Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2022

PUISI "AKU HANYA TIDAK MAU", Oleh: Erka Ray

 Membuat matamu menangis Aku bukan tidak mampu,  Tapi tidak mau Membuatmu bersedih, Aku bukan tidak mampu, Tapi lagi-lagi tidak mau Untuk membuatmu tertunduk Aku bukan tidak bisa Tapi tidak kuasa hatiku melakukannya Aku selalu bisa Meski kamu menuduhku tidak mampu Tidak bisa memainkan peran dalam cerita Aku bisa membuatmu mengira  Desember mati hanya untuk menyatakan cinta Aku bisa membuat Januari bahkan Februari menunduk selamanya Bukan tidak bisa,  Lagi-lagi tokoh aku yang memang tidak memiliki sifat tega Aku bisa menjadikan April, mei, Juni Untuk merangkai bunga padamu saja Aku hanya tidak mau, Jika langit benar-benar menyaksikanku menjadi tokoh yang kehilangan rasa Aku juga tidak mau genangan tepa rumah terisi penuh lagi Padahal kecupan manis pada tanah yang basah  Bisa membuatku menjadikanmu tempat pulang saat gundah Sumenep, 01 Januari 2023

PUISI "INGIN BERSAMAMU DALAM CERITA BARU", Oleh: Erka Ray

 Matahari bersujud subuh tadi  "Aku ingin berlari memelukmu," katanya  Sajadah-sajadah bertasbih menghapus air matanya  Embun pagi luruh dari rambutmu Berucap syukur berkali-kali Rerumputan masih khidmat memujamu Dia tidak ingin berpikiran macam-macam Cukup memelukmu pagi ini, katanya Dari speaker yang menggema  Membuat tersipu tasbihku  Berbaring lama di pangkuanku "Aku ingin hidup denganmu," ucapnya lirih Pagi ini selembar buku baru mulai dibeli  Pena-pena dipertunjukkan pada mukamu  "Aku kan membuat mentari bersujud lagi esoknya," tukasmu Janji-janji kota yang sibuk juga mulai terarah pada satu tujuan Menemukanmu Untuk menjadi tempatnya pulang Senyum-senyum mulai muncul dari wajahmu Sumenep, 01 Januari 2023

PUISI "AKU SENGAJA MENCERITAKAN JANUARI", Oleh: Erka Ray

 Selamat datang Perihal puisi terus ku sajikan Aku pernah dengan sengaja menulis tentangmu beberapa kali "Sengaja,"  Aku menceritakan bunga-bunga berwana yang cemburu menatap kehadiranmu Aku bercerita, Bahwaku aku ingin berlari merengkuhmu Aku dengan sengaja  Menjadikanmu objeknya Berita sampai mulutku kebas  Aku ditanyakan kapan berhenti "Apa aku terlihat akan melepaskan?" aku bertanya balik Aku dengan sengajak sibuk membicarakanmu Pipi merona saat kusujudi bersama bunga-bunga di pelataran rumahmu Januari Selamat datang Pagi ini aku dengan sengaja membuat puisi basi Dengan sengaja memetik bunga saat akan memulai perjalanan Untuk sebuh keseriusan yang ingin aku berikan Aku dengan sengaja lagi kali ini  Sumenep, 01 Januari 2023

PUISI "LANGGAR BERLAPIS HUJAN", Oleh: Erka Ray

Suara lafadz-lapadz suci menggerus pendengaran makin dalam Bercumbu dengan bibir yang disanjung  Langgar-langgar kayu memulai keteduhan Anak-anak datang mengaitkan jiwa-jiwa tanpa dosa di anyaman bambu Angin terdiam mendengarkan mulut melapalkan  Menggoda langit untuk menangis Pada akhirnya hujan lah yang tiba Speaker di atap genting becadu nyaring pada telingaku Dari kejauhan kabut datang ingin mencari muka  Sandal-sandal hanyut di bawah langgar panggung  Berkata pada air, jangan sampai tubuhku yang hilang Sudah menggigil iqra' di sudut langgar Tawanya ikut mengintip disela-sela anyaman  Jiwa-jiwa tenang masih dengan kopyah kecil  dan mukena motif  Hujan masih tetap angkuh di atas sana Tatapan terus berbinar Seolah ini bukan masalah  Selepas isya datang Cinta langit masih berpadu dengan hujan Masih ditunggu dengan lampu gantung yang sudah menari Sumenep, 30 Desember 2022

