tidak nyambung.
Bulan-bulan ini Yan sedang sibuk-sibuknya belajar untuk menjalani ujian. Seperti yang dikatakan waktu itu, ujian kelulusan dua bulan lagi, dan bulan ini adalah bulan dilaksanakannya ujian itu. Tapi meski demikian, Yan tetap berkunjung ke rumah Dim. Menemani Dim.
Dim tidak ikut ujian kelulusan itu. Seminggu yang lalu sebelum ujian kelulusan dilaksanakan, Dim memaksa ingin masuk sekolah. Neneknya sudah lelah membujuk dan Ibunya Yan yang ikut membujuk juga sudah menyerah. Akhirnya pagi itu Dim sekolah.
Guru di depan sibuk menulis pelajari hari ini. Tiba-tiba Dim melempar buku dan pulpennya. Dim tadi mencoba menulis, mencoba membaca tulisan yang ada dibuku. Namun lagi-lagi otaknya tidak bisa bekerja dengan baik. Sulit sekali untuk membaca dan menulis itu. Karena kesal, Dim melempar buku dan pulpennya.
"Tulisannya hilang. Tulisannya hilang." Itu yang dikatakan Dim berulang kali. Sambil memikul kepalanya dan berteriak histeris. Pak Hilman yang mengajar hari itu berusaha menenangkan Dim. Yan ikut membantu mengambil buku dan pulpennya Dim. Tulisan Dim amburadul. Hurufnya tidak lengkap, bahkan perkataan Dim tadi pun salah kosakata. Tulisannya hilang, itu kata Dim. Mungkin terapi itu sama sekali tidak membuahkan hasil.
Yan menatap Dim lamat-lamat. Matanya jadi panas. Ingin rasanya menangis jika melihat Dim yang mengamuk saat ini. Tapi buru-buru dihapus oleh Yan.
Semenjak kejadian itu, Dim tidak sekolah lagi. Neneknya memarahi Dim habis-habisan.
"Sudah nenek bilang kan, tidak usah sekolah dulu. Sudah tahu sakit begini, kamu malah ingin sekolah. Dasar anak bandel, dasar anak nakal. Lihat karena kamu bandel sampai jatuh dari atas pohon kan. Tidak mendengarkan nenek itu akibatnya." Nenek Dim memarahi Dim saat baru pulang sekolah. Nenek Dim dapat laporan dari gurunya Dim kalau cucunya mengamuk di sekolah.
"Pantas saja Ibumu tidak peduli, bahkan tidak pulang sampai sekarang. Ya karena anaknya bandel seperti ini, merepotkan orang kerjaannya." Amarah nenek Dim masih membuncah. Dim hanya duduk diam dengan masih menggunakan seragam sekolah.
Karena sudah tidak tahan lagi dengan suara neneknya, Dim memilih pergi ke rumah Yan tanpa pamit.
"Heh, nenekmu masih bicara, Dim. Jangan Pergi begitu saja. Dasar tidak sopan," seru nenek Dim di depan teras rumahnya.
Dim sama sekali tidak diperlakukan dengan baik oleh neneknya meksipun sedang sakit begini. Ibunya pun sama tidak pedulinya. Tetap tidak pulang meskipun diberitahu anaknya sakit. Hanya menelfon menanyakan kabar singkat dan mengirim uang.
"Aku bahagia sekali hari ini, akhirnya ujian kelulusan itu selesai juga, jadi aku tidak perlu lagi belajar siang malam." Yan baru saja datang sekolah dan langsung pergi ke rumah Dim. Antusias sekali menceritakan ujiannya. Dim hanya mengangguk sebagai jawabannya.
Yan sadar seharusnya dia tidak sebahagia ini di depan Dim yang tidak mengikuti ujian kelulusan.
Yan buru-buru mengalihkan percakapan.
"Eh, mau mencoba mencicipi permen dari gula? Aku kemarin membuatnya bersama ibu. Rasanya enak Dim. Ayo ikut ke rumah," seru Yan sambil menarik tangan Dim untuk ikut bersamanya.
***
Hari kelulusan itu tiba. Semua murid bersuka cita. Yan lulus dengan nilai memuaskan. Tapi wajahnya sedih. Tidak ada Dim di kelas, tidak ada Dim yang ikut melihat pengumuman kelulusan. Dim tidak sekolah semenjak kejadian itu, tidak ikut ujian. Dim dinyatakan tidak lulus, menetap di kelas 6 dan harus mengikuti ujian kelulusan tahun depan.
Dim menjulurkan tangan. Siang ini Dim berkunjung ke rumah Yan setelah Yan pulang sekolah. Langsung disuguhi kolak singkong oleh ibunya Yan.
"Bibi membuatnya banyak sekali. Nanti kalau kamu mau pulang, bawa untuk nenekmu ya, Dim." Itu kata ibunya Yan. Dim balas mengangguk.
"Selamat, Yan," kata Dim sambil menjulurkan tangan. Maksudnya selamat atas kelulusannya. Dim tidak terlihat bersedih meskipun tidak lulus. Tapi malah Yan yang bersedih karena mereka tidak lulus bersama.
Dim masih mengulurkan tangan kepada Yan. Yan hanya melihatnya.
"Aku bahagia kelulusannya hari ini," kata Dim.
"Ambil tanganku," lanjutnya.
Meksi sebenarnya kosakatanya kurang tepat, Yan paham maksud Dim. Segera dia menerima uluran tangan Dim. Dim tersenyum tipis.
Terapi yang dilakukan Dim sudah diberhentikan bulan lalu. Biasanya dia setiap awal bulan akan menjalani pengobatan. Nenek Dim mengehentikan pengobatan itu.
"Uangku habis jika terus digunakan untuk terapi dan membeli obat mahal itu. Uang yang dikirimkan Hasuna hanya cukup untuk makan Dim saja." Itu kata neneknya Dim saat ibunya Yan berkunjung untuk membicarakan kenapa Dim tidak terapi lagi.
"Tapi nek, bukankah pengobatan itu sedikit berhasil. Dim bisa mencerna perkataan orang dengan lebih baik," kata ibunya Yan.
"Kalian hanya tahu memberi saran saja. Aku yang membiayainya. Kalian diam saja."
Tidak ada yang bisa membujuk neneknya Dim. Pengobatan itu akhirnya diberhentikan. Bulan ini Dim tidak pergi terapi. Dari hasil terapi itu Dim sudah lumayan bisa merespon orang, sudah mulai nyambung. Mengenal simbol-simbol untuk benda. Meskipun sebenarnya kemampuan membaca dan menulisnya tidak seperti dulu. Dim tetep kesusahan.
Malam harinya seperti biasa selepas shalat Maghrib Dim dan Yan pergi mengaji ke surau yang ada di belakang rumah Dim.
"Jangan lupakan buku gambar yang aku berikan tadi siang, Dim," ucap Yan saat mereka berpisah setelah pulang dari mengaji.
Yan memberikan Dim buku dengan banyak gambar di dalamnya. Dia beli dari hasil menabung untuk membantu Dim belajar banyak hal dari gambar-gambar itu.
Saat mengaji tadi, Dim lagi-lagi tidak lancar. Dia tidak maju-maju ke ayat berikutnya. Otaknya tidak cepat menangkap. Mbah Anum guru mengaji mereka telaten sekali mengajar Dim kalimat perkalimat. Dulu sebelum kejadian itu, Dim lancar sekali mengaji. Meskipun bandel, dan susah sekali diatur saat berada di surau, Dim murid yang paling banyak menyetor bacaan setiap malamnya.
"Assalamualaikum." Yan mengucap salam sambil mendorong pintu rumah. Bapaknya menjawab salam, sedang matanya fokus pada saluran televisi memberitakan seorang capres yang diusung oleh partai banteng berwarna merah. Dan Ibunya sedang ada di dapur mencuci piring.
"Bapak ingin bicara denganmu malam ini, Yan," ucap bapaknya.
"Berbicara soal apa pak?" Yan bertanya.
"Mengenai sekolahmu. Kakakmu di kota menyarankan agar kamu masuk salah satu pesantren besar yang ada di sana. Bapak dan ibumu setuju soal itu, Yan. Hanya menunggu persetujuan kamu saja. Jika kamu setuju bapak akan segera mendaftarkanmu ke sana." Begitu kata bapaknya Yan.
"Kenapa harus ke pesantren yang ada di kota, Pak. Apa tidak bisa di sekolah SMP dekat sini saja agar Yan tidak jauh dari rumah."
"Yan dengarkan bapak. Kamu ingat sebuah pepatah, 'Carilah ilmu sampai ke negeri China'. Itu hanya simbol agar kita mengejar cita-cita kita, belajar ilmu yang banyak bahkan jika perlu sampai ke negara tetangga sana. Bapak, ingin pendidikan yang terbaik untukmu, Yan."
"Bapak tidak setuju masyarakat yang beranggapan bahwa, buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi jika ujungnya akan ke dapur. Iya bapak tahu, perempuan pada akhirnya akan kembali ke dapur. Tapi jika hanya ke dapur tanpa ilmu pengetahuan buat apa, Yan. Seperti tong kosong nyaring bunyinya. Bahkan memasak pindang ikan saja butuh ilmu agar rasanya menjadi enak. Membuat kopi saja harus tahu takaran gula dan bubuk kopi yang pas agar rasanya enak. Bapak ingin kamu pergi ke pesantren itu. Menempuh pendidikan di sana sampai kamu lulus," ucap bapak Yan.
"Ibu juga setuju, Yan. Kami hanya menunggu persetujuan darimu saja. Kalau kamu setuju kita akan segera mendaftarkanmu ke sana. Lagi pula pendaftarannya akan buka dua minggu lagi." Ibunya ikut berpendapat setelah keluar dari dapur.
"Pikirkan baik-baik, Yan. Ambil keputusan yang tepat. Pergi belajar ke pesantren itu juga sebuah keputusan yang tepat, Yan. Bapak harap kamu mau melanjutkan ke sana," lanjut bapaknya.
Malam ini Yan bingung. Mengikuti saran orang tuanya agar pergi ke pesantren untuk melanjutkan sekolahnya di sana, atau tetap di sini. Yan mau-mau saja sebenernya sekolah di pesantren yang ada di kota itu. Kakaknya juga ada di kota. Rumah istri kakaknya tidak jauh dari pesantren itu. Bahkan ada beberapa teman-teman Yan yang akan melanjutkan ke pesantren itu.
Pesantren itu hebat sekali sebenernya. Banyak lulusan dari sana yang berkualitas. Pesantren yang terkenal dan besar. Akan tetapi, ada yang memberatkan Yan untuk mengambil keputusan. Dim. Yan memikirkan Dim. Dim yang belum lulus, Dim yang tidak punya teman nanti. Sadam dan Iman juga akan melanjutkan sekolahnya di kota. Dim akan kesepian. Lagipula semenjak jatuhnya Dim, Dim hanya bermain dengan Yan saja. Yan berat hati jika harus meninggalkan Dim.
Malam ini Yan tidur dengan tidak nyenyak.
***
Dim menunjuk muka Yan.
"Kenapa?" Itu kata Dim lewat ekspresi wajahnya. Yan murung saat pergi bermain ke rumah Dim. Padahal Dim antusias sekali hari ini membuka buku dengan banyak gambar di dalamnya yang diberikan oleh Yan.
"Aku tidak apa-apa," jawab Yan.
Dim menutup bukunya. Tidak jadi belajar.
"Berbohong itu salah," ucap Dim sambil menatap Yan.
"Aku akan melanjutkan ke pesantren yang ada di kota. Bapakku yang menginginkan itu. Ibu juga mendukung. Aku tidak tahu harus apa." Yan akhirnya mengatakan itu.
"Ambil saja. Pergi ke sana. Itu tempat bagus. Kamu pasti cerdas di sana." Dim malah antusias mendengar kabar dari Yan. Dim malah menyuruh Yan pergi ke sana.
"Tidak bisa semudah itu, Dim."
"Kenapa?" tanya Dim lewat ekspresinya lagi.
"Aku tidak bisa meninggalkanmu. Kita sudah berteman sejak lama. Kita punya rencana untuk lulus bersama dan satu sekolah bersama. Tapi akhirnya tidak seperti itu, aku lulus sendirian. Aku tidak bisa meninggalkanmu. Sadam dan Iman akan melanjutkan ke kota juga. Siapa yang akan menemanimu," ucap Yan. Matanya memanas.
Dim tidak paham kalau Yan tidak bisa tanpa Dim. Yan tidak mau meninggalkan Dim sendiri saat kondisinya seperti ini. Yan ingin menjadi teman yang baik. Menemani Dim belajar dan bermain.
Sebenarnya tidak ada yang peduli dengan Dim, neneknya bahkan acuh tak acuh. Jangan tanya ibunya Dim, dia tidak pulang sama sekali. Egonya terlalu tinggi. Entah mengejar apa di kota orang, sampai anaknya sakit pun dia tidak pulang. Hanya Yan dan keluarganya yang memperhatikan Dim. Dan Dim betah di rumah Yan. Ibu dan bapaknya Yan baik sekali pada Dim. Mengajak Dim makan bersama ke rumahnya. Bahkan ibunya Yan pernah bilang,
"Jika kamu bertengkar dengan nenekmu, kamu bisa kabur ke sini, Dim."
Dan bapaknya Yan malah bilang,
"Lawan saja, nenekmu itu bawel sekali." Usulan bapak Yan langsung dibalas pelototan oleh ibunya Yan.
"Liat aku, Yan. Ikut apa kata bapakmu. Pesantren itu bagus, kamu akan pintar di sana, akan punya banyak teman, akan punya banyak ilmu. Dan aku, aku akan di sini. Tahun depan aku akan lulus. Akan sekolah juga. Pergi, Yan. Jangan di sini. Sekolah di sana enak. Aku akan baik di sini." Dim tersenyum tipis. Berusaha meyakinkan Yan.
Pergilah, itu kata Dim. Dia akan baik-baik saja. Tidak ada Yan, Dim akan belajar sendiri. Buku-buku dari Yan masih tebal halamannya, masih akan butuh waktu yang lama untuk menghantamkannya. Tidak ada Sadam dan Iman juga tidak apa-apa. Dim bisa mengisi hari-hari dengan yang lain.
Yan tidak menjawab apapun. Hanya diam.
"Kita bisa bertemu saat liburmu. Pergi. Di sana enak. Aku tahu itu." Dim berusaha meyakinkan lagi. Dim juga tahu, dulu Yan pernah menyeletuk jika dia ingin sekolah di pesantren yang ada di kota itu.
Yan mendongak. Menatap Dim. Yan menggeleng. Dim balas mengangguk. Pergilah itu kata Dim. Jangan khawatirkan dirinya.
Yan menangis. Sudah tidak tahan lagi. Sesak sekali rasanya harus berpisah dengan temannya sedari kecil. Teman yang selalu bersama kemana-mana.
Sore hari saat pulang ke rumahnya, Yan bilang ke bapaknya kalau dia akan sekolah di sana. Keberangkatan Yan langsung diatur dua minggu lagi sambil sekalian mendaftar ke pesantren itu. Ibunya Yan langsung sibuk menulis apa saja yang akan putrinya bawa ke pesantren. Harus membeli ini itu.
***
Waktu seperti melesat dengan cepat. Dua minggu itu seperti waktu yang sebentar. Tidak terasa bahkan hari keberangkatan Yan sudah besok. Yan memberitahu Dim kalau dia akan berangkat dua minggu lagi. Dim tersenyum bahagia mendengar kabar Yan akan segera berangkat. Dim setiap hari bahkan berkunjung ke rumah Yan.
"Masuk Dim, bantu Yan berkemas," kata ibunya Yan yang melihat Dim baru sampai di depan rumahnya. Dim rajin sekali berkunjung sebelum Yan pergi ke pesantren.
"Besar-besar barang bawaanmu." Dim duduk di samping Yan yang sedang memasukkan pakaian ke dalam tas. Semua barang-barang yang akan dibawa Yan ke pesantren sembilan puluh persen sudah selesai dikemas. Dan Dim salah satunya yang ikut membantu beberapa hari ini.
"Ini sebenarnya merepotkan. Ibu berlebihan sekali. Seperti seisi rumah akan kubawa semua kan. Banyak sekali. Bahkan Ibu memasukkan tiga bantal untuk aku tidur di pesantren," kata Yan menunjuk barang-barang di pojok ruang tamu.
Dim tertawa mendengar perkataan Yan. Benar di sana ada tiga bantal yang sudah diikat dengan tali rafia, juga ada selimut dan kasur lantai.
"Oh ya ...." Yan mengeluarkan sesuatu dari saku bajunya.
"Ini untukmu, dan ini untukku." Yan memberikan gelang yang sama bentuknya untuk Dim.
"Pakai gelang ini Dim. Ini dariku. Sama persis kan dengan yang aku pegang. Lihat gelang ini jika kamu rindu padaku. Eh, tapi apa kamu akan rindu padaku." Yan pura-pura jengkel. Dim terpingkal-pingkal sambil mengangguk. Tentu Dim akan merindukan Yan. Dim memasang gelang pemberian Yan di tangannya.
"Bagus," kata Dim yang sambil memperlihatkan gelang yang sudah dia pakai.
"Tapi kenapa warnanya merah muda?" Dim bertanya.
"Itu warna kesukaanku. Pakai saja tidak perlu protes, Dim. Merah muda itu warna yang lembut." Yan
Dim ikut kata Yan saja. Meski sebenarnya Dim tidak suka warna merah muda.
Di sela-sela percakapan mereka, terdengar bunyi mobil memasuki pekarangan rumah Yan.
"Itu kakakku sudah datang."
Kakaknya Yan datang dari kota dengan membawa mobil. Besok Yan dan bapak ibunya akan naik mobil untuk menuju ke pesantren.
Dim diam membisu melihat Yan menyambut kakaknya dengan gembira.
Malam ini entah kenapa Dim susah sekali tidur. Sudah mengubah posisi tidur beberapa kali, tapi tetap saja matanya tidak mau terpejam. Pikirannya kemana-mana, tidak tenang. Jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul dua belas malam. Sudah berganti hari. Tapi akhirnya Dim tertidur juga. Dan sialnya dia bangun kesiangan. Neneknya bahkan sudah mengomel dari dapur karena Dim susah dibangunkan.
"Ayam bahkan bangunnya lebih pagi," sindir nenek Dim. Dim acuh saja, malas mendengarkan. Bergegas mandi.
Yan pagi ini berangkat, Dim tidak ingin ketinggalan momen melepas Yan ke pesantrennya. Selesai mandi Dim langsung berlari ke rumah Yan. Mobil yang ada di rumah Yan sudah dipanaskan. Beberapa barang bawaan Yan sudah dimasukkan ke dalam bagasi. Terlihat Yan keluar dari rumahnya berpakaian rapi.
"Aku akan berangkat, Dim." Yan tersenyum di depan Dim.
"Kau yakin tidak mau ikut mengantarku ke pesantren?" Yan bertanya. Dim balas menggeleng.
"Ya sudah. Padahal mobilnya masih muat loh."
"Ingat jaga diri baik-baik. Jangan lupakan aku jika kamu menemukan teman baru. Jangan menangis jika merindukanku ya. Dan gelangnya jangan sampai hilang. Dan jangan meledek warna merah mudanya," lanjut Yan sambil tertawa. Itu pesan dari Yan.
Dim balas mengangguk ikut tertawa.
"Jaga dirimu baik-baik di sana." Itu pesan dari Dim. Yan balas mengangguk.
"Ayo Yan masuk kedalam mobil. Kami berangkat dulu ya Dim." Ibunya Yan menyuruh Yan masuk. Yan memeluk Dim sebelum berangkat. Ini pelukan pertama dari Yan dan entah apa akan menjadi pelukan terakhir juga. Dim balas memeluk Yan. Ingin rasanya tidak melepaskan pelukan itu.
Yan melambaikan tangan. Mobil itu bergerak maju keluar dari pekarangan rumah Yan. Dim sebenarnya diminta untuk ikut mengantar. Tapi Dim tidak mau. Lebih tepatnya tidak kuasa. Dim ingin terbiasa tanpa Yan mulai hari ini.
Mobil yang membawa Yan dan keluarganya akhirnya tidak terlihat lagi. Dim masih ada di depan rumah Yan. Memilih duduk di teras rumah. Menatap gelang pemberian Yan.
"Apa anak laki-laki boleh menangis Yan saat kehilangan sesuatu. Apa anak laki-laki boleh terlihat rapuh. Apa anak laki-laki boleh merengek meminta sesuatu. Apa aku bisa memintamu untuk tidak pergi, Yan," kata Dim dalam hatinya. Dim duduk termangu sendiri di teras rumah Yan. Tanpa ekspresi.
Iya Dim memang tertawa dan terlihat antusias mendengar kabar Yan akan pergi ke pesantren impiannya. Tapi tidak bisa Dim pungkiri, dia amat berat untuk berpisah dengan Yan. Bagaimana jika tidak ada Yan. Yang peduli padanya hanya Yan. Yang menemaninya belajar hanya Yan. Yang mengerti perkataannya yang tidak nyambung hanya Yan. Yang tahu apa maunya Dim hanya Yan. Dengan siapa Dim akan melewati hari-harinya jika tidak dengan Yan. Temannya Dim akhir-akhir ini hanya Yan, bukan Sadam dan Iman.
Apa kata Yan tadi, jangan melupakannya jika Dim menemukan teman baru. Bahkan lebih takut Dim. Dim takut Yan melupakan dirinya saat tiba di pesantren itu. Bukankah di sana Yan akan bertemu dengan teman-teman baru yang bahkan lebih baik dari Dim dan lebih nyambung saat diajak bicara.
Dim menatap gelang ditangannya. Gelang berwarna merah muda pemberian diri Yan.
Apa kata Yan saat memberikan gelang ini,
"Lihat gelang ini jika kamu rindu padaku. Eh, tapi apa kamu akan rindu padaku."
Bahkan saat menatap gelang ini Dim sedang merindukan Yan. Padahal Yan baru saja pergi.
***
"Maaf, Mbak. Apa tempat duduknya kosong?" Laki-laki dengan perawakan tubuh tegap, mata sipit, rahang yang kokoh dan warna kulit yang kecoklatan bertanya pada seorang perempuan berhijab dengan pipi tembem yang duduk di bus. Laki-laki itu hendak berangkat kerja.
"Kosong, Mas. Silahkan." Perempuan itu menggeser tasnya yang semula diletakkan pada kursi di sampingnya. Perempuan ini sepertinya akan berangkat kuliah.
Laki-laki itu langsung duduk, melepas tas punggungnya. Matanya fokus ke depan. Kernet bus datang beberapa menit kemudian meminta ongkos, menyebutkan nominal. Laki-laki itu mengeluarkan uang.
Terdengar bunyi telepon. Keduanya refleksi melihat hp masing-masing. Nada deringnya sama. Ternyata telfon milik laki-laki itu yang berbunyi.
"Ada dimana, Dim." Orang di seberang sambungan bertanya sambil berteriak, sepertinya sedang berada di pinggir jalan raya.
Iya, laki-laki yang baru saja duduk di dalam bus itu adalah Dim. Dimas atau lebih akrab dipanggil Dim itu sudah besar sekarang, sudah tumbuh menjadi laki-laki yang dewasa. Tumbuh bersama kesibukan yang ada di kota. Dim bekerja di salah satu pabrik rokok. Baru saja bekerja sekitar tiga bulan yang sebelumnya hanya bekerja serabutan.
"Aku masih di bus. Sebentar lagi sampai." Dim menjawab, volume suaranya ditinggikan.
Setelah menjawab satu dua ocehan dari temen kerjanya, telfon itu di matikan.
Selang sepuluh menit kemudian. Terdengar bunyi telepon lagi. keduanya refleksi melihat hp masing-masing. Ternyata kali ini milik perempuan itu yang berbunyi.
"Aku masih di bus, Far. Sebentar lagi. Aku berangkatnya agak telat, susah mendapatkan bus," ucap perempuan itu. Dim tidak sengaja mendengar percakapannya.
"Iya tugasnya sudah aku kirim ke tukang print depan kampus, tinggal dijemput saja," lanjutnya.
Setelah satu dua percakapan lagi, telfon itu dimatikan.
Keduanya kali ini sama-sama diam. Tidak ada percakapan, karena keduanya paling tidak suka bercakap-cakap di dalam bus. Hanya bikin tambah pusing dan tambah mual. Kadang ada saja ulah orang-orang di dalam bus, mulai dari yang sok akrab dan sok kenal sampai memaksakan diri untuk berbincang-bincang dan bertanya hal-hal yang tidak perlu. Padahal, tidak semua orang suka berbicara di dalam bus. Bahkan sebagian dari mereka lebih banyak berfokus pada rasa mual dan pusing. Biasa mabuk kendaraan.
Kerner bus berteriak, menyebut sebuah nama universitas. Ya, bus itu berhenti di sebuah universitas. Perempuan yang duduk di samping Dim izin untuk turun. Dim berdiri untuk memberinya jalan. Tidak sengaja, hanya sepersekian detik, ujung mata Dim melihat pergelangan tangan perempuan itu. Awalnya tidak ngeh, tapi setelah perempuan itu bergerak maju ke depan untuk turun, barulah Dim sadar jika gelang itu sama persis dengan gelang yang dia pakai.
Mungkin hanya sama. Mungkin hanya kebetulan. Itu yang dipikirkan Dim. Setelahnya dia memilih acuh saja.
Sedangkan perempuan itu langsung turun dari bus dan disambut teriakan dari temannya,
"Yanti, Yan. Hei." Temannya melambai-lambai dari dalam gerbang kampus.
Iya, perempuan itu Yanti atau lebih akrab dipanggil Yan dalam cerita ini. Yan bergegas menghampiri Farhatin teman kuliahnya.
Kenapa tadi Yan dan Dim tidak saling mengenal di dalam bus padahal duduk bersebelahan. Cerita ini terlalu panjang. Yang paling diingat adalah tangisan anak laki-laki yang duduk sendiri di tanah lapang empat tahun lalu.
Anak laki-laki itu menangis sejadi-jadinya. Merutuki banyak hal. Menyumpahi, memaki. Hidupnya berantakan. Ini sudah tahun ketiga dia tidak lulus ujian. Anak laki-laki itu masih tetep duduk di bangku kelas 6. Dia lelah harus mengikuti ujian kelulusan itu. Tahun sebelumnya masih optimis, tapi ternyata tidak lulus. Dicoba lagi tahun mendatang, ternyata sama, tetap tidak lulus.
Tangannya gemetar tadi pagi menerima rapor. Meski dia sudah menyangka tidak akan lulus. Semuanya gara-gara otaknya, dia yang tidak bisa membaca dan menulis, dia yang kekurangan. Gara-gara jatuh dari pohon mangga itu semuanya berantakan. Sebelumnya hidupnya memang sudah berantakan, orang tuanya bercerai, tidak peduli padanya kompak pergi, neneknya yang juga tidak peduli, teman satu-satunya yang juga pergi ke pesantren, bahkan keluarga temannya juga ikut pergi, pindah ke kota yang lebih besar dengan kehidupan yang lebih menjamin. Dirinya yang serba kekurangan sekarang, tidak bisa membaca dan menulis dengan lancar, ditambah tiga kali tidak lulus ujian sekolah. Sudah terlampau malu duduk di kelas 6. Bahkan teman-temannya sudah hampir lulus SMP. Siang itu setelah menerima rapor dan ternyata tetap tidak lulus, dia berlari mencari tempat sepi, duduk sendiri. Dia tidak memiliki siapapun sekarang. Pelan-pelan menyentuh gelang yang ada di tangannya.
"Aku tidak sekuat itu, Yan." Dim tertunduk lama sambil menyentuh gelang di pergelangan tangannya. Anak laki-laki itu adalah Dim. Matanya sembab sudah lima belas menit menangis di tanah lapang sendirian. Rapor yang diterimanya tadi pagi sudah dirobek. Neneknya akan marah lagi seperti tahun lalu jika mengetahui tentang hal ini.
"Tidak lulus lagi? Bagaimana bisa sampai sebodoh ini. Apa tidak malu dua tahun masih duduk di bangku kelas 6," ucapan neneknya pedas sekali saat mengetahui Dim tidak lulus. Seharusnya neneknya bukan hanya tahu marah-marah tapi membantu Dim belajar. Bukankah seperti itu.
Dim juga ikut marah waktu itu, ikut meninggikan suara.
"Tidak, aku tidak malu, kenapa harus malu. Aku yang tidak lulus, kenapa nenek yang marah-marah."
Pertengkaran waktu itu hebat sekali, sampai urusan orang tua Dim pun ikut diungkit oleh neneknya.
"Pantas saja ibumu tidak pulang, tidak peduli dengan anaknya. Anaknya sangat memalukan. Bodoh sekali."
Dim memilih pergi waktu itu, menginap di rumah Yan. Keluarga Yan masih ada. Mereka baru pindah tahun depannya lagi. Karena bapak Yan mendapat pekerjaan di sana. Kakaknya Yan siap menampung mereka di kota, tinggal di rumahnya. Rumah Yan akhirnya sepi. Mungkin mereka hanya pulang saat lebaran tiba.
Siang itu saat Dim duduk di tanah lapang sendirian, dia akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah saja. Toh neneknya apalagi ibunya tidak akan peduli. Jangan tanyakan ayah Dim, laki-laki itu sempurna menghilang semenjak bercerai dengan ibunya Dim. Entah sudah mati atau tidak. Bahkan Dim tidak dinafkahi olehnya.
Dim pergi merantau setelah berhenti sekolah. Ikut Farhan tetangganya.
"Kau ikut aku saja bekerja di kota. Tapi aku tidak bisa menjamin kau diterima di kantor tempatku bekerja, karena kau masih kecil dan ijazah SD pun tidak ada," kata Farhan. Usia Farhan memang lebih tua dari Dim, lima belas tahun lebih tua. Farhan bekerja di kantor imigrasi. Dim sepakat, nanti di kota dia akan mencari pekerjaan sendiri, apapun itu sepenjang dia bisa pergi dari rumah neneknya.
Awal mula dia bekerja serabutan, asal bekerja saja. Mulai dari menjadi pegawai di toko baju, menjadi karyawan di cafe, menjadi karyawan toko bahan-bahan kue. Hingga akhirnya menjadi karyawan di pabrik rokok dengan bermodal identitas palsu. Ya, Dim tidak mempunyai ijazah SMA, bahkan ijazah SD nya pun tidak ada. Dia dibantu Farhan membuat ijazah SMA untuk masuk melamar kerja di pabrik rokok itu.
Dim pergi ke kota tidak pulang sampai bertahun-tahun. Begitu juga dengan Yan. Keduanya tidak pernah bertemu lagi. Tapi gelang itu tetap di pakai oleh keduanya di tangan masing-masing. Gelang berwarna merah muda. Hingga ternyata garis kehidupan membuat Yan dan Dim bertemu di bus pagi ini namun tidak saling mengenal.
***
Teringat gelang perempuan tadi. Gelangnya sama persis. Dim jadi teringat Yan. Apa kabar Yan. Banyak hal yang ingin dim ceritakan pada Yan. Salah satunya, ada kemajuan dalam diri Dim. Dia bisa berbicara dengan sempurna sekarang, merespon perkataan orang dengan sempurna, meski keterbatasan menulis dan membaca itu tetap ada. Dim tetap kesusahan menulis dan membaca. Tapi tidak masalah, sepanjang Dim masih bisa menulis nama lengkap Yan. Yanti Andriyani.
Ditempat Lain Yan berkutat dengan buku-buku yang ada di hadapannya. Dosennya pagi ini tidak ada, jadilah Dia bersama Far temannya pergi ke perpustakaan kampus. Melihat-lihat buku lalu mengambilnya untuk dibaca.
Yan seketika terdiam. Teringat dulu pernah menyelundupkan buku atas saran dari Dim. Kemudian membacakan buku itu untuk Dim. Apa kabar Dim sekarang. Dia sudah lama tidak pulang ke desanya. Orang tuanya juga sudah pindah ke kota. Apa kabar Dim, apa dia sudah lulus sekolah dan menjadi laki-laki yang hebat sekarang. Yan melirik gelang merah muda yang ada di pergelangan tangannya. Teringat saat memberikan gelang yang sama pada Dim. Apa Dim masih menyimpan gelang ini? Apa dim merindukannya? Buru-buru pikiran itu dialihkan oleh Yan. Dia tidak ingin menangis di perpustakaan. Tapi tidak bisa dipungkiri, dia rindu ingin bertemu Dim.
"Sepertinya buku-buku di perpustakaan ini tidak lengkap. Seperti tidak berguna perputaran sebesar ini dan mendapat gelar perpustakaan terbesar provinsi tapi isinya tidak lengkap." Far mengomel, buku yang dia cari tidak ada. Padahal sudah dicari di setiap rak, tapi tidak ketemu.
"Bahkan komputer pencarian bukunya saja tidak valid datanya. Perpustakaan apaan ini." Yan hanya duduk memperhatikan Far yang terus mengomel.
"Sudah, Far. Nanti kita cari di perpustakaan umum yang ada di pusat kota." Yan menenangkan. Telinga sudah cukup muak mendengar Far mengomel.
Di tempat lain ada Dim yang sedang sibuk bekerja di pabrik rokok. Membungkus rokok ke dalam plastik. Tangannya cekatan, sudah tiga bulan dia berkerja di sini. Jadi sudah tidak pusing lagi memasukkan batang-batang rokok ke dalam bungkus plastik. Dim baru pulang setelah jam menunjukkan pukul lima. Saat jam pulang tiba, segera dia mengganti seragamnya dengan baju yang lebih santai.
Di parkiran ada Ilham teman kerjanya yang bersiap akan pulang sedang menyalakan motornya.
"Dim, ikut aku saja pulangnya. Tidak perlu menunggu bus. Sekalian kita cari makanan, aku lapar." Ilham menawarkan tumpangan. Dim langsung mengiyakan, dari pada dia harus menunggu bus di pinggir jalan raya.
Nasib sial. Selang lima menit saat motor itu melaju di jalanan sore yang sedang padat-padatnya dengan orang-orang yang baru pulang bekerja. Motornya Ilham mogok. Entah apa masalahnya, motor itu tiba-tiba mati, tidak mau hidup meksipun sudah distarter beberapa kali.
"Kalau tahu gini, tadi aku naik bus saja dari pada mendorong motor tuamu ini." Dim mengomel sambil mendorong motor Ilham.
"Ya dari pada harus bayar naik bus mending mendorong motorku. Sekalian bantu teman lah." Ilham hanya nyengir.
Mereka berhenti di dekat swalayan. Ilham bilang dia haus ingin membeli minum. Setelah mendorong motor dan ternyata tidak ketemu-ketemu juga dengan bengkel, mereka melipir ke swalayan. Terdengar bunyi adzan Maghrib di kejauhan. Apa selama itu mereka mendorong motor sampai adzan Maghrib.
"Berapa semuanya, Bu." Ilham berdiri di kasir ingin membayar. Kasirnya seorang Ibu-ibu berusia sekitar lima puluhan. Tak lama Dim datang dengan membawa beberapa bungkus Snack meletakkannya di atas meja kasir. Mendongakkan muka.
"Bibi. Bibi Hanum? Ibunya Yan kan?" Dim tidak menyangka kasir swalayan ini ternyata Ibunya Yan.
Ibu itu masih terdiam beberapa detik, mencerna perkataan pemuda di depannya.
"Astaghfirullah. Apa kamu, Dim?" Bi Hanum langsung berhamburan memeluk Dim setelah dapat mengenal wajah pemuda di depannya.
"Apa kabar, Dim? Kamu juga ada di sini, Nak? Bibi tidak menyangka bisa bertemu kamu." Bi Hanum terus memeluk Dim sesekali mengelus wajah Dim, lalu memeluk lagi. Dim juga balas memeluk. Dan Ilham hanya melongo menyaksikan adegan pelukan mereka berdua. Seperti ibu dan anak yang sudah lama tidak bertemu.