PUISI "TUBUHMU YANG BERMALAM", Oleh: Erka Ray

Aku menemukan senyumanmu di sudut Mushalla  Dengan mata redup dan bibir yang berkedut  Aku diam memposisikan diri sebagai malam  Untuk kau jadikan tempat pulang makam ini Aku benar-benar lugu Wajahmu bergaris dilapisi sendu Punggung yang reot tertumpuk malam  Aku mandikan dengan air mataku Aku lupa pergi kepasar untuk sajadah baru  Aku sibuk menatapmu berpunggung senja kali ini  Lalu dipermainkan beberapa kali deh bibir malam  Hingga tubuhmu mengaduh sakit pada dipan-dipan  Dengan hamparannya yang terasa malas  Ingin kuseduhkan cahaya malam di cawan-cawan plastik Bekas bibimu yang tersimpan kemanisan Background malam kembali dirajuti mimpi  Dengan bunga-bunga di pipimu Aku ingin dipeluk malam ini olehmu  Tidak ingin menunggu Pagi yang akan menjemput tubuhmu mengais rezeki  Malam ini biarkan tubuhmu bersih Sumenep, 30 Desember 2022

PUISI "PERMAINAN HUJAN YANG TAK BERHENTI", Oleh: Erka Ray

 Setelah aku duduk bersila di teras rumah Akunkira hujan akan cukup berbaik hati Meski cuma ucapannya saja yang datang Tapi, aku hanya berteman puisi Aku kira saat tandas isi cangkirku Genting di atasku berbaik hati untuk diam Tidak lagi mengaduh soal perlakuan hujan Aku diam masih dengan duduk yang sama Perihal depan muka yang hanya tersuguhi hujan Yang pelan-pelan sudah membuat rumahku kedinginan Tidak ada perasaan iba Masih tetap berjanji untuk berhenti Bisa berhenti sejenak hujan ini Mataku berair panjang di kelopaknya Sudah beberapa kali diusap Tetap saja terurai mengalahkan doa-doa selepas Maghrib Aku masih duduk dengan permainan hujan Atap rumah masih dengan gerutunya yang sama Dinding rumahku juga masih dengan rutukannya yang sama Hujan ini senang sekali mempermainkan Sumenep, 30 Desember 2022

PUISI "PAGI MEMULAI PERAN", Oleh: Erka Ray

 Cangkul-cangkul sudah mulai bekerja Selepas subuh tadi, Tubuh renta kembali terjaga Lama mendekap bibir langit Belum terdengar suara orkestra burung Tubuh itu telah merayap pada badan padi yang menghijau Secercah harap, berukuran panjang sepanjang jalan yang bebatuan Saat mentari membawa semangkuk janji Tubuh renta sudah hafal kakinya harus di mana Seteko air membuat cemburu tanaman saat diteguk Pada nampan-nampan, Ada bayangan asap mengepul sambil tersenyum Udara lagi sedikit resah wajahnya Badan padi yang menua, terlihat santai menunggu kuning Lalu berserah diri untuk mengakhiri usianya yang sudah matang Dapur-dapur yang terlihat Kumal Mulai mengepul dibalik senyum Mulai merayap pada langit, Lihat, semangkuk sup sudah menjahili hidung dengan sengaja Lalu turun ke perut-perut rata Duduk di teras depan angin yang permisi pamit Saatnya figur lagi memulai peran yang eksotis Sumenep, 30 Desember 2022