Dim merindukan Bibinya, yang selama ini selalu menampungnya saat kabur dari rumah jika bertengkar dengan neneknya, yang memberinya makan, yang menyayanginya seperti anak sendiri. Dim sangat merindukan Bi Hanum.
"Bibi bekerja di sini?" Dim bertanya. Bi Hanum menjelaskan jika itu tokonya. Alhamdulillah keluarga mereka baik-baik saja setelah pindah ke kota, rezeki lancar hingga bisa mempunyai toko swalayan sendiri.
Sore itu Dim dan Ilham di ajak pulang ke rumah Bi Hanum. Ilham ikut-ikut aja meksipun tidak mengerti dan beberapa kali menyikut lengan Dim meminta penjelasan.
"Nanti-nanti aku jelaskan. Kau tidak lihat aku sedang senang berteman bibiku." Demikian bisik Dim.
Toko Bi Hanum ditinggalkan pada karyawannya. Bukan main besarnya toko swalayan itu, sampai ada enam orang karyawan yang membantu Bi Hanum. Motor Ilham ditinggal di toko swalayan itu, mereka pulang dengan mobil toko. Sampai di rumah Bi Hanum, Dim peluk erat-erat oleh Bapaknya Yan, Paman Jumadi, setelah dijelaskan oleh Bi Hanum kalau pemuda yang bersamanya adalah Dim.
"Kau di kota juga ternyata Dim. Paman tidak menyangka bisa bertemu kamu kembali." Dim lagi-lagi dipeluk. Dan Dim balas memeluk Paman Jumadi dengan tulus. Dim merindukan mereka berdua yang sudah Dim anggap seperti orang tua sendiri.
Dim dan Ilham diajak makan bersama setelah selesai shalat Maghrib. Menu makan malam ini dimasak sendiri oleh Bi Hanum.
"Enak juga aku ikut kau, Dim. Bisa makan gratis sampai kenyang. Sepuasnya lagi." Ilham lagi-lagi menyikut lengan Dim.
Dim celingak-celinguk. Dimana Yan. Kenapa tidak muncul, kenapa tidak ikut makan bersama. Dim penasaran sekali seperti apa Yan sekarang. Apa Yan masih mengingatnya setelah memiliki teman-teman baru yang lebih hebat dan lebih nyambung saat diajak bicara.
"Yan belum pulang. Dia kuliah. Tadi sore menelfon katanya pulang agak telat. Tugasnya menumpuk. Anak itu sibuk sekali dengan tugas-tugas kuliahnya." Bi Hanum tanpa diminta seperti paham isi pikiran Dim malah dengan santai menjelaskan. Dim sekarang jadi tahu kalau Yan sedang tidak ada di rumah.
Setelah selesai makan mereka mereka pindah ke ruang tamu mengobrol santai. Dim di minta berdiam diri dulu sejenak, jangan langsung pulang. Bi Hanum malah berbaik hati menyuguhkan mereka hidangan yang enak-enak. Ilham lagi-lagi menyikut lengan Dim,
"Sungguh aku tidak menyesal motor Vega biru tuaku itu mogok." Ilham nyengir sambil mencomot onde-onde yang dibuat Bi Hanum.
Mereka bercakap-cakap santai, di situ Dim tahu mereka selama ini tidak pulang ke desa. Rumah mereka di desa dititipkan pada Bi Rum saudaranya Bi Hanum untuk dirawat. Dan sawah mereka juga dipekerjakan pada orang. Dan di situ mereka juga tahu, kalau Dim sekarang bekerja di pabrik rokok, pergi merantau ke kota. Tapi yang mereka tidak tahu kalau Dim berhenti sekolah. Dim tidak memberitahu.
"Assalamualaikum." Terdengar suara panggilan salam. Pintu rumah perlahan dibuka dari luar. Seorang perempuan dengan tas tersampir di punggung dan di tangannya memegang beberapa buku, terlihat memasuki rumah. Dim terdiam. Apa itu Yan?
"Loh, bukannya mas ini yang di bus tadi pagi kan?" Perempuan itu diam mematung sambil menunjuk Dim yang duduk di sofa ruang tamu rumahnya.
Itu Yan, teman kecil Dim itu sudah besar. Wajahnya cantik, kulitnya putih bersih, pipinya tembem, matanya molek merekah, senyumnya manis. Yan terlihat anggun dengan baju gamis berwarna Salem yang dia pakai, dipadu kerudung hitam dengan sedikit motif bunga.
"Kok bisa ada di sini?" Yan lanjut bertanya. Ternyata Yan mengingat wajah laki-laki yang duduk di kursi sebelahnya saat di bus tadi pagi.
"Ini Dim, Yan. Temanmu waktu kecil." Bi Hanum langsung mejelaskan.
"Dim?" Yan masih diam beberapa detik, masih mencerna perkataan ibunya.
"Astaga!" Yan langsung melongo tidak percaya.
***
Semenjak malam itu, Yan dan Dim kembali bertemu. Pertemuan yang tidak sengaja. Keduanya telah tumbuh dewasa sekarang. Pertemuan seminggu yang lalu di rumah Yan membuat mereka akrab kembali.
Hari ini mereka berencana keluar bersama melepas rindu. Dua anak kecil yang dulu menjaga padi yang dijemur itu kali ini berencana melihat sunset yang indah sore ini.
"Kita akan kemana?" Dim menyaringkan suaranya.
"Hah?" Yan berteriak dari arah belakang.
"Kamu bicara apa?" tanya Yan.
"Kamu menyebalkan sekali. Budek."
"Heh." Reflek ucapan Dim dibalas pukulan oleh Yan.
Mereka saat ini sedang berada di atas motor. Dim meminjam motornya Ilham untuk dibawa keluar bersama Yan.
"Kemarin ngejek motorku tua, hari ini malah mau meminjam buat pelesiran bersama kekasih hati." Dim hanya nyengir menimpali ucapan Ilham.
"Aku pinjam dulu ya, nanti aku ganti bensinnya." Dim melambaikan tangan, tancap gas, pergi.
"Iyelah iyelah, jaga baik-baik Vega biru tuaku itu ya." Ilham berteriak dari teras kontrakan mereka. Dim dan Ilham satu kontrakan sudah semenjak Dim bekerja di pabrik rokok itu. Ilham yang mengajaknya satu kontrakan. Katanya biar menghemat biaya sewa rumah, jadi bisa bagi dua. Ilham nyengir saat menyampaikan ide itu. Langsung disepakati oleh Dim.
Hari ini hari Minggu sore. Yan libur kuliah, begitu juga Dim yang libur kerja. Jadilah mereka sepakat untuk keluar sore ini.
"Kenapa kita ke tempat ini?" Yan bertanya.
Sekarang mereka berada di sebuah tanah lapang yang cukup luas, dengan rumput yang hijau segar saat dipandang mata. Terdapat pohon-pohon tinggi di sana, berbaris rapi, entah apa nama pohonnya yang jelas semakin mempercantik tempat itu. Membuat sejuk dan rindang.
"Banyak yang sudah ke sini, Yan. Di sini pemandangannya bagus. Cuma minusnya, berak sapi ada di mana." Dim hanya nyengir. Sedangkan Yan heboh mencari tempat duduk yang nyaman sambil mengomel. Masalahnya di setiap sudut rumput-rumput di tempat ini ada berak sapinya.
"Padahal tempatnya bagus, indah, rumputnya hijau, tapi malah dibuat tempat sapi-sapi makan rumput dan beraknya berserakan di mana-mana." Yan menyayangkan sekali tempat itu. Dim hanya mengangkat bahu tidak tahu.
Akhirnya mereka duduk juga setelah Dim menentukan tempat. Di bawah pohon-pohon yang berbaris melintang dari arah barat ke libur. Tempat yang teduh untuk duduk-duduk santai.
"Aku senang kita bisa bertemu lagi, Dim. Jujur, teman-teman di pesantrenku tidak ada yang seperti kamu. Kamu tetep yang paling spesial." Yan mengacungkan dua jempolnya.
Dim samar-samar tersipu malu. Tapi buru-buru ditepisnya takut ketahuan Yan.
"Eh, ini gelang dariku kan? Aku kira kamu sudah membuangnya karena warnanya merah muda." Yan memegang tangan Dim.
Tentu saja tidak, Dim tidak akan membuang gelang pemberian dari Yan. Gelang ini berarti sekali bagi Dim tanpa Yan ketahui, terlepas dari warnanya merah muda yang tidak Dim sukai.
Mereka terus berbincang santai sore itu. Dua insan yang tengah melepas rindu. Kawan lama yang bertemu kembali.
"Kamu setelah lulus SD melanjutkan kemana Dim?" Sambil menyeruput kopi dingin yang mereka beli di minimarket tadi sebelum ketemu itu.
Dim tersentak kaget atas pertanyaan Yan. Kenapa tiba-tiba sekali bertanya soal itu. Dim diam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Kenapa?" Yan bertanya lagi, melihat gelagat aneh pada Dim setelah Yan bertanya soal Dim melanjutkan sekolah kemana.
"Aku berhenti sekolah." Dim akhirnya bicara jujur. Dia dari dulu memang tidak bisa berbohong pada Yan. Yan pasti akan tahu jika dia berbohong, jadi pilihan terakhir adalah jujur meski sepahit apapun kejujuran itu.
Yan tersedak mendengar perkataan Dim.
"Aku berhenti sekolah. Setelah kepergianmu waktu itu, aku bertekad untuk lulus tahun depannya. Pergi sekolah setiap hari meski sendiri. Aku ingin segera lulus, Yan. Aku ingin menyusulmu untuk sekolah di pesantren itu juga. Tapi pada akhirnya aku tidak lulus ujian di tahun depan itu. Aku bersedih saat melihat hasil kelulusan. Tapi aku tidak patah semangat. Aku ikut ujian lagi tahun depannya. Tapi mungkin Tuhan tidak suka aku lulus SD. Aku lagi-lagi tidak lulus."
"Aku mencoba lagi tahun depannya meskipun sudah dimarahi berkali-kali oleh nenek. Tapi ternyata benar apa kata nenek, aku memang bodoh, aku cacat otak. Aku tidak lulus lagi, Yan."
"Aku menyerah di tahun ketiga. Aku berhenti sekolah. Aku malu tiga tahun tidak lulus dan tetep di kelas 6. Aku memutuskan berhenti saja. Lalu pergi merantau ke kota. Aku bekerja, hingga akhirnya aku mendapatkan pekerjaan yang sekarang aku kerjakan. Jadi karyawan pabrik rokok." Dim terdiam. Ceritanya selesai. Mata Dim fokus menatap ke depan.
Tiba-tiba Yan menangis di samping Dim.
"Seharusnya waktu itu aku menunggumu lulus, membantumu belajar. Seharusnya aku tidak pergi meninggalkanmu ke pesantren." Yan menangis sejadi-jadinya. Dim berpindah posisi menghadap Yan.
"Tidak, ini bukan salahmu. Aku yang bodoh. Jangan menyalahkan dirimu, Yan." Dim berusaha menenangkan Yan. Mendekapnya. Yan menangis di pundak Dim. Yan merasa dirinya lah penyebab Dim berhenti sekolah. Dia yang tidak menemani Dim, malah pergi ke pesantren. Namun Dim menyanggahnya berkali-kali kalau itu bukan salah Yan.
Sore ini seharusnya mereka tertawa, malah bersedih. Mereka terdiam beberapa menit. Dengan pikiran masing-masing yang saling berkecamuk.
"Lihat senjanya, Yan." Dim buru-buru menunjuk arah barat.
Yan pelan mengangkat kepalanya dari pundak Dim. Ikut menatap arah barat. Senja yang indah. Yan tersenyum. Kesedihannya mulai terlupakan, dan Dim suka melihat Yan tersenyum.
"Indah sekali." Yan berdiri dan berjalan semakin mendekat ke arah barat.
"Lihat itu, Dim. Bulat sempurna mataharinya." Mulut Yan menganga. Matahari di depannya memang bulat sempurna. Ini pertama kalinya bagi Yan melihat senja dengan matahari yang bulat total, begitu jelas dan bersama orang yang dia anggap spesial. Temanya yang begitu berarti bagi Yan.
Dim ikut menatap arah barat. Ikut menyepakati perkataan Yan soal matahari sore ini di hadapannya,
"Rasa-rasanya baru pertama kali aku melihat matahari yang bulat total seperti itu dan akan tenggelam."
"Cepat foto, Dim. Itu indah sekali," seru Yan. Dim segera mengeluarkan hp-nya memotret matahari itu dan diam-diam juga memotret Yan yang sedang fokus memotret matahari juga. Dim tersenyum samar.
Mereka diam sejenak menikmati matahari yang sebentar lagi akan tenggelam. Yan melihat arah barat, tersenyum menikmati salah satu keindahan dari polesan tangan Tuhan. Meski sebenarnya matahari di depannya bukan tenggelam tepat di garis bumi, tapi tenggelam di kikis awan. Tapi tetep saja, keindahannya tidak berkurang sedikitpun.
Dim ikut terdiam, ikut menikmati matahari di depannya dan senyuman Yan di sampingnya.
***
Setelah matahari tenggelam sempurna di arah barat, Yan buru-buru mengajak Dim pulang. Hari sudah gelap, sayup-sayup terdengar suara adzan Maghrib.
Rumah Yan dengan tempat itu terlalu jauh, tidak mencukupi jika harus shalat Maghrib di rumah. Jadi Yan meminta Dim untuk berhenti di masjid saja. Dia akan shalat di sana.
"Kita berhenti di masjid, Dim. Kita shalat Maghrib di sana saja. Kalau harus shalat di rumah nanti malah kehabisan waktu Maghrib." Yan berteriak dari belakang berusaha mengalahkan suara kendaraan lain. Dim hanya mengangguk mengiyakan.
Motor yang mereka kendarai berhenti di pelataran sebuah masjid. Dim memarkir motornya.
"Ayo, Dim." Yan terburu-buru menuju Masjid hendak mengambil wudhu. Tapi Dim yang diajak hanya diam saja.
"Kenapa?" Yan bertanya, menghentikan langkahnya karena Dim hanya diam saja.
"Aku tidak shalat. Kamu saja." Wajah Dim datar. Dim menyuruh Yan untuk cepat shalat, nanti keburu isya'. Yan masih kebingungan, memilih diam saja dan melanjutkan langkahnya. Kenapa? Ada apa dengan Dim? Kenapa dia tidak mau diajak shalat.
"Sudah?" tanya Dim saat melihat Yan sudah keluar dari masjid lima belas menit kemudian.
Dim menyerahkan helm pada Yan. Segera menyalakan motor. Mereka akhirnya pergi dari pelataran masjid.
"Kenapa kamu tidak mau shalat tadi?" Yan bertanya menyaringkan suara berusaha mengalahkan bising kendaraan di kanan kiri.
"Apa?" Dim yang fokus menyetir tidak mendengar.
"Kenapa kamu tidak shalat?" Yan mengulang pertanyannya dengan suara yang lebih keras.
"Buat apa, Yan. Apa Tuhan mengasihaniku saat aku tidak lulus sekolah dulu. Padahal aku sudah berusaha dan berdoa kepada-Nya. Apa Dia mendengar doaku. Nyatanya tidak. Padahal niatku baik ingin segera ke pesantren menimba ilmu agama. Dan lagi pula Dia membuat hidupku berantakan, orang tuaku bahkan entah kemana sekarang apakah mereka masih ingat kalau mereka punya anak." Dim masih tetap fokus menyetir.
"Tapi Dim, tidak seperti itu. Jangan pernah berburuk sangka pada-Nya. Tuhan lebih tahu apa yang baik dan tidak untukmu. Kamu diuji sampai babak belur pun, karena kamu mampu diberi ujian itu." Yan menyangkal perkataan Dim. Motor mereka saat ini masih berhenti di lampu merah.
"Halah, sudahlah, Yan. Semua hanya omong kosong."
Yan memilih menyudahi percakapan itu. Tidak akan ada habisnya jika terus menjawab perkataan Dim. Dim akan terus menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi padanya. Yan tahu Dim keras kepala, akan susah menasehatinya.
Mereka pulang dengan menggunakan motor. Melewati taman kota dengan kerlap-kerlip lampu di kanan kiri. Anak-anak remaja yang sedang menikmati malam terlihat berkeliaran di sekitar taman.
"Terima kasih untuk hari ini, Dim." Mereka sudah sampai di rumah Yan. Dim mengantarkan Yan.
"Tidak ingin mampir?" Yan menawarkan. Ibu dan bapaknya akan senang sekali jika Dim mampir.
"Tidak lain kali saja, aku harus pulang. Nanti Ilham mencari-cari motornya." Dim berpamitan. Tidak bisa mampir malam ini.
Sepulang dari melepas rindu mereka. Minggu berikutnya mereka bertemu lagi dan itu menjadi rutinitas setiap minggu sore mereka meluangkan waktu untuk keluar bersama. Berbagi cerita selama seminggu, cerita di kampus Yan dan cerita di pabrik rokok tempat Dim bekerja. Mereka juga menjalin komunikasi lewat handphone. Bertukar pesan setiap harinya, saling berkabar, bercerita apa saja yang terlintas di kepala bahkan sampai larut malam.
Entah di sadari atau tidak, ada sesuatu yang mulai menyemai di antara mereka. Sesuatu yang menjadi cikal bakal suatu keindahan datang. Bisa disebut manis, tapi bisa juga disebut pahit pada akhirnya. Hanya mereka yang tahu seberapa besar sesuatu itu telah ada dan telah mereka rawat tanpa sengaja. Hingga tibalah di pertemuan mereka selanjutnya.
"Aku sudah bilang, menyapa anak kecil yang tidak dikenal di pinggir jalan itu seru," ucap Dim sambil berteriak. Mereka sedang berada di atas motor, berkeliling.
Hari ini hari Minggu sore, rutinitas mereka untuk jalan-jalan sore. Pergi dari hiruk-pikuk perkotaan yang padat dengan kendaraan dan gedung-gedung pencakar langit. Mereka lebih memilih menyusuri jalan-jalan pedesaan dengan kanan kiri berupa hamparan persawahan dan padi yang sudah menguning.
"Iya, memang seru itu," pekik Yan dari belakang.
Mereka tertawa sore itu. Sore yang indah. Sesekali Dim mencuri-curi pandang lewat kaca spion. Yan tertawa lepas jika bersama Dim.
"Aku tidak perlu menjadi orang lain saat bersamamu, Dim. Aku bebas menjadi diriku sendiri. Toh kamu sudah tahu semuanya tentangku." Itu kata Yan minggu yang lalu saat mereka lagi-lagi menikmati keindahan sore hari. Mencari pemandangan indah, tempat yang eksotis untuk melihat senja yang tersembunyi di pedesaan. Yan hanya ikut Dim ketempat itu. Dim yang banyak tahu mengenai tempat-tempat yang indah.
Dim menyepakati perkataan Yan waktu itu. Dim juga menjadi diri sendiri saat bersama Yan. Tidak perlu menjadi orang lain. Tidak perlu berpura-pura. Dim suka setiap kali bersama Yan dan senang jika bersama Yan. Dan Dim semakin paham apa yang sedang dia rasakan. Dim hanya tidak tahu apa yang Yan rasakan. Apakah sama dengan yang Dim rasakan. Dim memilih menyimpannya dulu, merawatnya dengan hati-hati sampai besar dan merambat kemana-mana. Yang jelas Dim suka senyum Yan saat menatap senja. Suka wajah Yan saat di terpa matahari sore yang menjingga di arah barat.
Hubungan mereka semakin dekat setiap harinya. Dim dan Yan menyadari hal itu.
***
Hari ini Yan masuk kuliah terlihat sibuk menunggu tukang print mengeprint tugasnya.
"Berapa, Mas?" Yan bertanya. Tukang print meyebutkan nominal, Yan mengeluarkan uang dari dalam dompet lalu menyerahkannya.
Di gerbang kampus, Yan bertanya dengan Far.
"Cepat, Yan. Sudah jam tujuh. Dosennya sudah datang," seru Far. Mereka berjalan terburu-buru. Hari ini Yan presentasi tugas makalah. Mereka Terlambat karena Yan masih mengantri di tukang print. Dan Far tak henti-hentinya mengirim pesan untuk segera berangkat.
Siangnya setelah selesai kuliah. Yan pulang bersama Far tapi masih mampir ke apotik. Far hendak membeli obat titipan mamanya.
"Eh, kamu Ilham kan temannya, Dim?" Yan bertanya, saat tak sengaja laki-laki yang berdiri di sampingnya menoleh padanya. Sepertinya Yan kenal.
"Eh. Iya." Ilham terkaget-kaget karena disapa orang di apotik.
"Sedang membeli apa? tanya Yan.
"Beli obat untuk, Dim."
"Untuk, Dim?" Yan bertanya lagi memastikan.
"Iya untuk, Dim. Dim sakit demam tinggi memangnya kamu tidak tahu."
Yan sama sekali tidak tahu kalau Dim sedang sakit. Jika bukan karena bertemu Ilham di apotik, Yan tidak akan tahu. Karena tadi pada saat Yan mengirim pesan pada Dim, Dim tidak bilang jika sedang sakit.
Jadi siang itu Yan berpisah dengan Far di apotik. Yan ikut Ilham ke kontrakan Dim. Ilham hanya mengantarkan Yan sampai luar kontrakan saja. Menitipkan obat pada Yan. Dia harus kembali ke pabrik. Tadi dia keluar karena di telfon Dim yang meminta tolong untuk membelikannya obat sebentar.
Saat sampai di kontrakan Dim. Dim sedang memejamkan mata terbaring lemas di tempat tidur. Tubuhnya tertutup selimut. Yan pelan menyentuh dahinya. Panas. Dim demam, tubuhnya dingin.
Dim membuka mata karena ada yang menyentuh dahinya. Dia kira itu Ilham tapi setelah membuka mata ternyata itu Yan.
"Kenapa kamu tidak bilang, Dim. Kenapa tidak bilang kalau sedang sakit." Yan ingin menangis mengatakan itu. Yan tidak bisa melihat Dim sakit seperti ini. Yan tidak ingin meninggalkan Dim lagi dalam keadaan sakit. Yan tidak ingin menyesal dua kali.
"Aku tidak apa-apa. Dari mana kamu tahu?"
"Dari Ilham. Aku bertemu dengannya di apotik. Apa sudahnya memberitahuku jika kamu sedang sakit. Kamu bisa mengirim pesan. Aku akan datang ke sini merawatmu." Yan mengusap air matanya.
"Jangan menangis." Tangan Dim bergerak pelan mengusap pipi Yan yang basah.
"Aku ambilkan kompres dulu." Yan berdiri menuju dapur kontrakan Dim.
Yan mengabari orang tuanya jika dia berada di kontrakan Dim. Yan bilang Dim sedang sakit. Siang itu Yan merawat Dim dengan telaten. Mengompresnya. Menyuapinya makan.
"Ayo satu kali lagi, Dim. Satu suapan saja." Yan membujuk Dim untuk menghabiskan bubur ayam yang dia beli sebelum pergi ke kontrakan Dim.
"Tidak mau. Sudah cukup, Yan." Dim menggeleng tegas sambil menutup mulutnya rapat-rapat.
"Ya sudahlah, cepat minum obatnya setelah itu istirahatlah." Yan memberikan obat dan air mineral pada Dim.
"Terima kasih, Yan," ucap Dim pelan.
"Dari dulu saat aku sakit memang cuma kamu yang peduli." Mata Dim berair. Ini mengharukan bagi Dim.
Yan tersenyum simpul. Segera menyuruh Dim istirahat dan akan menemani Dim sampai Dim tertidur. Menyelimuti Dim.
Yan menemani Dim sampai benar-benar tertidur pulas. Memandangi wajahnya. Yan tersenyum. Teringat saat pertama kali mereka bertemu di dalam bus sebagai dua orang yang tidak saling kenal. Jujur Yan risih sekali duduk dengan Dim saat di bus waktu itu. Yan mempersilahkan Dim duduk karena memang di kursi yang lain sudah penuh.
Yan pelan menyentuh dahi Dim. Masih panas, tapi sudah tidak sepanas yang tadi. Sepertinya obat demam yang dibeli Ilham di apotik tadi mulai bekerja. Yan mengganti kain kompresan dengan yang baru. Telaten mengompres Dim.
Yan baru pamit pulang saat Ilham sudah pulang kerja. Dan Dim Masih tertidur pulas.
Keesokannya hari minggu, Yan libur. Pagi-pagi sekali dia sudah bersiap. Dia akan pergi ke kontrakan Dim.
"Bawa rantang ini, Yan." Ibunya Yan menunjuk rantang di atas meja yang sudah dia siapkan sejak tadi. Ibunya Yan menyiapkan makanan untuk Yan bawa ke kontrakan Dim.
"Titip salam buat, Dim. Semoga cepat sembuh."
Yan mengangguk. Setelahnya mengucap salam pamit pergi.
Sesampainya di kontrakan Dim, Yan buru-buru membuka rantang yang dia bawa, wanginya tercium enak. Membuat perut lapar. Perut Dim berbunyi. Mereka tertawa.
"Ibuku yang memasaknya khusus untukmu, Dim. Dia titip salam semoga kamu cepat sembuh." Yan memberikan Dim piring, menuangkan Nasi. Menu masakan hari ini sebenarnya sederhana, ada tumis kangkung, ayam kecap, ayam krispi, kentang dan telur balado, tahu dan tempe goreng. Tapi Dim senang melihat makan-makan itu. Dim rindu masakan Bi Hanum.
"Sampaikan salam terima kasihku pada bibi ya." Dim menyendok makanannya. Enak. Mengacungkan jempol.
"Ilham tidak mau ikut makan?" Yan bertanya saat melihat Ilham yang sudah rapi.
"Aku akan keluar. Pelesiran bersama kekasih hati. Berhubung Dim sudah ditemani kamu di sini. Aku izin keluar ya." Ilham nyengir sambil meminta izin pada Yan.
Dim dan Yan mengizinkan. Kasian juga jika harus melihat Ilham duduk bengong melihat Dim dan Yan yang bermesraan. Eh, tidak bermesraan juga sih. Tapi tentunya Ilham akan merasakan bosan jika harus menyimak Dim dan Yan. Jadilah Ilham diizinkan pergi bersama kekasihnya mumpung hari minggu.
"Kamu sudah mendingan kan? Demammu bagaimana?" Yan menyentuh dahi Dim. Mengecek suhu badan. Sudah tidak panas lagi.
"Aku sudah baikan, Yan. Terima kasih sudah merawatku kemarin. Dan terimakasih sudah menyucikan baju kotorku." Dim nyengir.
Iya, Yan kemarin memang mencucikan baju kotor Dim yang menumpuk di bak cucian. Yan paling tidak suka kotor. Yan tipe orang yang suka bersih. Yan tidak bisa istirahat jika di kamarnya masih kotor. Dan kamar Yan selalu bersih dan rapi.
Sepuluh menit kemudian Dim selesai makan. Yan membereskan rantang yang dia bawa dan piring-piring kotor bekas makan tadi. Memberikan Dim obat untuk minum obat. Lalu menyuruhnya istirahat.
"Aku bosan Yan jika harus tidur-tiduran terus." Dim mengeluh.
"Ya sudah duduk saja."
Siang itu dihabiskan mereka untuk bercengkrama santai, sambil berbagi cerita tentang apa saja. Sambil sesekali menonton film horor. Entah kenapa film horor menjadi film komedi saat di tonton berdua atau ramai-ramai. Bukankah benar.
Sedangkan matahari di luar semakin meninggi. Menunjukkan bahwa sebentar lagi waktu dhuhur akan segera tiba.
Setelah matahari tenggelam sempurna di arah barat, Yan buru-buru mengajak Dim pulang. Hari sudah gelap, sayup-sayup terdengar suara adzan Maghrib.
Rumah Yan dengan tempat itu terlalu jauh, tidak mencukupi jika harus shalat Maghrib di rumah. Jadi Yan meminta Dim untuk berhenti di masjid saja. Dia akan shalat di sana.
"Kita berhenti di masjid, Dim. Kita shalat Maghrib di sana saja. Kalau harus shalat di rumah nanti malah kehabisan waktu Maghrib." Yan berteriak dari belakang berusaha mengalahkan suara kendaraan lain. Dim hanya mengangguk mengiyakan.
Motor yang mereka kendarai berhenti di pelataran sebuah masjid. Dim memarkir motornya.
"Ayo, Dim." Yan terburu-buru menuju Masjid hendak mengambil wudhu. Tapi Dim yang diajak hanya diam saja.
"Kenapa?" Yan bertanya, menghentikan langkahnya karena Dim hanya diam saja.
"Aku tidak shalat. Kamu saja." Wajah Dim datar. Dim menyuruh Yan untuk cepat shalat, nanti keburu isya'. Yan masih kebingungan, memilih diam saja dan melanjutkan langkahnya. Kenapa? Ada apa dengan Dim? Kenapa dia tidak mau diajak shalat.
"Sudah?" tanya Dim saat melihat Yan sudah keluar dari masjid lima belas menit kemudian.
Dim menyerahkan helm pada Yan. Segera menyalakan motor. Mereka akhirnya pergi dari pelataran masjid.
"Kenapa kamu tidak mau shalat tadi?" Yan bertanya menyaringkan suara berusaha mengalahkan bising kendaraan di kanan kiri.
"Apa?" Dim yang fokus menyetir tidak mendengar.
"Kenapa kamu tidak shalat?" Yan mengulang pertanyannya dengan suara yang lebih keras.
"Buat apa, Yan. Apa Tuhan mengasihaniku saat aku tidak lulus sekolah dulu. Padahal aku sudah berusaha dan berdoa kepada-Nya. Apa Dia mendengar doaku. Nyatanya tidak. Padahal niatku baik ingin segera ke pesantren menimba ilmu agama. Dan lagi pula Dia membuat hidupku berantakan, orang tuaku bahkan entah kemana sekarang apakah mereka masih ingat kalau mereka punya anak." Dim masih tetap fokus menyetir.
"Tapi Dim, tidak seperti itu. Jangan pernah berburuk sangka pada-Nya. Tuhan lebih tahu apa yang baik dan tidak untukmu. Kamu diuji sampai babak belur pun, karena kamu mampu diberi ujian itu." Yan menyangkal perkataan Dim. Motor mereka saat ini masih berhenti di lampu merah.
"Halah, sudahlah, Yan. Semua hanya omong kosong."
Yan memilih menyudahi percakapan itu. Tidak akan ada habisnya jika terus menjawab perkataan Dim. Dim akan terus menyalahkan Tuhan atas apa yang terjadi padanya. Yan tahu Dim keras kepala, akan susah menasehatinya.
Mereka pulang dengan menggunakan motor. Melewati taman kota dengan kerlap-kerlip lampu di kanan kiri. Anak-anak remaja yang sedang menikmati malam terlihat berkeliaran di sekitar taman.
"Terima kasih untuk hari ini, Dim." Mereka sudah sampai di rumah Yan. Dim mengantarkan Yan.
"Tidak ingin mampir?" Yan menawarkan. Ibu dan bapaknya akan senang sekali jika Dim mampir.
"Tidak lain kali saja. Aku harus pulang. Nanti Ilham mencari-cari motornya." Dim berpamitan. Tidak bisa mampir malam ini.
Sepulang dari melepas rindu mereka, minggu berikutnya mereka bertemu lagi dan itu menjadi rutinitas setiap minggu sore mereka meluangkan waktu untuk keluar bersama. Berbagi cerita selama seminggu, cerita di kampus Yan dan cerita di pabrik rokok tempat Dim bekerja. Mereka juga menjalin komunikasi lewat telepon. Bertukar pesan setiap harinya, saling berkabar, bercerita apa saja yang terlintas di kepala bahkan sampai larut malam.
Entah di sadari atau tidak, ada sesuatu yang mulai menyemai di antara mereka. Sesuatu yang menjadi cikal bakal suatu keindahan datang. Bisa disebut manis, tapi bisa juga disebut pahit pada akhirnya. Hanya mereka yang tahu seberapa besar sesuatu itu telah ada dan telah mereka rawat tanpa sengaja. Hingga tibalah di pertemuan mereka selanjutnya.
"Aku sudah bilang, menyapa anak kecil yang tidak dikenal di pinggir jalan itu seru," ucap Dim sambil berteriak. Mereka sedang berada di atas motor, berkeliling.
Hari ini hari minggu sore, rutinitas mereka untuk jalan-jalan sore. Pergi dari hiruk-pikuk perkotaan yang padat dengan kendaraan dan gedung-gedung pencakar langit. Mereka lebih memilih menyusuri jalan-jalan pedesaan dengan kanan kiri berupa hamparan persawahan dan padi yang sudah menguning.
"Iya, memang seseru itu," pekik Yan dari belakang.
Mereka tertawa sore itu. Sore yang indah. Sesekali Dim mencuri-curi pandang lewat kaca spion. Yan tertawa lepas jika bersama Dim.
"Aku tidak perlu menjadi orang lain saat bersamamu, Dim. Aku bebas menjadi diriku sendiri. Toh kamu sudah tahu semuanya tentangku." Itu kata Yan minggu yang lalu saat mereka lagi-lagi menikmati keindahan sore hari. Mencari pemandangan indah, tempat yang eksotis untuk melihat senja yang tersembunyi di pedesaan. Yan hanya ikut Dim ketempat itu. Dim yang banyak tahu mengenai tempat-tempat yang indah.
Dim menyepakati perkataan Yan waktu itu. Dim juga menjadi diri sendiri saat bersama Yan. Tidak perlu menjadi orang lain. Tidak perlu berpura-pura. Dim suka setiap kali bersama Yan dan senang jika bersama Yan. Dan Dim semakin paham apa yang sedang dia rasakan. Dim hanya tidak tahu apa yang Yan rasakan. Apakah sama dengan yang Dim rasakan. Dim memilih menyimpannya dulu, merawatnya dengan hati-hati sampai besar dan merambat kemana-mana. Yang jelas Dim suka senyum Yan saat menatap senja. Suka wajah Yan saat di terpa matahari sore yang menjingga di arah barat.
Hubungan mereka semakin dekat setiap harinya. Dim dan Yan menyadari hal itu.
***
Hari ini Yan masuk kuliah terlihat sibuk menunggu tukang print mengeprint tugasnya.
"Berapa, Mas?" Yan bertanya. Tukang print meyebutkan nominal, Yan mengeluarkan uang dari dalam dompet lalu menyerahkannya.
Di gerbang kampus, Yan bertanya dengan Far.
"Cepat, Yan. Sudah jam tujuh. Dosennya sudah datang," seru Far. Mereka berjalan terburu-buru. Hari ini Yan presentasi tugas makalah. Mereka Terlambat karena Yan masih mengantri di tukang print. Dan Far tak henti-hentinya mengirim pesan untuk segera berangkat.
Siangnya setelah selesai kuliah. Yan pulang bersama Far tapi masih mampir ke apotek. Far hendak membeli obat titipan mamanya.
"Eh, kamu Ilham kan temannya, Dim?" Yan bertanya, saat tak sengaja laki-laki yang berdiri di sampingnya menoleh padanya. Sepertinya Yan kenal.
"Eh. Iya." Ilham terkaget-kaget karena disapa orang di apotik.
"Sedang membeli apa? tanya Yan.
"Beli obat untuk, Dim."
"Untuk, Dim?" Yan bertanya lagi memastikan.
"Iya untuk, Dim. Dim sakit demam tinggi memangnya kamu tidak tahu."
Yan sama sekali tidak tahu kalau Dim sedang sakit. Jika bukan karena bertemu Ilham di apotek, Yan tidak akan tahu. Karena tadi pada saat Yan mengirim pesan pada Dim, Dim tidak bilang jika sedang sakit.