PUISI "TUBUH YANG BERHARAP MATI", Oleh: Erka Ray

 Hujan yang kukira mati Ternyata berpindah rumah pada matamu Tubuh terbujur kaku, Lidah kelu menyebut namamu Meminta pertanggung jawaban, aku mati terlentang di matamu  Aku yang mengira tubuh ini telah dijamah lidahmu Ternyata Puisimu yang suka rela ada di sana Tangan-tangan meski masih menyabotase tangis Namun rela terluka demi mengecup umur yang tua Aku masih meninabobokkan hujan yang mati di matamu Masih bercerita panjang Mulutku berbusa meneguk puisimu Aku berlutut,  Jika aku mati, biarkan tubuh ini membusuk di puisimu Meski aku tahu, hujan telah mendominasi semuanya semaunya Aku siapa yang berharap dipeluk dingin dan dihangatkan panas  Yang berpindah pada matamu Aku tertunduk dalam, Sudah mati mendekam  Sumenep, 29 Desember 2022

PUISI "ADA UNTUK MEMBENARKAN", Oleh: Erka Ray

 Jika cara dudukku yang salah Maka betulkan cara dudukku bukan kursinya Jika cara makanku yang salah  Bukan piringnya yang kau tegur Tapi tanganku yang kau betulkan Jika cara aku tidur salah Bukan tempat tidurku yang kau ganti Tapi beri tahu aku bagaimana caranya memperbaiki Kamu salah memberi tahu Tegur aku saat aku bat salah Peringati aku, jika kakiku telah beda arah Ada tanganku yang sampai saat ini mencari pegangan Yang kau tuduh mati kayu yang kujadikan tuntunan Beri tahu aku Saat kanan kiri bukan lagi pandanganku yang berentet rapi  Tapi Kamu sering meninggalkanku Aku sendiri saat dudukku salah Aku tengah makan sendiri saat cara makanka kau pandang keliru Seharusnya kau ada membetulkan piring dan Kursiku yang kau tuduh mati Sumenep 29 Desember 20,20

PUISI "SAJAK INI KELELAHAN", Oleh: Erka Ray

 Sajak ini meneduh di depan rumahmu Berharap tubuhnya semakin panjang Pengharapan-pengharapan bertengger di dekat bibir sajakku Sajak ini terus menepi  Jalan di depannya mulai tidak baik lagi  Sajak-sajak ini kecil di tanganku  Cukup berani untuk menyatakan kisahnya sudah berhenti Sajak ini tawar saat kucicipi Tidak baik lagi butuhnya ternodai Sajak ini kehilangan jalannya  Kehilangan sepatunya Masih berjalan menuju rumahku  Masih berharap sampai di depan pintu Dia berteduh akhirnya dengan makna yang serabutan Dia berteriak kalap, Mejaku kosong dimaki-maki Sajak ini mundur lagi kakinya Sepatunya salah mencari pasangan Dia tertidur akhirnya Pelarian terakhir saat dunia tak mau mengalah padanya Sumenep, 29 Desember 2022

PUISI "KAMAR INI TIDAK NYAMAN", Oleh: Erka Ray

 Malam ini aku tidak mau kalah Kamar yang pengap  Kaca yang mengoceh tubuhnya berdebu kasar Dan kipas angin yang mulai lelah dengan pekerjaannya Lampu kamar mati, Malah derik serangga yang menguasai Telinga tertuang timah, Diam melemah Sudah tidak sehat kamarku hari ini Saat selimut memaki tubuhnya kotor Dia menuntut bersih yang harus suci Sarung bantal yang sudah muak dengan sikapku setiap malam Gorden yang awalnya putih, Kini senyumnya abu-abu Masih mampukah jika langit-langit kamar malah dilangitkan Tempat berkapak yang dari keramik bercorak  Mulai minder dengan yang polos Mereka bertengkar untuk kemauannya masing-masing Aku yang terdiam Memeluk tubuh sendiri, Masih bisa membujuk Supaya bantal-bantal malam ini mau kujadikan peraduan saat diselingkuhi sepi Aku cuma berharap bisa berbaring tenang Sumenep, 27 Desember 2022