Jadi siang itu Yan berpisah dengan Far di apotek. Yan ikut Ilham ke kontrakan Dim. Ilham hanya mengantarkan Yan sampai luar kontrakan saja. Menitipkan obat pada Yan. Dia harus kembali ke pabrik. Tadi dia keluar karena di telfon Dim yang meminta tolong untuk membelikannya obat sebentar.
Saat sampai di kontrakan Dim. Dim sedang memejamkan mata terbaring lemas di tempat tidur. Tubuhnya tertutup selimut. Yan pelan menyentuh dahinya. Panas. Dim demam, tubuhnya dingin.
Dim membuka mata karena ada yang menyentuh dahinya. Dia kira itu Ilham tapi setelah membuka mata ternyata itu Yan.
"Kenapa kamu tidak bilang, Dim. Kenapa tidak bilang kalau sedang sakit." Yan ingin menangis mengatakan itu. Yan tidak bisa melihat Dim sakit seperti ini. Yan tidak ingin meninggalkan Dim lagi dalam keadaan sakit. Yan tidak ingin menyesal dua kali.
"Aku tidak apa-apa. Dari mana kamu tahu?"
"Dari Ilham. Aku bertemu dengannya di apotik. Apa susahnya memberitahuku jika kamu sedang sakit. Kamu bisa mengirim pesan. Aku akan datang ke sini merawatmu." Yan mengusap air matanya.
"Jangan menangis." Tangan Dim bergerak pelan mengusap pipi Yan yang basah.
"Aku ambilkan kompres dulu." Yan berdiri menuju dapur kontrakan Dim.
Yan mengabari orang tuanya jika dia berada di kontrakan Dim. Yan bilang Dim sedang sakit. Siang itu Yan merawat Dim dengan telaten. Mengompresnya. Menyuapinya makan.
"Ayo satu kali lagi, Dim. Satu suapan saja." Yan membujuk Dim untuk menghabiskan bubur ayam yang dia beli sebelum pergi ke kontrakan Dim.
"Tidak mau. Sudah cukup, Yan." Dim menggeleng tegas sambil menutup mulutnya rapat-rapat.
"Ya sudahlah, cepat minum obatnya setelah itu istirahatlah." Yan memberikan obat dan air mineral pada Dim.
"Terima kasih, Yan," ucap Dim pelan.
"Dari dulu saat aku sakit memang cuma kamu yang peduli." Mata Dim berair. Ini mengharukan bagi Dim.
Yan tersenyum simpul. Segera menyuruh Dim istirahat dan akan menemani Dim sampai Dim tertidur. Menyelimuti Dim.
Yan menemani Dim sampai benar-benar tertidur pulas. Memandangi wajahnya. Yan tersenyum. Teringat saat pertama kali mereka bertemu di dalam bus sebagai dua orang yang tidak saling kenal. Jujur Yan risih sekali duduk dengan Dim saat di bus waktu itu. Yan mempersilahkan Dim duduk karena memang di kursi yang lain sudah penuh.
Yan pelan menyentuh dahi Dim. Masih panas, tapi sudah tidak sepanas yang tadi. Sepertinya obat demam yang dibeli Ilham di apotek tadi mulai bekerja. Yan mengganti kain kompresan dengan yang baru. Telaten mengompres Dim.
Yan baru pamit pulang saat Ilham sudah pulang kerja. Dan Dim Masih tertidur pulas.
Keesokannya hari minggu, Yan libur. Pagi-pagi sekali dia sudah bersiap. Dia akan pergi ke kontrakan Dim.
"Bawa rantang ini, Yan." Ibunya Yan, Bi Hanum menunjuk rantang di atas meja yang sudah dia siapkan sejak tadi. Ibunya Yan menyiapkan makanan untuk Yan bawa ke kontrakan Dim.
"Titip salam buat, Dim. Semoga cepat sembuh."
Yan mengangguk. Setelahnya mengucap salam pamit pergi.
Sesampainya di kontrakan Dim, Yan buru-buru membuka rantang yang dia bawa, wanginya tercium enak. Membuat perut lapar. Perut Dim berbunyi. Mereka tertawa.
"Ibuku yang memasaknya khusus untukmu, Dim. Dia titip salam semoga kamu cepat sembuh." Yan memberikan Dim piring, menuangkan Nasi. Menu masakan hari ini sebenarnya sederhana, ada tumis kangkung, ayam kecap, ayam krispi, kentang dan telur balado, tahu dan tempe goreng. Tapi Dim senang melihat makan-makan itu. Dim rindu masakan Bi Hanum.
"Sampaikan salam terima kasihku pada bibi ya." Dim menyendok makanannya. Enak. Mengacungkan jempol.
"Ilham tidak mau ikut makan?" Yan bertanya saat melihat Ilham yang sudah rapi.
"Aku akan keluar. Pelesiran bersama kekasih hati. Berhubung Dim sudah ditemani kamu di sini. Aku izin keluar ya." Ilham nyengir sambil meminta izin pada Yan.
Dim dan Yan mengizinkan. Kasian juga jika harus melihat Ilham duduk bengong melihat Dim dan Yan yang bermesraan. Eh, tidak bermesraan juga sih. Tapi tentunya Ilham akan merasakan bosan jika harus menyimak Dim dan Yan. Jadilah Ilham diizinkan pergi bersama kekasihnya mumpung hari minggu.
"Kamu sudah mendingan kan? Demammu bagaimana?" Yan menyentuh dahi Dim. Mengecek suhu badan. Sudah tidak panas lagi.
"Aku sudah baikan, Yan. Terima kasih sudah merawatku kemarin. Dan terimakasih sudah menyucikan baju kotorku." Dim nyengir.
Iya, Yan kemarin memang mencucikan baju kotor Dim yang menumpuk di bak cucian. Yan paling tidak suka kotor. Yan tipe orang yang suka bersih. Yan tidak bisa istirahat jika di kamarnya masih kotor. Dan kamar Yan selalu bersih dan rapi.
Sepuluh menit kemudian Dim selesai makan. Yan membereskan rantang yang dia bawa dan piring-piring kotor bekas makan tadi. Memberikan Dim obat untuk minum obat. Lalu menyuruhnya istirahat.
"Aku bosan Yan jika harus tidur-tiduran terus." Dim mengeluh.
"Ya sudah duduk saja."
Siang itu dihabiskan mereka untuk bercengkrama santai, sambil berbagi cerita tentang apa saja. Sambil sesekali menonton film horor. Entah kenapa film horor menjadi film komedi saat di tonton berdua atau ramai-ramai. Bukankah benar.
Sedangkan matahari di luar semakin meninggi. Menunjukkan bahwa sebentar lagi waktu dhuhur akan segera tiba.
***
"Hai, Yan."
Suara yang sangat familiar di telinga Yan tiba-tiba menyapanya di dalam bus. Yan mendongak. Itu Dim yang sedang berdiri sambil tersenyum di depannya.
"Apa kursinya kosong?"
"Tentu saja kosong." Yan tertawa. Dim hanya bercanda. Mengulang saat pertama kali mereka bertemu di dalam bus.
Pagi ini Dim berangkat bekerja, dan Yan berangkat kuliah. Mereka sebenarnya tidak janjian akan satu bus. Hanya kebetulan saja. Saat Dim naik ke dalam bus melihat perempuan yang tidak asing baginya sedang duduk di kursi barisan ketiga dekat jendela. Dim tidak ikut Ilham ke pabrik, karena Dim lebih suka naik bus, bisa sambil tidur sebentar. Waktu itu saat bertemu pertama kali dengan Yan, Dim memang sengaja naik bus. Sudah ditawari Ilham untuk ikut, tapi tidak mau.
"Kebetulan sekali kita satu bus lagi," ucap Dim.
"Eh, memangnya kamu sudah sembuh? Kenapa masuk kerja?" Yan langsung menyentuh dahi Dim mengecek suhu badannya.
"Aku sudah sembuh Yan. Lihatlah, aku sudah segar bugar." Dim merentangkan tangannya, seakan-akan menunjukkan kalau dia sudah baik-baik saja dan sudah sehat.
"Serius?" Yan bertanya lewat raut wajah. Dim mengangguk sebagai jawabannya.
Bus yang mereka tumpangi beberapa kali menurunkan dan menaikkan penumpang, sesekali juga tersendat di macetnya pasar.
Tak lama kernet bus menyerukan nama universitas, pertanda sebentar lagi bus akan berhenti di depannya. Menyuruh para penumpang yang hendak turun untuk bersiap-siap.
"Aku sudah hampir sampai," ucap Yan.
"Aku turun duluan, Dim."
"Eh, tunggu sebentar. Aku punya sesuatu untukmu." Buru-buru Dim mengeluarkan sebuah kotak berwarna coklat berukuran sedang dari dalam tas punggungnya.
"Ini apa?" Yan bertanya menyelidik isi dalamnya. Menimang-nimang, membolak-balik.
"Jangan dibuka sekarang, Yan. Dibuka nanti saja saat di rumah atau dimana lah terserah, yang penting bukan di hadapanku."
Sekali lagi kernet bus menyerukan nama universitas, penumpang yang ingin turun di harap segera turun.
"Aku harus segera turun. Terima kasih, Dim."
"Terima kasih juga Yan untuk kemarin."
Keduanya berpisah di dalam bus dengan saling melempar senyum.
Ternyata kotak coklat yang diberikan Dim di bus tadi isinya kerudung. Dim membelikan Yan kerudung belum dia sakit, tapi baru bisa memberikannya tadi pagi, sekaligus sebagai ucapan terima kasih untuk Yan karena sudah merawatnya selama sakit.
"Wah bagus sekali kerudungnya, dari siapa?" Far langsung mencomot kerudung yang ada di dalam kotak coklat. Saat ini mereka sedang duduk-duduk di taman baca kampus.
"Dari laki-laki itu ya?" Far menebak. Far Memang tahu tentang Dim karena Yan sering menceritakan Soal Dim. Dim teman masa kecilnya dari desa.
Yan tersenyum melihat kerudung dari Dim yang sudah di buka oleh Far. Yan mengetik pesan, mengucapkan terima kasih untuk kerudungnya.
Di tempat lain Dim tengah sibuk bekerja. Tidak sempat melihat telepon. Baru bisa melihatnya saat jam istirahat. Dim tersenyum melihat nama Yan tertera di barisan paling atas sebagai orang yang mengirim pesan. Dim membalas pesan yan. Bagi Dim tidak perlu berterima kasih, kerudung itu tidak ada apa-apanya dengan apa yang dilakukan Yan saat Dim sakit kemarin.
Hari terus berlalu menyulam minggu, dan minggu pun berlalu menyulam bulan, bulan merangkap menjadi tahun. Sudah satu tahun lebih sejak Dim dan Yan dipertemukan kembali. Mereka semakin dekat, semakin akrab. Rutinitas jalan-jalan sore setiap minggu sore terus mereka lakukan semata-mata untuk menghilangkan sumpek setelah seminggu berkutat dengan kesibukan masing-masing. Yan dengan kuliah dan tugas-tugasnya dan Dim dengan pekerjaannya di pabrik rokok. Dan lagi-lagi mereka meminjam motor Vega Ilham untuk berjalan-jalan. Dim tidak mempunyai motor, uang tabungannya belum cukup untuk membeli motor.
"Aku paling suka es krim rasa jagung ini. Bentuknya juga lucu, mirip jagung sungguhan," ucap Yan sambil memakan es krim jagung yang dia beli dengan Dim tadi.
Hari ini Minggu sore rutinitas mereka untuk jalan-jalan mencari tempat-tempat indah untuk melihat senja. Sebelum menuju ke tempat itu Dim menawarkan untuk membeli es krim terlebih dahulu karena beberapa waktu lalu Yan sempat bilang ingin makan es krim. Pernah suatu ketika Yan bilang kalau dia ingin meminum susu dingin di depan Indomaret pada siang hari yang panas saat bulan ramadhan. Dan itu belum tercapai. Apa kata Dim waktu Yan mengutarakan keinginannya,
"Jangan aneh-aneh, Yan. Mana bisa seperti itu." Yan hanya nyengir di depan Dim. Dan jujur Dim langsung luluh, senyum Yan manis sekali. Dim baru sadar jika Yan manis.
Hari-hari berlalu lagi. Yan terus sibuk dengan kuliahnya dan Dim dengan pekerjaannya. Mereka akhir-akhir ini jarang sekali bertemu. Yan juga sering menolak untuk di ajak jalan-jalan. Bahkan rutinitas Minggu sore mereka sering terlewatkan.
"Aku tidak bisa Dim pergi jalan-jalan. Aku sedang sibuk mengerjakan tugas. Tugasku banyak sekali." Itu kata Yan di potongan pesan saat Dim mengirim pesan pada Yan untuk mengajaknya jalan-jalan Minggu sore.
"Baiklah, mungkin Yan memang sedang banyak tugas." Itu kata Dim membesarkan hatinya, padahal dia rindu sekali dengan Yan. Sudah dua Minggu ini mereka tidak bertemu. Yan sering mengatakan jika dia sibuk mengerjakan tugas.
Minggu depannya Dim berinisiatif untuk pergi ke rumah Yan. Menemui Yan langsung ke rumahnya. Mereka bisa bertemu di sana, Yan bisa sambil mengerjakan tugas dan Dim bisa melepaskan rindunya untuk Yan. Ah, Dim diam-diam merindukan Yan.
"Yan tidak di rumah, Dim," ucap Bi Hanum. Dim baru saja sampai di rumah Yan. Bi Hanum ramah sekali menyambut Dim. Bilang, kalau Bi Hanum merindukan Dim yang sudah lama tidak berkunjung ke rumahnya.
"Yan pergi ke Diklat organisasinya. Memangnya dia tidak memberitahumu?" lanjut Bi Hanum.
Dim hanya menggeleng. Yan memang tidak memberitahu apapun soal Diklat organisasi itu. Bahkan pesan Dim dua hari lalu belum dibalas oleh Yan.
"Mungkin dia sibuk Dim. Yan berangkat hari Senin kemarin. Baru tiga hari di sana. Kata Yan dia mungkin akan seminggu di Diklat itu."
Bi Hanum menyuguhkan Dim teh panas dan beberapa kue basah buatannya. Masakan Bi Hanum selalu enak.
Cukup lama Dim di rumah itu, Bi Hanum juga mengajaknya makan bersama. Paman Jumadi juga baru pulang dari menjaga Swalayan milik mereka.
"Kamu tidak pulang ke desa, Dim?" Bi Hanum bertanya di sela-sela makan mereka.
"Untuk menjenguk nenekmu?"
"Tidak, Bi. Nenek bahkan tidak menghubungiku selama aku pergi dari rumah. Terakhir aku dengar, dia sudah tinggal dengan Rifka dan Dafa anaknya Bi Fatimah, cucunya yang lain." Pembahasan soal nenek Dim sama sekali tidak ada seru-serunya bagi Dim. Bi Hanum memilih menyudahi percakapan saat melihat raut wajah Dim seperti tidak senang membahas neneknya.
Selepas shalat isya' di rumah itu, Dim pamit untuk pulang ke kontrakannya.
"Kamu tidak ingin menginap Dim? Menginaplah semalam juga tidak apa-apa." Dim menggeleng atas tawaran dari paham Jumadi. Dim segera pamit. Dim berkunjung ke rumah itu karena rindu dengan Yan, ternyata Yan tidak ada di rumahnya.
Dim melangkah gontai meninggalkan pekarangan rumah Yan, segera menyalakan motor yang dia pinjam dari Ilham. Bagaimana lah, rasa rindu itu tidak terobati hari ini. Sang pujaan hati sedang entah dimana rimbanya. Eh, bagaimana bisa disebut pujaan hati, mereka hanya teman.
***
Malam harinya Dim kembali mengirim pesan suara pada Yan. Tapi ternyata WhatsApp Yan centang satu. Dia tidak online. Dim berpikir mungkin Yan sibuk. Dim memang sering mengirim pesan suara dari pada pesan diketik, karena akibat terjatuh dari pohon mangga itu masih terasa sampai sekarang. Dim masih kesusahan saat menulis dan membaca meski sudah bisa merespon perkataan orang dengan baik.
Sepanjang malam Dim uring-uringan. Kontrakannya banyak nyamuk, dia sulit tidur. Saat menatap langit-langit kamar, dia teringat saat Yan datang ke kontrakannya dengan wajah cemas saat dia sakit dan telaten merawatnya. Wajah yang menyuapinya, wajah yang mengomel karena Dim tidak ingin makan, Wajah yang manis. Dim jadi tersenyum sendiri, menutupi wajahnya yang tersipu dengan bantal karena mengingat Yan. Malam itu Dim memilih untuk segara tidur, karena besok harus pergi bekerja.
Pagi harinya, Dim sudah siap untuk berangkat bekerja. Tak lupa mengirim pesan suara pada Yan, tapi ternyata lagi-lagi hanya centang satu. Yan belum membuka ponselnya. Dim memilih segera berangkat takut ketinggalan bus.
Jarak antara kontrakan Dim dengan pabrik lumayan jauh. Kenapa demikian, Ilham yang mula-mula menyewa rumah kontrakan itu sengaja mencari yang jaraknya jauh karena terbilang murah daripada yang berada di dekat pabrik yang harganya mencekik dompet.
Dim masuk ke dalam bus duduk di kursi baris ke tiga dekat jendela. Bus berhenti beberapa kali menaikkan dan menurunkan penumpang. Seorang ibu-ibu dengan memakai masker duduk di samping Dim. Kursi-kursi yang lain sudah penuh. Wajar pagi hari, bus sedang penuh-penuhnya dengan orang-orang yang akan berangkat bekerja, orang-orang yang akan berangkat sekolah dan kuliah ,orang-orang yang hendak bepergian.
Dim menggeser posisi duduknya, membuat posisi duduk yang tegap agar ibu-ibu bermasker yang duduk di sampingnya itu sebagian seluruh kursi. Dim masih tetap fokus menatap jendela. Bus kali ini melewati universitas tempat Yan kuliah. Biasanya Yan duduk di sampingnya berangkat kuliah. Kenangan di bus bersama Yan terlintas sejenak di pikiran Dim. Bus sempat berhenti sebentar menurunkan beberapa mahasiswa lalu lanjut lagi.
Dim masih fokus menatap jendela, mengabaikan sekitar. Bahkan dia tidak sadar jika ibu-ibu yang di sampingnya sudah membuka masker.
Selang sepuluh menit, kernet bus menyebutkan sebuah tujuan, dimana pabrik tempat Dim bekerja berada. Dim bersiap turun.
"Permisi, Bu. Saya hendak tu ...." Suara Dim tercekat. Ada apa pagi ini, sebuah kebetulan. Lihatlah, Dim terdiam melihat ibu-ibu yang duduk di sampingnya. Raut wajah ibu itu, suaranya, tinggi badannya. Dim hapal mati. Ini ibunya. Ibunya yang sudah lama tidak pulang. Ibunya yang sudah pergi bertahun-tahun sejak dia masih kecil.
"Nak." Ibu itu melambaikan tangan. Sudah terlanjur berdiri memberikan jalan pada Dim yang hendak turun.
Dim masih terdiam. Bahkan saking lamanya tidak bertemu, ibunya sampai tidak mengenali wajah Dim.
"Heh, kau mau turun?" Suara kernet bus membuyarkan lamunan Dim.
"Tidak jadi." Entah kenapa Dim malah tidak jadi turun.
"Tidak jadi turun, Nak?" Ibu itu bertanya. Diam membalas dengan gelengan.
Iya ini ibunya. Dim hapal mati wajah ibunya meski sudah lama tidak bertemu. Pagi ini Dim duduk bersebalahan di dalam bus dengan ibu kandungnya namun seperti orang asing. Ibunya sama sekali tidak mengenalinya.
Ibunya kembali duduk karena Dim tidak jadi turun. Dim hanya bisa diam membeku tidak tahu harus apa. Hatinya tidak karuan, perasannya campur aduk. Antara rindu, benci dan entah apalah namanya. Dim banyak penyimpan pertanyaan sekarang.
Dim merogoh saku celananya. Mengambil ponsel. Mengirimkan pesan suara pada Ilham jika dia izin tidak bisa masuk. Ada urusan penting mendadak.
Dim terus diam. Tidak tahu harus apa. Bahkan dia tidak tahu kenapa tadi tidak jadi turun dan malah memilih tetep berada di bus ini. Dim menolehkan wajahnya ke jendela bus, sesekali melirik Ibu kandungnya yang duduk di sebelahnya. Ibunya terlihat sedang mengetik pesan untuk seseorang. Kemudian terdengar dering telpon.
"Iya, aku sudah di bus sebentar lagi sampai."
"Oleh-oleh? Oh ya, tenang aku sudah membawakannya oleh-oleh."
Itu potongan pembicara yang Dim denger saat ibunya berbicara dengan seseorang di seberang sambungan sana.
Sekitar lima belas menit kemudian. Ibunya Dim berdiri hendak tidur.
"Duluan ya, Nak," sapa ibunya Dim. Dim mengangguk kikuk. Tak berapa lama, bus berhenti. Ibunya Dim turun dengan membawa kantong plastik. Mungkin itu oleh-oleh yang dimaksud tadi saat menelfon.
Dim, entah kenapa malah berdiri ikut turun saat melihat ibunya sudah turun. Dim diam-diam membuntuti ibunya. Entahlah, Dim hanya penasaran dimana sekarang ibunya tinggal. Ibunya sama sekali tidak pulang semenjak urusan perceraian dengan ayahnya Dim selesai. Ibunya hanya sesekali menelfon dan mengirimkan uang. Dim bahkan tidak pernah berbicara dengan ibunya, terlanjur benci karena ditinggalkan. Tapi entah kenapa, pagi ini sebuah ketidaksengajaan itu terjadi. Dim yang hendak pergi bekerja bertemu dengan Ibunya di dalam bus.
Dim berjalan agak jauh di belakang ibunya. Ibunya terlihat memasuki gang perumahan. Tidak terlalu jauh dari jalan raya. Ibunya sedikit menjawab sapaan tetangga. Seperti sudah akrab dan sudah tinggal lama di daerah ini.
Tak lama, ibunya Dim terlihat memasuki sebuah rumah dengan pagar hitam. Rumah yang lumayan besar dan bisa dibilang bagus. Berkeramik dengan cat dinding berwarna hijau terlur asin. Dim menghentikan langkahnya di dekat rumah yang bersebelahan dengan rumah yang dimasuki ibunya. Bersembunyi di belakang mobil yang sedang terparkir di depan rumah itu. Baru saja ibunya Dim membuka pagar rumah, terlihat anak laki-laki berusia sekitar delapan tahun berlarian keluar dari dalam rumah, langsung memeluk ibunya Dim. Pelukan layaknya seorang anak pada ibunya. Tak lama disusul anak laki-laki yang masih berusia sekitar satu tahun. Anak laki-laki itu tertatih-tatih berjalan, agaknya baru bisa berjalan. Ibunya Dim menghampirinya, menggendongnya.
"Anak ibu. Ibu kangen sama, Gibran." Anak laki-laki berusia satu tahun itu terlihat riang dengan mengayunkan mainan mobil-mobilan mininya sambil wajahnya diciumi oleh ibunya Dim.
"Sudah sampai, Dik?" Terlihat laki-laki seumuran ibunya keluar dari dalam rumah itu sambil berbicara pada ibunya Dim.
"Iya, Mas. Baru saja sampai." Ibunya Dim menciumi tangan laki-laki itu.
"Bagaimana liburan dengan teman-temanmu, apakah seru? Maaf ya aku tidak bisa menjemputmu," kata laki-laki itu. Ternyata ibunya Dim baru saja datang dari liburan bersama temannya. Dan naik bus pagi ini karena tidak dijemput.
"Seru sekali, Mas." Mereka masih berbicara di teras rumah. Dim mendengar jelas pembicaraan mereka.
"Bu, oleh-olehnya ada kan?" Anak laki-laki yang berusia delapan tahun itu bertanya.
"Tentu ada, Sayang. Ibu membelikan mainan untuk kamu dan adikmu." Ibunya Dim mengelus pipi anak laki-laki itu.
"Ayo masuk, kita bongkar oleh-olehnya di dalam saja," ajak ibunya Dim. Mereka akhirnya masuk.
Terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia. Sudah tidak perlu dijelaskan lagi, apa yang Dim lihat dengan mata kepalanya sendiri sudah cukup jelas. Ibunya sudah memiliki keluarga baru. Tapi kenapa ibunya harus melupakan Dim. Bukankah Dim juga anaknya.
Dim memilih pergi dari sana. Sepertinya keputusannya salah tidak masuk kerja pagi ini. Kebencian pada ibunya semakin bertambah. Pertanyaan-pertanyaan itu semakin banyak memenuhi kepalanya. Kenapa ibunya melupakan Dim? Kenapa ibunya tidak peduli? Kenapa ibunya tidak pulang saat Dim terjatuh dulu dari pohon mangga? Kenapa ibunya pergi dan tidak pernah pulang? Bukankah Dim juga anaknya, lantas kenapa Dim ditelantarkan?
Dim tidak akan menangis, tapi kenyataan yang diketahui pagi ini begitu menyesakkan. Setidakpeduli itukah ibunya pada Dim. Ibunya sudah mempunyai keluarga baru tanpa sepengetahuan Dim. Bahkan ibunya terlihat amat bahagia.
Dim berjalan terburu-buru, segera menyetop bus. Dim tidak tahu akan kemana. Yang jelas harinya hancur pagi ini. Dunianya tidak baik-baik saja.
Dim merogoh sakunya mengambil ponsel. Mengirim pesan suara pada Yan. Tapi lagi-lagi hanya centang satu. Yan tidak membuka WhatsApp-nya. Kemana Yan. Dim butuh Yan.
***
Dim memilih berhenti di rumah Yan. Dim tidak tahu akan kemana. Maka tujuan terakhirnya adalah rumah Yan. Mungkin jika tidak bertemu dengan Yan, Dim bisa bertemu dengan Bi Hanum yang sudah dia anggap seperti ibu sendiri.
Bus yang ditumpangi Dim turun di perempatan jalan deket rumah Yan. Dim terburu-buru berjalan kaki menuju rumah Yan. Namun ternyata pintu rumah Yan tertutup rapat. Tidak ada orang di rumah itu. Dim mengetok pintu rumah, tidak ada jawaban.
"Keluarga Bu Hanum sudah pergi sejak tadi malam sekitar jam delapan, Dik." Itu kata bapak-bapak yang lewat di depan rumah Bi Hanum. Dia berbaik hati memberitahu Dim yang tengah mengetuk-ngetuk pintu rumah Bi Hanum.
Dim terdiam. Dim sudah tidak tahu akan kemana. Merogoh kembali saku celananya, mengambil ponsel. Mengirim pesan suara pada Yan. Namun nihil, lagi-lagi centang satu.
Dim memilih duduk di teras rumah Yan. Memeluk lututnya, menunduk. Kenapa pula pagi ini dia harus bertemu dengan ibunya. Kenapa dia harus mengetahui kenyataan kalau ibunya sudah hidup bahagia dengan keluarga barunya.
Lama Dim duduk di teras rumah Bi Hanum. Dim tidak ada tujuan. Jika tidak pada Yan maka Bi Hanum dan rumah ini tempatnya pulang. Tapi semuanya sedang tidak ada di rumah sekarang, bahkan rumahnya terkunci.
Langit di arah barat mulai menjingga. Samar-samar membuat mata silau. Dim masuk terduduk di teras rumah Yan. Terdengar dering telpon yang membuyarkan lamunan Dim. Dim merogoh sakunya. Malas sekali saat melihat nama yang tertera di layar ponsel. Bi Fatimah, saudara ibunya Dim yang menelfon. Dim malas mengangkat telfonnya. Tapi Bi Fatimah jarang sekali menelfon, bahkan hampir tidak pernah. Baiklah, maka Dim memilih untuk mengangkat telfonnya.
"Pulanglah, Dim nenekmu sekarat, Nak. Dia memanggil-manggil namamu." Suara Bi Fatimah tertahan di ujung sana. Suaranya seperti orang menangis.
"Pulang, Dim. Kasihanilah, nenekmu."
Entah apa lagi kali ini, Bi Fatimah menelfon dengan memberitahu kabar yang tidak enak. Dim, entah kenapa pula menurut untuk pulang, maka malam ini Dim pulang setelah mampir ke kontrakannya untuk mengambil beberapa setel baju yang disaksikan Ilham dengan terheran-heran.
Jarak antara kota dan desa Dim cukup jatuh. Butuh waktu perjalanan lima jam menggunakan bus untuk sampai. Sesampainya di rumah neneknya. Bi Fatimah berhamburan keluar memeluk Dim. Di teras rumah juga ada suami Bi Fatimah, Dafa dan Rifka anaknya.
"Lihatlah nenekmu, Nak," bisiknya. Bi Fatimah pelan menghapus air matanya sambil membimbing Dim untuk masuk.
Dim masuk ke kamar neneknya. Neneknya tengah berbaring lemah di atas dipan dengan selang-selang medis tertancap di badannya. Informasi yang Dim denger dari Bi Fatimah tadi, neneknya sakit parah beberapa bulan terakhir. Penyakit jantung, Infeksi lambung, infeksi saluran pernapasan, kencing manis dan beberapa penyakit lainnya. Sudah beberapa kali rawat inap. Sempat membaik satu bulan yang lalu, tapi untuk kemudian jatuh sakit lagi. Hingga akhirnya rawat inap kembali. Tapi entah kenapa tadi malam, neneknya ngotot meminta pulang dan selalu menyebut nama Dim. Berulang kali menyuruh anaknya Fatimah untuk menelfon Dim. Maka sore tadi karena neneknya Dim sudah mendesak beberapa kali, Bi Fatimah menelfon Dim.
Mata neneknya Dim pelan-pelan terbuka. Dia tersenyum tipis sambil terbatuk-batuk.
"Kamu pulang, Dim." Tangan nenek Dim terangkat, hendak mengulur. Dim buru-buru menangkap tangan itu.
"Terima kasih sudah pulang, Dim. Meski nenek tahu kamu terpaksa." Nenek Dim terbatuk-batuk lagi.
Dim hanya diam menyimak.
"Nenekmu ini ingin meminta maaf, Nak. Nenek bukan nenek yang baik untukmu. Nenekmu mendidikmu dengan salah, didikan yang kasar. Nenekmu ini pilih kasih terhadapmu, Dim. Selalu membandingkan kamu dengan cucu nenek yang lain, selalu menyangkut pautkan kamu dengan ibumu yang tidak pernah pulang. Nenek sering memarahimu. Nenek minta maaf." Neneknya menghela nafas. Tangannya menggenggam erat tangan Dim.
"Dim, nenek tidak tahu kapan ajal akan menjemput. Tapi, Dim. Sebelum semuanya terlambat, nenek ingin meminta maaf. Nenek tahu, kamu amat kesal dengan nenekmu ini, mungkin juga amat benci. Maafkan nenek, Nak, yang dulu malah dengan tega menghentikan pengobatanmu. Salah nenek tidak mendidikmu dengan baik hingga kamu nakal, bandel, susah diatur, dan terjatuh dari pohon itu. Nenek kurang memperhatikanmu."
"Nenek terlanjur kecewa dan sakit hati atas keputusan Ibumu yang ingin pergi. Terlanjur sakit hati dengan perceraian dengan terjadi antara ibunya dan ayahmu."
Nenek Dim batuk lagi. Kali ini makin menjadi-jadi batuknya. Dim mengambil air minum yang ada di atas nakas. Pelan-pelan membantu neneknya minum.
"Terima kasih, Dim. Kamu bahkan masih berbaik hati untuk pulang memenuhi permintaan nenekmu ini setelah apa yang nenek lakukan padamu." Tangan nenek Dim semakin erat menggenggam tangan Dim. Entah kenapa perkataan neneknya menyesakkan bagi Dim malam ini.
"Sudahlah jangan banyak bicara dulu. Nenek istirahat saja." Dim menyuruh.
"Tidak, Dim. Biarkan nenek bicara malam ini." Neneknya mencegat. Entah kenapa sifat keras kepalanya masih ada meskipun sedang sakit. Jadi Dim memilih membiarkannya bicara.
"Semenjak kepergianmu merantau, nenek memang tidak peduli, Dim. Nenek bahkan tidak memberimu uang saku, kamu berangkat dengan uang tabunganmu sendiri. Nenek tidak pernah menghubungimu. Tapi setelah dua tahun kamu pergi nenek mulai kesepian, Dim. secara tidak langsung nenek merindukanmu. Tapi nenek beberapa kali menyangkal hal itu. Hingga akhirnya nenek tinggal bersama Rifka dan Dafa sepupumu. Mereka anak yang lurus-lurus, Dim. Tidak pernah membuat nenek marah dan berteriak-teriak, tidak sepertimu. Sesekali nenek mungkin rindu meneriakimu."
"Tadi malam, nenekmu mengakui kerinduan itu, Nak. Nenekmu merindukanmu. Rindu ingin bertemu sebelum semuanya terlambat. Terima kasih sudah pulang, Nak."
Neneknya menangis kali ini. Dim pelan mengulurkan tangan mengusap wajah keriput neneknya. Entah apa yang dibicarakan neneknya. Kenapa pula harus seperti pesan terakhir saja.
"Dim, nenek butuh maaf darimu."
Dim buru-buru mengangguk agar neneknya berhenti berbicara. Batuknya akan semakin parah jika neneknya terus berbicara.
"Maafkan nenek Dim."
Tiba-tiba napas nenek Dim tersengal, napasnya tercekat, tangisnya berhenti, tubuhnya menegang. Bi Fatimah yang dari tadi hanya diam menyimak di belakang Dim, juga ikut panik. Kalang kabut menghampiri ibunya yang sakaratul maut.
Malam itu nenek Dim berpulang pada Sang Maha Pencipta. Tetangga desa, Sanak famili, kerabat dekat dan jauh segera dihubungi, berbondong-bondong hadir. Mbah Anum segera pergi ke surau menyiarkan lewat speaker jika ada penduduk desa yang meninggal.
"Nomornya tidak aktif." Bi Fatimah kebingungan menelpon Hasuna ibunya Dim yang masih saudaranya. Hendak memberitahu jika ibunya meninggal dan menyuruhnya pulang.
Dim berteriak, "Tidak perlu menghubungi wanita itu. Dia tidak akan peduli. Tidak perlu menelponnya." Dim teringat apa yang dilihatnya tadi pagi soal ibunya yang bahagia dengan keluarga barunya.
Malam itu Dim menyuruh neneknya untuk segera dimakamkan, tidak perlu menunggu siapapun. Sebab tidak akan ada siapapun yang akan hadir lagi.
Malam itu dibawah langit cerah dengan bertabur gemintang dan rembulan yang bertengger manja, Dim mengantarkan neneknya pada peristirahatan terakhir.
Dim sudah memaafkan neneknya. Dim memaafkan neneknya semenjak dia memilih untuk pulang memenuhi permintaan neneknya. Toh tidak ada salahnya memaafkan kesalahan orang-orang yang berbuat tidak baik pada kita. Kita tidak akan rugi apapun. Justru hal itu akan membuat hati kita semakin lapang. Membuat hati kita bisa menerima akan hal-hal pahit yang datang.
Prosesi pemakaman nenek Dim selesai sekitar jam sepuluh malam. Malam itu rumah keluarga dim berduka. Dim beberapa kali melihat pada rumah Yan, yang berada tidak jauh dari rumahnya. Rumah itu kosong sudah lama.
Baru Dim hendak duduk santai di kursi ruang tamu, ponselnya berdering. Lihat nama Bi Hanum di layar ponsel. Buru-buru Dim mengangkat telfon itu.
"Mau kemana, Dim?" Bi Fatimah bertanya saat melihat Dim terburu-buru mengemas barang-barangnya.
"Aku akan berangkat." Belum sempat Bi Fatimah bertanya lebih lanjut Dim buru-buru mencium tangannya pamit berangkat.