PUISI "KITA YANG DUDUK BERDUA", Oleh: Erka Ray

 Aku didatangi olehmu beberapa kali Saat bibir langit mulai mengatup Awan-awan kecil berusaha lewat  Dan burung-burung hendak pamit  Aku didatangi lagi Saat suara azan di masjid ingin bersilaturahmi dengan sajadahku Suara anak mengaji di surau-surau dengan mukena dan sarung yang kedodoran Disapa olehmu beberapa pekan lalu Aku langsung merajut doa selepas matahari tertidur Malam yang rindang Angin yang tetap dingin sikapnya Anak-anak jahil saat disapa  Angin diam saat tawa-tawa mengungkung langit  Tangan-tangan melambai pada wajah Teduh saat awan-awan kecil kembali datang dari mulut langit Aku datang duduk berdua denganmu Dengan angin yang meringkuk pada gelas-gelas kaca Kita malah melamun, Diam berbelit dengan perkataan sendiri Sumenep, 27 Desember 2022

PUISI "AKU LEWAT DENGAN PERASAAN", Oleh: Erka Ray

 Tidakkah kau ingin melihatku hari ini Saat aku pulang melewati pekarangan rumahmu Aku sengaja berkompromi untuk pelan-pelan melangkahkan kaki Di antara kerinduan sore, Yang aku harapkan hanya kita yang duduk berdua dengan pikiran yang saling melamar Kemudian diselingi lidah yang kuat memaksa mengecap manisnya sore Aku lewat di pekarangan rumahmu untuk bergurau Bertanya apa hari ini masakanmu tersaji di meja makan Sedangkan dalam hari riuh gemuruh hasrat tak bisa lagi diundurkan Tetap ingin tau,  Apa mejamu benar-benar penuh hari ini Aku lewat depan rindu hari ini Rumput di depan pintumu ternyata sudah terpangkas Entah berbentuk apa, Tapi bentuk samar senyummulah yang paling kentara Aku izin lewat, Pagar rumahmu ternyata setinggi mataku yang terhalang Catnya juga pekat  Sumenep, 26 Desember 2022

PUISI "AKU PEMBUNUH", Oleh: Erka Ray

 Aku hampir menjadi seorang pembunuh di lautan Aku hampir mendendam di raut muka ini Aku hampir memaki lantang tentang ombak yang keras hati Aku hampir tidak lagi melihat karang-karang itu berbaikan Tetap tetap dengan mulutnya yang penuh dengan buih Membuatnya tidak bisa kusebut baik Aku hampir membunuh Membelah air yang kusebut tidak menguntungkan perahuku Dinding langit mulai terkesiap tidak siap Mulai luluh lantak berkepanjangan dengan badan ombak yang tegap Aku pembunuh kenyatannya Saat butuhku dipasung paksa Badan lautan siap menangkap tubuhku yang penuh dusta Aku luruh mulai dimandikan paksa Aku membunuh tangan lautan yang perkasa Aku diam, Tubuh ini najis saat kupaksa tunduk Berkaki besi tapi tak berdiri Sumenep, 26 Desember 2022