Panggilan dari Bi Hanum tadi begitu mendesak, kenapa bisa separah ini baru memberitahu. Kenapa harus disembunyikan. Malam itu Dim buru-buru menuju kota tempatnya bekerja. Tapi bukan kontrakan yang menjadi tujuannya malam ini, bukan juga rumah Bi Hanum. Tapi rumah sakit umum. Butuh waktu lima jam untuk sampai. Setelah sampai Dim tanpa ba-bi-bu langsung memasuki ruang inap. Orang-orang di dalam ruangan serempak menoleh saat Dim membuka pintu. Ada bi Hanum paman Jumadi, kakaknya Yan dan istrinya. Lihatlah, seseorang yang begitu spesial baginya sedang terbaring lemas tak berdaya dengan selang-selang medis yang melilit tubuhnya.
Ya, panggilan darurat dari Bi Hanum tadi tentang Yan.
"Ini darurat, Dim. Apa kamu bisa ke rumah sakit sekarang. Yan, Dim. Yan sedang tidak baik-baik saja." Cukup kalimat yang tidak mengenakkan itu keluar dari mulut Bi Hanum, Dim kalang kabut segera berangkat. Tidak peduli meskipun lelah, tidak peduli wajah Bi Fatimah yang masih ingin bertanya. Dim hanya ingin sampai ke rumah sakit malam ini.
Keadaan Yan sudah semakin parah. Penyakit ini sudah ada sekitar satu tahun. Mula-mula hanya batuk, lalu dilanjut dengan batuk darah berkepanjangan. Hingga dokter memvonis Yan mengidap penyakit kangker paru-paru. Tapi Yan tidak menjalani rawat inap, Yan berobat dari rumah dengan rutin ke rumah sakit. Itu yang Dim dengar dari Bi Hanum. Dan selama ini kenapa Yan tidak bisa dihubungi, bukan karena Yan pergi di Diklat organisasinya. Tapi hari itu keadaan Yan tiba-tiba drop. Kondisinya menurun. Maka jadilah harus dirawat di rumah sakit sekarang.
"Maafkan Bibi dan paman yang tidak memberitahumu, Dim. Tapi ini atas permintaan, Yan," bisik Bi Hanum lirih.
Di tengah perbincangan itu mata Yan mengerjap-ngerjap.
"Dim." Meski lirih, Dim bisa mendengar perkataan Yan. Tubuhnya kini semakin kurus, matanya hitam. Tapi tidak sedikitpun mengurangi kecantikan Yan.
"Bicaralah, Dim. Bibi dan paman akan menunggu di luar." Bi Hanum memberi mereka ruang untuk berbicara.
Saat bi Hanum sudah keluar, Dim mengambil kursi dan duduk di dekat Yan.
"Kenapa tidak bilang? Hal sebesar ini kamu memilih untuk menyimpannya sendiri? Lalu selama ini aku dianggap apa, Yan. Kita sahabat. Apa yang kamu bilang waktu itu saat aku sakit, kita harus saling membantu. Jangan pernah sembunyikan hal sebesar ini dariku."
"Maaf." Tangan yang terlilit infus itu terjulur menyentuh lembut tangan Dim.
"Bukan maksudku begitu. Aku hanya tidak ingin membebanimu."
"Beban apa, Yan. Ini bukan beban. Aku sudah menganggapmu lebih dari sahabat. Apa susahnya bilang jika kamu sakit."
"Aku minta maaf, Dim." Yan menangis.
"Sudah jangan menangis. Aku minta maaf karena terlalu emosional." Dim mengusap pelan air mata di pipi Yan.
"Jangan pikirkan yang tidak-tidak. Sekarang fokus dengan kesehatanmu saja," lanjutnya.
"Apa kau ingin makan?" Dim buru-buru mengambil bubur di atas nakas.
Malam harinya Yan tidur dengan pulas. Begitu juga dengan yang lain. Keluarga Yan yang menjaga, mereka menggelar tikar di lantai tidur berhimpitan. Dim belum mengantuk, akhirnya menyeret kursi duduk di samping Yan. Melihat Yan dalam keadaan seperti ini begitu mengiris hati Dim. Apa bisa dia melihat Yan dalam keadaan seperti ini. Dim hanya pura-pura kuat, terus menyeka air matanya diam-diam agar Yan tidak tahu.
Dim tidak berbicara sepatah katapun, dia hanya ingin menatap wajah Yan yang tertidur pulas di hadapannya. Alih-alih membenarkan perasaannya yang kini mulai tumbuh. Entah salah atau tidak menaruh perasaan pada sahabat sendiri, tapi yang jelas Dim menyukai Yan. Pelan-pelan Dim mengusap kepala Yan.
Sudah sekitar seminggu Dim di rumah sakit. Dim memang kembali bekerja namun pulangnya ke rumah sakit. Dim menginap di rumah sakit seminggu terakhir. Beberapa bajunya bahkan sengaja dibawa ke rumah sakit. Beberapa hari yang lalu ada bi Fatimah dan suaminya membesuk Yan. Datang dengan membawa buah tangan. Bi Fatimah berkali-kali menelfon Dim malam itu, khawatir karena Dim tanpa alasan tiba-tiba berangkat. Baru keesokan harinya Dim mengirim pesan singkat jika Yan sakit. Jadilah BI Fatimah membesuk Yan di rumah sakit. Dari kedatangan Bi Fatimah itu keluarga Bi hanum tahu jika neneknya Dim meninggal. Bi Hanum meminta maaf karena tidak datang saat nenek Dim meninggal, dia juga sedang kemalangan. Bi Fatimah bilang, tidak apa-apa dan mendoakan Yan semoga lekas sembuh.
"Aku pulang." Dim berteriak sambil membuka pintu kamar inap Yan.
"Berhenti di pintu, Dim. Balik badan," pekik bi Hanum.
Dim langsung balik badan. Sambil bertanya ada apa. Ternyata bi Hanum sedang mengelap tubuh Yan. Ingin mengganti pakaiannya. Dim segera keluar.
Setelah dua puluh menit bi Hanum mempersilahkan Dim uang masuk. Yan sudah siap dengan pakaian baru. Wajahnya terlihat segar dengan sedikit polesan bedak tipis dan balutan kerudung instan berwarna coklat. Yan cantik sekali. Dim tersenyum samar menatap wajah Yan.
"Lihat apa yang aku bawa." Dim mengangkat tinggi kantong plastik yang dia bawa. Itu bolu kesukaan Yan. Bolunya lembut sekali, dan sudah menjadi langganan Yan membeli bolu itu. Bi Hanum segera memindahkan bolu itu ke atas piring, lalu memberikan sepotong pada Yan.
"Bagaimana?" Dim bertanya. Yan langsung mengacungkan jempol. Dim tertawa melihat ekspresi riang Yan. Dim suka melihat Yan tersenyum. Keadaan Yan semakin membaik. Dokter di rumah sakit rutin mengeceknya, menyuruhnya istirahat. Jika keadaan Yan semakin membaik, maka Yan boleh pulang dua atau tiga hari lagi.
"Ayo cepat sembuh, Yan. Nanti akan ku ajak kau jalan-jalan sore lagi," kata Dim. Yan semangat sekali mengangguk.
Bolu di piring sudah tandas. Yan saatnya istirahat.
"Kamu gak mau pulang, Dim?" Yan bertanya.
"Tidak, kenapa?"
"Pulanglah, sudah seminggu kamu di sini."
"Tidak aku tidak akan pulang. Aku akan menungguimu."
"Pulanglah sebentar ke kontrakanmu. Kasian Ilham sendirian."
Dim kekeh tidak akan pulang dan tidak akan kemana-mana. Terus menemani Yan di rumah sakit sampai sembuh.
"Pulanglah sebentar, Dim. Aku tidak apa-apa di sini. Di sini ada ibu, ayah dan kakakku. Aku baik-baik saja. Dan sebentar lagi aku juga akan pulang ke rumah. Jadi tidak apa-apa jika kamu pulang sebenarnya dan besok kembali lagi ke sini," ucap Yan lirih .
"Yakin?" Dim bertanya lewat raut wajah. Yan mengangguk mantap.
Baiklah mungkin tidak apa-apa pulang ke kontrakan sebentar hitung-hitung melihat Ilham. Dim mengalah. Selepas shalat Maghrib, Dim pamit pada bi Hanum untuk pulang sebentar, besok dia akan kembali lagi.
Malam itu selepas isya' Dim pulang atas pemintaan dari Yan. Lalu merebahkan diri di atas dipan. Dim melihat langit-langit kamarnya. Teringat wajah Yan saat mengenakan kerudung instan berwarna coklat tadi. Dim semakin tersipu malu mengingat wajah Yan, menutup wajahnya dengan bantal. Apa dia harus menyatakan perasannya selama ini pada Yan? Tapi bagaimana jika ternyata Yan menolaknya? Tapi Dim tidak bisa memungkiri perasannya sendiri. Dia menaruh perasaan pada Yan.
Malam itu Dim tidak bisa tidur meksipun sudah dipaksakan, terus teringat wajah Yan.
"Besok saat aku ke sana, aku akan mengatakannya."
Ya, besok saat kembali ke rumah sakit, Dim akan menyatakan perasannya. Tidak peduli respon Yan seperti apa. Dim hanya ingin menyatakan perasaannya. Dia harus cepat-cepat tidur sekarang.
Selang satu jam, ternyata Dim tidak kunjung bisa memejamkan matanya. Seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak tenang. Dim terus teringat Yan. Semoga Yan tidak apa-apa. Dim mengambil ponselnya di atas nakas, menghubungi Bi Hanum.
"Yan baru saja tertidur, Dim. Kamu tenang saja." Demikian kata bi Hanum di seberang sambungan sana.
"Serius, Dim. Yan sudah tertidur," ucap Bi Hanum lagi. Dim tak kunjung percaya. Namun akhirnya, percaya juga setelah meminta Bi Hanum untuk memfoto Yan.
Entah apa maksud langit malam itu, padahal di atas sana cerah berbincang tanpa awan. Namun, tiba-tiba langit berubah menjadi mendung seketika. Bersamaan dengan itu, terdengar suara dering telepon. Dim baru saja terlelap, tapi hp-nya malah berbunyi lagi. Tertera nama bi Hanum di layarnya.
Dengan masih setengah sadar, Dim mengangkat telepon dari bi Hanum.
"Cepat ke rumah sakit, Dim. Yan kritis." Mata Dim langsung menyala seratus wat. Itu bukan suara bi Hanum, tapi suara kakaknya Yan. Cukup dengan kabar singkat itu, Dim langsung pontang-panting berangkat. Meminjam motor pada Ilham yang masih linglung akibat dibangunkan dadakan.
Kenapa cepat sekali kabar ini berubah. Padahal beberapa jam yang lalu, Dim melihat jelas foto Yan yang tertidur pulas. Baru beberapa jam yang lalu, Yan berbicara pada Dim dan menyuruhnya untuk pulang ke kontrakan. Malam yang dingin, langit yang sudah mendung, jalanan yang lengang, Dim mempercepat laju motornya.
Sesampainya di rumah sakit, memarkirkan motor dengan sembarangan. Dim berlari menuju ruang rawat inap Yan. Sesampainya di sana terlihat bi Hanum yang sudah di rangkul oleh kakaknya Yan. Menangis tersedu-sedu. Dari paman Jumadi Dim tahu, jika tadi saat Yan sedang tertidur, dan orang-orang yang ada di ruang inap itu hendak beristirahat juga, tiba-tiba Yan kejang-kejang, matanya melotot, napasnya tersengal. Entah apa yang terjadi. Bi Hanum panik menyuruh anak laki-lakinya untuk memanggil dokter. Sudah sekitar dua puluh menit dokter menangani Yan di dalam.
Dim bersandar pada dinding rumah sakit. Entah apa maksud semua ini. Dia baru saja akan menyatakan perasannya, dia baru saya tersipu malu mengingat betapa manisnya wajah Yan saat berganti pakaian sore tadi. Kenapa tiba-tiba semuanya seperti membalikkan telapak tangan, berubah seketika.
Orang-orang menunggu cemas di luar ruangan. Bi Hanum tak henti-henti berdoa.
Dim mendekati bi Hanum yang sedang terduduk di lantai.
"Yan akan baik-baik saja kan, Dim?" Mata bi Hanum sembab sebab menangis. Dim tidak tahu harus menjawab apa. Dia hanya bisa mengangguk.
Namun ternyata nihil. Langit di luar benar-benar hujan malam ini. Bersamaan dengan dokter yang keluar dari dalam ruangan dengan wajah tertunduk.
Dim tidak butuh mendengar penjelasan dokter, dia berhamburan memasuki ruangan tempat Yan diperiksa. Sedangkan bi Hanum sudah histeris mendengarkan penjelasan dokter. Putrinya sudah berpulang. Dim masuk dengan tergesa-gesa berdiri mematung di samping tubuh yang terbujur kaku, mata yang sudah tertutup. Entahlah, Dim tidak tahu harus menyalahkan siapa. Dokter yang tidak bisa menyelamatkan Yan, Tuhan yang terlalu cepat mengambil Yan darinya, atau justru menyalahkan dirinya sendiri yang menuruti permintaan Yan untuk pulang ke kontrakan.
"Aku mencintaimu, Yan." Hanya itu yang keluar dari mulut Dim. Terdengar kecil. Dim tidak punya kekuatan untuk berbicara.
"Aku benar-benar mencintaimu."
"Kenapa kau tidur, Yan. Ayo bangun, aku datang lebih cepat, Yan. Ilham baik-baik saja ditinggal di kontrakan sendirian."
Dim menyentuh lengan Yan.
"Apa kau ingin bolu lagi? Ayo bangun."
Dim tertunduk. Matanya sudah sejak tadi sembab. Dim tidak tahu harus mengekspresikan kesedihannya dengan apa. Yan tidak bangun, tidak membuka matanya meski sudah dibangunkan.
Bi Hanum memasuki ruangan berdiri di seberang Dim. Menggoyang-goyangkan tubuh putrinya. Menangis histeris sambil dipegangi oleh paman Jumadi. Sekarang, di luar benar-benar turun hujan. Deras malah, petirnya sambar-menyambar.
Esok harinya, jenazah Yan dibawa pulang dengan ambulan. Ramai sekali rumah Yan pagi ini. Mereka datang untuk turut berbuka citra. Dim ikut serta di dalam ambulan. Tidak berkata sepatah kata pun. Hanya diam tertunduk. Pagi menjelang siang, Yan dimakamkan. Langit masih gerimis, mendung sejauh mata memandang. Lantunan doa dari seorang tokoh agama terdengar di pemakaman Yan. Sepuluh menit kemudian, orang-orang mulai meninggalkan area pemakaman.
"Ayo, Dim." Bi Hanum menyentuh pelan bahu Dim. Dim menggeleng, bilang dia masih ingin di sini.
Dim terdiam menatap batu nisan bertuliskan nama Yan. Yanti Andriyani. Dim tersenyum kecut. Senyum yang dipaksakan.
"Kau tidak ingin bangun?" Dim bertanya seraya tersenyum masam.
"Kau jahat sekali, Yan. Seharusnya kau pamit bukan malah pergi tanpa sepatah pesan apapun." Dim terdiam lagi. Gerimis yang turun membasahi baju Dim.
"Tentang perasaan ini, Yan. Aku benar-benar mencintaimu." Kali ini Dim menangis lagi. Namun langsung dia usap.
Dim masih berdiam diri di makam Yan sekitar satu jam, hingga kemudian pulang saat hujan sudah turun dengan deras.
Setelah prosesi pemakaman, Dim masih berada di rumah Yan. Bi Hanum tidak membolehkannya pulang.
"Tinggallah di sini Dim untuk sementara." Dim yang tidak kuasa untuk menolak, akhirnya mengiyakan.
Bi Hanum menyuruhnya tidur di kamar Yan. Dim pelan-pelan memasuki kamar Yan. Kamar bernuansa hijau berpadu ungu. Dim menatap sekeliling. Melihat-lihat. Ini pertama kalinya dia melihat dan memasuki kamar Yan secara langsung, yang sebelum-sebelumnya hanya mendengar ceritanya dari Yan. Apalagi saat Yan meminta saran kamarnya akan di cat warna apa, Yan heboh sekali. Banyak menolak saran warna dari Dim.
"Lihat, kamarmu jelek sekali Yan dengan warna hijau dan ungu. Sudah aku bilang beri warna putih biru saja." Dim tersenyum getir.
Malam ini, Dim tertidur di dipan kamar Yan. Tubuhnya kelelehan dengan semua kabar duka ini.
***
Minggu ini Dim dan keluarga Yan masih dalam suasana berduka. Akan tetapi, Dim sudah pulang ke kontrakan. Dim kekeh ingin tinggal di kontraknya saja, dan akhirnya bi Hanum mengizinkan. Dim kembali bekerja seperti biasa. Tapi kali ini tidak lagi berangkat dengan menggunakan bus. Tabungan Dim sudah cukup untuk membeli motor, jadilah saat ini dia sudah memiliki motor sendiri untuk berangkat bekerja.
Rutinitas Dim saat ini selain bekerja juga mengunjungi makam Yan setiap seminggu sekali, tepatnya hari minggu sore. Sama seperti jadwal mereka berkeliling jalan-jalan sore.
"Aku seperti sia-sia membeli motor itu, Yan. Motor itu tidak bisa membawamu pergi jalan-jalan. Aku menabung lambat sekali, butuh tiga tahun untuk bisa terkumpul," ucap Dim sambil menaburkan bunga di atas makan Yan. Ini adalah bulan kedua di minggu pertama sejak Yan meninggal. Dim sudah beberapa kali datang berkunjung, membawakan bunga baru untuk Yan. Membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar makam Yan.
"Oh ya, Ilham hendak melangsungkan pertunangan dengan kekasihnya minggu depan, Yan. Dia sekarang selalu mengejekku karena tidak kunjung memiliki kekasih. Sampai-sampai dia memperkenalkan aku dengan teman-teman perempuannya. Aku sudah bilang berkali-kali, aku tidak ingin semua perempuan itu. Aku hanya ingin kau, Yan." Tangan Dim masih mencabuti rumput-rumput kecil di makam Yan. Cukup lama Dim di sana sendiri sambil bercerita kesehariannya selama seminggu tidak berkunjung ke makam Yan. Sedangkan matahari di arah barat siap tumbang. Mulai mengeluarkan sinar jingganya.