PUISI "PENYAIR MISKIN", Oleh: Erka Ray

 Aku akan tetap meminta maaf lewat puisi-puisiku  Akan tetap menjadi penyair miskin yang miskin hurufnya  Penyair yang kehausa aksaranya Aku akan tetep menangis di puisi ini Dengan lantang tanpa malu lagi  Meski, tetap tidak cukup permintaanku pada kalimat-kalimat yang gagal kusempurnakan Aku penyair yang miskin di muka Dengan sederet baret di lengan-lengan puisinya Aku menyesal, di bair terakhir aku lupa menyebut muasalmu Kalimatku panjang tak pernah pendek Aku masih miskin hari ini untuk mengangkat tangan kada rambutmu Aku juga miskin pada cerita pendek yang jarang-jarang kutulis di mulutmu Penyair ini gusar wajahnya di bawah kaki langit  Melihat huruf di kalimatnya yang juga turut menyesal dalam Miskin di puisiku, Aku mulai kewalahan  Sumenep, 26 Desember 2022

PUISI "AKU TERKUBUR DI LIDAHMU", Oleh: Erka Ray

 Aku terkubur di kalimat belakangmu Yang membuatku harus bertengkar hebat dengan mautku Aku yang tidak ingin merenggang nyawa Justru terkubur di kalimat yang mengganggu telinga Aku dikafani di lidahmu Saat riuh burung malah menjadi orkestra yang terdengar riang Aku terbalut kesusahan saat hendak meminta rantang kosong  Sekedar ingin diisi dengan lidahku yang malang Aku akhirnya bernisan  Saat bunga-bunga ada di kaki dengan penuh pertanyaan Aku telah terbalut tanah dengan pandanganmu  Aku merenggut kainku di ujung-ujung untuk menutup mataku yang lancang Aku masih menggadaikan nyawa Ingin terus bertarung dengan raga agar bisa menetralkan rasa Liujung lidahmu Aku terku malang sendiri saja Dengan kafan-kafan bertulis nyawa yang terbuang sia-sia Sumenep, 26 Desember 2022

PUISI "BERNAPASLAH DIA DI TANGAN YANG JAHAT", Oleh: Erka

Kertas di tanganku sedikit bernapas Tubuhnya Merasa rindu kali ini Meski beberapa kali guratan garis-garis kebiruan di tubuhnya menghalanginya Kadang, tanganku yang tidak tau diri meremas tubuhnya Mulutku yang tidak tau diri tidak meminta maaf Dan pikiranku yang lancang ingin menulis sesuatu Kisah singkat tentang sering kutanyakan Kenapa  Tetap terima kasih,  Aku membiarkan gelembung udara ini terisi rindumu Yang beberapa kali gagal menemukan bahu Tapi ada yang beberapa kali teriris Saat kertas-kertas yang coklat tubuhnya Menawarkan diri untuk ditulisi Lebih saat harus kubekap mulut agar tidak lagi bersendawa namamu Bernapaslah di tanganku Meski aku si miskin yang sedang menata isi kepala Sumenep, 26 Desember 2022

PUISI "AKU DAN KAMU YANG BERUSAHA", Oleh: Erka Ray

 Apa yang akan kau tanyakan pada hujan pada ini Apa perihal aku yang mulai tidak lagi berdiri Yang beberapa kali ini mulai mencari senyummu yang ada dibalik baju Ada yang romantis saat kau bertanya Hujan mengiyakan Beberapa kali tetap tegar di ujung kakimu Keromantisan ini juga ada saat aku membujuk kelopak bunga Untuk berbincang ringan dengan santai Aku tidak ingin kehilangan sensasi Saat awan tedung membisikan Bahwa aku masih jadi topiknya Masih menjadi pewarna bibirnya Meski mulut itu beberapa kali datang mengatakan bahwa dia tak ingin langit yang terlihat gusar Beberapa kata ini ingin terlihat mengesankan Meski dingin dirutuki karena memalukan Menyingkap senyummu di bajuku Yang sering kuselundupkan tanpa pamit terlebih dahulu Sumenep, 26 Desember 2022

PUISI "AKU TIDAK BENAR-BENAR PULANG", Oleh: Erka Ray

 Bisa aku pulang sekarang Saat langit sedang teduh matanya Saat tubuhnya sedang tenang di pangkuanku Boleh aku pamit pulang Hanya untuk menggelar lain panjang Di antara ramainya pikiran Yang akhir-akhir ini sering ribut saat aku kembali mencintaimu Boleh aku pulang dari dekapanmu Saat fajar datang dengan matanya yang sembab Masih bisa memenuhi janji di tangannya Bisa aku pulang Saat dua kali sujud harus kurengkuh erat Saat pakaian putihku telah ternodai semalaman Aku pulang sekarang Menyambutmu untuk bersalaman Tapi aku masih ragu Saat hadirmu terlalu singkat untuk diajak ke ujung langit yang tengah berkata baik-baik saja Aku pulang di sujud terakhir Yang sering kuperdebatkan dengan pikiran Aku yang kalah, Hanya menerima Pulangku tak benar-benar untuk memelukmu Sumenep, 25 Desember 2022

PUISI "PENYAIR KESUSAHAN", Oleh: Erka Ray

 Aku penyair yang sedang kehausan Beri aku gelas beserta airnya Jangan penuh Tenggorokanku sedang sakit untuk mengeluh Beri aku piring dengan makanannya Jangan penuh Gigiku telah banyak kehilangan Aku sedang kehausan Meminta untuk mengulur waktu Menengadah memohon hujan datang  Aku penyair yang kehilangan Tenggorokanku lama tidak disapa air Tadi, saat sedikit disentuh Air mata yang malah keluar Akhirnya terpenuhi kehausanku Tapi aku masih penyair yang kehausan itu Beberapa kali minum dengan gelas kaca Aku memelukai bibirku sendiri Kacanya pecah tidak disengaja Aku juga penyair yang kelaparan Piringku pernah diisi penuh kemarin Hari ini aku kelaparan lagi Mulutku tak karuan Perutnya menuntut kenyang  Sumenep, 24 Desember 2022

PUISI "DOAKU CACAT DI UJUNG JARI", Oleh: Erka Ray

 Ada riasan yang luntur pipiku Ada juga warna yang luntur di bajumu Ada tangan yang menengadah doanya bergemuruh lincah  Langit bersimpuh di pipiku Yang riasannya telah hilang Aku kehilangan beberapa perhiasan  Yang biasa kutanyakan kenapa hidupmu terdiam kala dihujani pujian  Padahal doa-doa egois ingin terus sampai ke tubuhmu Aku menangis hari ini Doaku cacat Badannya terluka Bibir lebam yang tak berdaya Masih terus menghantam langit saat ingin merebahkan diri di sampingku Tapi, ada sisi yang terus didukung untuk terus dikunjungi  Tuhan, tangan ini telah lama memegang dada Berbisik tentang esok yang juga terluka  Berbisik lirih tentang aku yang kehilangan banyak  Doaku cacat di ujung jari  Tanganku juga tinggi mendukung tubuh ini untuk memelukmu Sumenep, 24 Desember 2022

PUISI "BADAI DI PUISIKU", Oleh: Erka Ray

 Badai di puisiku Hurufnya kalang kabut mencari tangan Kalimatnya berhamburan mencari perdamaian Puisiku terkena badai Tidak tahu harus kemana  Badai tega tidak mengajak duduk berdua  Berdiskusi tentang saling melukai di meja makan Puisiku berhamburan lupa pulang Tidak nyaman tubuhnya berbaris bersama jutaan perasaan di kertas-kertas tebal Jangan renggut senyum di puisiku Meski duduk hanya menggulung pandangan Aku bersimpuh memohon Jangan badai di telinga puisiku Puisiku ingin tidur malam ini Puisi masih linglung mencari bantalnya Puisi berbasis bersama langit yang cemas Badai di puisiku masih setia Tidak berlari menjauh menjadikannya tebih bermakna  Puisi bernada lusuh  Yang bentuknya tidak tau apa Sumenep, 23 Desember 2022