"Aku harus pulang. Malam hari di sini terlalu horor, Yan. Aku tidak seberani itu. Meski aku sering iseng menakutimu."
"Aku pulang. Minggu depan aku datang lagi." Dim mengusap pelan batu nisan Yan. Bangun dari duduknya, mulai beranjak pergi.
***
Hari-hari Dim terus berjalan. Meski sebenarnya terdengar monoton. Hanya bekerja berangkat pagi pulang sore, untuk kemudian diulang-ulang setiap harinya. Meski sesekali berkunjung ke rumah Bi Hanum dan melepas rindu dengan menginap di kamar Yan. Dan tentunya tidak lupa rutinitas mingguan Dim yang berkunjung ke makam yan.
Hari ini adalah jadwal kunjungan Dim ke makam Yan yang kesekian kalinya, sudah tidak terhitung Dim berkunjung meksi hanya sekali seminggu dalam setengah tahun ini. Ya, sudah cukup lama Yan meninggal. Sudah setengah tahun lamanya.
"Selamat sore, Yan." Dim datang dengan senyumannya sambil menjinjing bungkusan plastik berisi bunga dan sekotak kue bolu.
"Lihat, apa yang aku bawa, Yan. Aku membawakan kue bolu kesukaanmu." Di mengangkat tinggi-tinggi kantong plastik berisikan kue bolu.
"Aku sengaja membelinya. Aku ingin makan berdua kue bolu ini denganmu sambil iseng mengoleskan lapisan coklatnya pada pipimu," ucap Dim.
"Bukankah itu terlihat seru, Yan. Kau akan jadi orang pertama yang melototiku jika terlalu banyak menghabiskan kue bolu kesukaanmu," lanjutnya. Dim tersenyum samar.
Dim mulai membuat kotak berisikan bolu. Memotong setengah bagiannya. Ukuran bolu ini cukup besar jika hanya dimakan sendiri.
"Kau apa kabar di sana, Yan. Kau tidak rindu padaku? Aku sangat merindukanmu, Yan," tutur Dim dengan lembut. Tangannya mulai memasukkan potongan kecil kue bolu ke dalam mulut.
"Kue bolu ini terasa hambar jika hanya dimakan sendiri." Dim tersenyum masam.
"Kau tahu, Ilham sudah menikahi tunangannya, Yan. Dia tidak ingin berlama-lama. Empat hari yang lalu pernikahannya dilangsungkan. Dan sekarang, dia sudah tidak tinggal di kontrakan lagi, Yan. Tapi pindah ke rumah istrinya. Aku sendirian sekarang di kontrakan kecil itu."
Di sela-sela itu, Dim sambil membersihkan beberapa rerumputan kecil yang mulai tumbuh di makam Yan. Mulai menyirami sebotol air di atasnya, lalu menaburkan bunga.
"Kali ini aku membeli seikat besar bunga Bougenville kesukaanmu, Yan."
Dim tahu Yan tipe perempuan yang tidak menyukai bunga. Yan hanya mengukai bunga Bougenville karena bentuk kelopaknya yang menyerupai daun tapi diberi warna, begitu kata Yan saat mengatan bunga kesukaannya.
Langit di atas sana mulai menampakkan sinar jingganya. Bersamaan dengan itu, datang seorang kakek-kakek berkopiah dan bersarung yang agaknya hendak berziarah. Kakek itu duduk tidak jauh dari tempat Dim. Langsung menghadap Dim. Kakek itu mengeluarkan buku berisi bacaan tahlil dan Yasin yang luarnya sudah terlihat kumal sekali. Mulai membuka halaman pertama dan membaca dengan bacaan yang cukup nyaring sampai lantunannya terdengar ke telinga Dim.
"Yaaa siinnn. Wal qur'anil hakiim. Innakalaminal mursaliinn. 'ala shirothimm mustaqiimm ...."
Dim seketika tersadarkan. Dirinya tidak bisa mengaji, dirinya tidak bisa membaca. Dim melihat pusara Yan. Dim sama sekali tidak pernah mengaji untuk Yan, tidak pernah mengirimkannya al-Fatihah. Bukankah dulu sempat Mbah Anum menjelaskan perihal mengaji dan mengirimkan bacaan al-Fatihah pada orang yang telah meninggal dunia. Kenapa Dim bisa lupa dan malah sibuk bercerita hal-hal yang tidak penting di makam Yan setiap minggunya.
"Wa maa ta'-tiihim min aayatim min aayaati robbihim illaa kaanuu 'an-haa mu'ridhiin ...."
Dim terus memperhatikan kakek itu, sepertinya dia mengaji di makam istrinya. Dim sudah tidak berselera lagi untuk memakan bolu yang dia bawa. Dim mulai merangkai sesuatu di otaknya. Dia tersadarkan jika tidak pernah mengaji, bahkan shalat pun tidak pernah. Kapan terakhir kali dia shalat dan mengaji? Mungkin saat masih di desa dulu. Dan itupun harus diteriaki neneknya terlebih dahulu untuk berangkat ke surau.
"Shodaqollahu maulanal 'adhiimm ...."
Kakek itu selesai membaca Yasin-nya. Lalu tangannya menengadah, mulutnya melantunkan al-Fatihah dengan suara yang pelan. Nyaris tidak terdengar. Tidak lupa juga membersihkan makam istrinya yang ditumbuhi rumput-rumput liar, dan mengeluarkan beberapa bunga melati dari saku bajunya. Menaburkan di atas makan istrinya. Kemudian berdiri untuk pulang. Kakek itu tersenyum sambil sedikit membungkukkan badannya saat lewat di samping Dim. Dim ikut tersenyum untuk menghormati.
Sepulang dari makam Yan sore tadi, Dim memikirkan sesuatu perihal dirinya yang tidak bisa mengaji. Semalaman Dim uring-uringan di atas dipan kontrakannya memikirkan hal itu. Apa yang harus dia lakukan. Dim baru tertidur setelah menjelang adzan suruh, lalu terbangun lagi karena suara kokok ayam milik tetangga kontrakannya.
***
"Assalamualaikum."
"Waalaikum salam." Terdengar sahutan dari dalam rumah yang didatangi.
"Dim, benar itu kamu, Nak?" Perempuan tua dengan wajah yang sudah berkerut dimana-mana dan senyumannya yang meneduhkan terkaget-kaget melihat Dim berdiri di teras rumahnya. Itu Mbah Hesa, istrinya Mbah Anum yang merupakan guru mengaji Dim waktu kecil. Orang yang begitu telaten mengajari Dim mengaji setelah kecelakaan jatuh dari mohon mangga itu.
Tadi pagi setelah bangun dari tidur ya hanya sebentar dan tidak nyenyak itu, Dim memutuskan untuk belajar mengajar. Kemana dan pada siapa dia akan belajar mengaji? Maka yang pertama terlintas di pikirannya adalah Mbah Anum guru mengajinya di desa. Jadilah Dim segera mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke desanya menemui Mbah Anum.
"Apa kabarmu, Nak"
Mbah Anum bertanya seraya tersenyum ramah. Dim menjawab kabarnya baik-baik saja. Setelah basa-basi pembuka dari Mbah Anum yang menanyakan kabar, Mbah Hesa datang dengan membawa sajian dan segelas teh hangat.
Mbah Hesa mempersilahkan. Dim tak kunjung meminumnya. Dim berpikir kelas bagaimana caranya dia menyampaikan maksud dan tujuannya kemari.
"Ayo diminum, Dim," ucap Mbah Anum.
Dim akhirnya menyeruput teh di atas meja.
"Mbah tahu, Nak. Kamu bukan orang yang suka berbasa-basi. Dan kamu pasti ada maksud dan tujuan tiba-tiba datang ke sini. Ada apa, Nak? Mbah Anum bertanya lembut.
Dim terlihat ragu-ragu sambil meremas jemarinya. Bingung harus memulai dengan kalimat apa maksud dan tujuannya ke sini.
"Jangan ragu, Nak. Utarakan saja. Jika Mbah bisa membantu, insyaallah akan Mbah bantu sebisa, Mbah."
"Saya ingin belajar mengaji." Dengan susah payah akhirnya perkataan itu keluar juga dari mulai Dim.
"Saya ingin belajar mengaji pada, Mbah." Dim mengulang perkataannya.
"Hanya itu saja, Nak? Mbah Anum bertanya.
"Tidak perlu ragu, Nak. Jika maksud dan tujuanmu baik datang ke sini. Mbah justru senang sekali mendengar kamu ingin belajar mengaji. Maka dengan senang hati Mbah akan mengarimu."
Ternyata Mbah Anum tersenyum ramah mendengar keinginan Dim yang akan belajar mengaji.
"Kalau boleh tahu, apa yang membuat hatimu terbuka untuk belajar mengaji, Nak?" Mbah Anum bertanya lagi.
Dim akhirnya mengutarakan kenapa dia ingin belajar mengaji. Dia ingin bisa mengaji untuk Yan. Dim ingin membacakan Yasin dan al-Fatihah di makam Yan seperti yang dilakukan kakek-kakek di sore itu di depan makam istrinya. Dim sadar dia bodoh sekali soal agama.
"Mari, Nak. Kita mulai pelajaran mengajimu selepas Maghrib nanti.".
Dim begitu bahagia mendengar Mbah Anum mau mengajarinya. Matanya berkaca-kaca.
"Yan, aku ingin membacakan ayat-ayat suci itu di depan makammu saat aku sudah lancar membacanya nanti," kata Dim dalam hatinya.
"Ayo, Dim. Dimakan kue lapisnya. Itu buatan Mbah sendiri." Mbah Hesa kembali mempersilahkan Dim.
***
"Bismirobbikalladzi-kholaq ...."
"Wakholaqnakum."
"Wathurisinin ...."
Sayup-sayup dari ruang tengah rumah Mbah Anum terdengar suara Dim yang masih patah-patah susah-susah payah melafalkan bacaan Al-Qur'an. Mbah Anum telaten sekali mengajari Dim.
"Salah, Dim. Coba dengarkan bacaan Mbah dulu, baru kamu mengikuti," ucap mbak Anum. Dan Dim hanya mengangguk penurut.
"Izaa zulzilatil-ardhu zilzaalahaa ...."
Dim mengulang bacaan yang sama dengan pelan-pelan.
Belajar mengaji ini dilakukan setiap hari selama sebulan penuh selepas shalat Maghrib. Dim bahkan bolak-balik dari kota ke desanya hanya untuk belajar mengaji pada Mbah Anum. Dan selama sebulan pula Dim tidak berkunjung pada makam Yan.
"Kenapa susah sekali kalimat yang ini, Mbah." Dim menggerutu. Dia sudah mengulang lima kali untuk salah satu potongan ayat di surat-surat pendek, namun gak kunjung bisa. Ini adalah di hari ke ketujuh sejak Dim belajar mengaji, tapi mengelusnya sudah berkali-kali.
"Sabarlah, ayo diulang lagi. Pasti bisa."
Dim selalu ingin menyerah jika dia tak kunjung bisa melafalkan bacaan dengan benar. Tapi lagi-lagi dia ingat, tujuannya belajar. Mungkin sedikit keliru jika mengaji hanya untuk Yan, tapi di sisi lain Dim juga ingin bisa seperti yang lain yang bisa mengaji. Dulu dia berhenti mengaji karena masalah di otaknya semenjak jatuh dari pohon mangga yang membuatnya kesusahan dalam membaca dan menulis. Tapi lambat laun, hal itu bisa diatasi meski tidak sepenuhnya bisa.
Hari demi hari berlalu dengan cepat. Pelajaran mengaji Dim ada kemajuan. Meski masih belum lancar sepenuhnya, setidaknya dim bisa membaca surat al-Fatihah sendiri.
"Ihdinash-shiroothol-mustaqiim ...."
"Shiroothollaziina an'amta 'alaihim ghoiril-maghdhuubi 'alaihim wa ladh-dhooolliin. Amiinn ...."
"Bagus, Dim." Mbah Anum tersenyum mendengarnya Dim bisa menyelesaikan bacaannya. Begitu juga dengan Dim. Dia puas sekali meski baru bisa membaca surat al-Fatihah dan surat-surat pendek lainnya.
"Kembangkan keinginanmu, Nak. Mbah hanya bisa membantumu sampai kamu bisa, selebihnya semuanya tergantung pada niat yang kamu tanamkan dalam hatimu. Karena niat itulah yang membuatmu bersemangat melakukan dan mencapai apa yang kamu inginkan." Mbah Anum menepuk pelan bahu Dim.
Terdengar suara adzan berkumandang dari surau dengan rumah Mbah Anum. Mbah Anum menyuruh Dim menyudahi mengajinya. Setelahnya mereka shalat berjamaah bersama di rumah. Sisa malam itu kemudian ditutup dengan perbincangan santai antara Mbah Anum dan Dim di teras rumah sambil menyeruput kopi panas buatan Mbah Hesa.
Tekad yang dimiliki Dim untuk belajar mengaji sangat besar. Peningkatan Dim juga sangat pesat. Hasil belajarnya membuahkan hasil. Hingga akhirnya Mbah Anum menyatakan Dim sudah lancar mengaji.
Mbah Anum berpesan, "Ingat, Nak. Jangan pernah lupakan apa yang telah Mbah ajarkan pada kamu. Teruslah dibaca-baca dan diulang-ulang. Sama halnya seperti pisau jika tidak diasah, maka ia akan berkarat dan tidak tajam. Begitu juga dengan pikiran, jika tidak diasah maka akan tumpul dan lamban. Kiranya seperti itu, Nak.
***
"Bawa bekal ini, Dim." Mbah Hesa sibuk menyiapkan bekal untuk Dim kembali ke kota.
Dim akan berangkat pagi ini ke kota.
"Tidak perlu banyak-banyak, Mbah. Biar nanti saya beli sendiri di sana." Dim tidak enak, Mbah Hesa dan Mbah Anum baik sekali padanya selama tinggal di rumah mereka. Dim memang tidak pulang ke rumah neneknya meksipun jaraknya tidaklah jauh. Lagipula Dim tidak ada kepentingan dengan rumah itu apalagi orang-orang yang tinggal di rumah neneknya itu. Dim memutuskan tinggal di rumah Mbah Anum dan Mbah Hesa.
Barang-barang yang akan dibawa Dim sudah di masukkan kedalam tas. Dim kemudian berpamitan pada Mbah Anum dan Mbah Hesa.
Sekembalinya Dim ke kota, dia kembali ke rutinitas semula, bekerja di pabrik rokok. Dan jangan lupakan satu rutinitas lagi, mengunjungi makam Yan setiap hari Minggu sore.
"Hai, Yan." Dim tersenyum saat baru menginjak kakinya di pemakaman tempat makam Yan berada.
"Maaf, Yan. Aku baru bisa mengunjungimu lagi. Bukan aku lupa. Tapi aku kesibukan yang mengharuskan aku tidak berkunjung ke sini." Dim mulai duduk di samping makam Yan membiarkan celananya terkena tanah pemakaman yang berwarna merah.
Dim mengambil sesuatu di dalam tas punggungnya. Sebuah Qur'an kecil. Dim mulai membukanya. Membaca isinya.
"Alhamdulillahi robbil 'alaminn ...."
"Ar-rohmanir rohiimm ...."
"Maaliki yaumiddinn ...."
Terdengar suara lantunan surat al-Fatihah yang dibaca Dim. Begitu hidmat di langit sore yang mulai menjingga.
Setelah selesai membaca suara al-Fatihah, Dim beralih membaca surat Yasin. Bacaannya terdengar mantap. Bacaannya tidak ada yang salah. Dibaca dengan perlahan kalimat demi kalimat.
"Shodaqollahu maulanal 'adhiimm ...."
Dim mengakhiri mengajinya. Setelahnya masih berdiam diri. Menatap lekat makam dengan batu nisan bertuliskan Yanti Andiyani.
"Kau tahu, aku sekarang sudah bisa mengaji, Yan. Iya, aku bisa mengaji." Dim tersenyum getir.
"Aku belajar mengaji pada Mbah Anum. Itu Yan yang membuatku sebulan terakhir tidak bisa berkunjung. Aku merasa bodoh sekali tidak bisa mengaji Yan, tidak bisa mengirimkanmu doa. Aku merasa tidak berguna."
"Aku belajar mengaji. Susah sekali Yan untuk bisa melafalkannya dengan benar. Kau tahu sendiri aku seperti apa 'kan. Tapi lihatlah, Yan. Pada akhirnya aku bisa mengaji." Dim mengusap batu nisan Yan.
Dim tertunduk. Hatinya begitu tersayat. Wajah Yan yang tengah tersenyum terpampang jelas dalam ingatannya.
"Boleh aku mencintaimu, Yan." Dim tertunduk dalam.
"Meski ...., Tuhan malah lebih menyayangimu. Kau tidak diizinkan bersanding dengan laki-laki sepertiku," lanjutnya. Mata Dim mulai berair, namun buru-buru dihapusnya.
"Aku kali ini melepasmu dengan ikhlas, Yan. Tenanglah dan berbahagialah di sana." Dim tersenyum.
"Aku pulang." Dim mulai berdiri mengambil tas punggungnya lalu melangkahkan kakinya keluar dari are pemakaman.
Langit di atas sana semakin menjingga seiring dengan hilangnya tubuh Dim di simpang jalan. Burung-burung beterbangan di antara awan-awan yang juga menjingga. Sungguh tampak seperti lukisan seniman yang begitu indah. Nikmat mana lagi yang kau dustakan.
Berakhirlah kisah dua anak manusia yang akhirnya dilepas dengan ikhlas dan menerima semua perjalanan hidup yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Kuasa dan dipenuhi dengan jatuh bangunnya sebuah perjuangan untuk menuju hakikat hidup yang sebenarnya.
Ditulis di Sumenep, 15 Juli - 11 Agustus 2023. Ditulis Lagi di Pamekasan, 05 September dan Ditamatkan di Pamekasan, 08 September 2023
Komentar
Posting Komentar