PUISI "SEPUTAR KETULUSAN", Oleh: Erka Ray

 Jika ketulusan ada di bibir pantai Apa debur ombak masih tega sekali merenggut Jika ketulusan ada di jalan-jalan dengan rambu-rambu yang lengkap Apa mobil-mobil masih tega melindasnya Jika ketulusan ini ada lada langit Apa masih ingin di turunkan tahtanya oleh awan yang kan menangis Ketulusan ini karat di besi yang tak bisa dibersihkan Karat di tanganmu Dan masih bersujud di bibir langit untuk mengenangnya Ketulusan ini masih mendekap sajadah di tubuhnya Mulai dipahat doanya yang berbentuk abstrak Membuat pikiran tersesat Ketulusan ini larut dengan cangkir teh yang warnanya keruh  Tapi lidah malah enggan sekali memuja kemanisannya Masih bersujud di pertanyaan laut Tentang setulus apa ombak menyatakan perasaannya pada bibir pantai Semanis apa musiknya memikat orang-orang Yang duduk bersamanya saat mentari jengah Ketulusan ini bentuknya banyak Gedung di simpang empat masih tenang merenung Perihal cinta mentari pada kaca-kacanya Sumenep, 23 Desember 2022

PUISI "PERASAAN PAGI", Oleh: Erka Ray

 Selamat pagi Mungkin wajahmu masih berkeliaran di antara kepul asal dapur Mengganggu hidup  Tapi ada nikmat yang tak terkira di balik itu semua Tanganmu asap tebal di samping rumah Tempat orang-orang membakar sampah lagi hari Perbincangan hangat api dengan daun-daun kering itu, Ibarat sepatah kata yang kita perbincangkan kemarin Jika berkenan, Dinding dapurku hitam  Aku menempelkan perasaan-perasaan di sana Awalnya iseng saja Tapi semerbak kisah kita terkalahkan oleh aroma masakan di sana Sudah bertasbih banyak subuh tadi Berharap meski samping rumah bersih Tidak ada yang lagi yang iseng memberi sampah Membuat jengah Kepul asap mengitari matamu Tapi ini kopi Yang biasa ku ajak duduk di meja pagi-pagi Tidak kurenggut kesuciannya Tetap pahit saat harus mengungkapkan perasaan Sumenep, 23 Desember 2022

PUISI "AKU TIDAK BISA MENJADI APA-APA SAAT INI", Oleh: Erka Ray

 Aku sadar untuk bisa menjadi kalimat yang sering kau ucap Aku harus mampu menjadi dinding yang sering kau sandari Aku juga harus jadi kamarmu  Harus jadi selimutmu malam ini Aku harus jadi apa  Agar berulang kali kayu tidak akan menyesal telah menyerah tubuhnya pada rayap Aku harus jadi apa Akar yang mengikat pohon-pohon dengan harapannya Atau ranting yang harus berusaha tegar dengan usianya Aku bisa apa Jika aku pada akhirnya tidak bisa menjadi apa-apa Di matamu, Aku juga tidak bisa menjadi manik-manik yang akan kau tatap dengan takjub Biar kuselesaikan malam ini Meski kamarmu bukan aku Dan selimutmu bukan tubuhku Tak apa, Karena nyatanya aku tidak bisa menjadi apa-apa untuk saat ini Sumenep, 21 Desember 2022

PUISI "UCAPAN SINGKAT", Oleh: Erka Ray

 Singkat saja, Selamat tinggal kata senja di ujung bibirnya Selamat datang kata malam di bibirnya juga Selamat memeluk dingin,  Kata angin yang berisyarat dengan tubuhnya Selamat beristirahat, Kata bantal pada tubuhmu yang ada di sisinya Selamat pagi kata fajar,  Yang akhirnya suka rela menerimamu kembali padanya Dan selamat beraktivitas, Kata mentari yang lagi-lagi cemburu dengan janji-janji yang tertepati Kini Senja sudah melambangkan tangan Tapi janjinya, Sudah melilit di matamu untuk esok Malam sudah siap tampil Jubah panjangnya bercahaya dari tempias rembulan Dan angin Masih duduk di daun-daun Masih bermalas-malasan untuk menjenguk tubuhmu Setelah seharian merindu Masihkah perlu menjanji lagi padamu Senja sudah tak tampak lagi bibirnya Sumenep, 21 Desember 2022

PUISI "HUJAN DI RUMAH YANG TERLUKA", Oleh: Erka Ray

 Bibir-bibir merah menyala ditempel pada dinding rumah Atap mulai bocor Hujan menyeringai panjang di hari jatuhnya Menusuk diam-diam bersama angin yang menjelma pada ucapan Apakah harus berselimutkan dusta  Saat hanya tinta yang mewakili lidah kelu  Rumahku tak lagi berbicara Hanya berbisik perlahan pada tempat tidur yang memanjang Dulu, apa sudah sempat meminta maaf Hingga saat ini saat mendamba panas mentari Hujan turun deras dengan kisahnya yang perih di hari Mengatupkan tangan pada langit yang tidak lagi cerah wajahnya Saat menatap atap rumah yang bolong karena ulang kekasihnya Si hujan yang angkuh lewat di sana Kejahatan di rumahku, Saat yang lain rindu pintu terbuka  Mulut berkelit manja dengan ucapan yang apa adanya Sudahkah aku pulang saat hujan ini terus bercerita Sumenep, 21 Desember 2022

PUISI "APA PUISIKU HARI INI", Oleh: Erka Ray

 Ada yang bertanya padaku tadi, Apa puisiku hari ini Apa yang akan aku tangkai hari ini untuk hari Rabu Sebenarnya aku tak punya apapun, Selain jemari yang mulai menjelata di samping pulpen bertinta hitam Yang badannya akhir-akhir ini jarang kujamah Untuk sekedar mempertemukannya bibirnya dengan kertas Aku sering lupa Berpura-pura lebih sibuk dari daun yang tengah berusaha mengikhlaskan tubuhnya Sampai akhirnya, Tak kunjung ku ambil pulpen hitamku untuk bermesraan Padahal beberapa kali aku ditanya, Mengenai puisi yang kosong di linimasa Lalu, apa puisiku hari ini Jika aku sendiri tak menyentuh kekasih hati yang berbaring di atas kertas lusuh Selusuh muka ini yang berulangkali bingung tentang objeknya Masih ingin bertanya soal puisiku hari ini Ini adalah puisiku yang kosong butuhnya Tanpa ada lagi kertas yang disulam menjadi baju Yang sisi kanannya tergores lengan pulpen sendiri Sumenep, 21 Desember 2022

PUISI "PAGI DAN CERITANYA YANG SIBUK", Oleh: Erka Ray

 Percakapan pagi-pagi denganmu Raga kita ringan sekali duduk di antara kopi panas yang tersaji Meski agak manis di mulutku Juga agak manis di mulut pagi Kamu bilang,  Pagi ini tanganmu akan sibuk melawan kepul asap di dapur Bermain-main perasaan dengan wajan cekung Tidak mau mengalah pada spatula  Katanya, meskipun kompor menyala Kamu akan tetep tega memanaskan minyak goreng untuk kesenangan bersama Pagi ini, kamu bilang rumah-rumah akan sibuk Ada yang jendelanya tidak sempat tersenyum Ada juga yang kisi-kisi menggerutu tidak tertimpa cahaya Mentari bahkan bermalas-malasan di kisah ini saat muncul  Matanya yang enggan menanggapi Dan enggan diikutsertakan Pagi ini,  Kopi yang kau seduh Cukup kental di cangkir putih  Yang gulanya mulai menggerutu di lidah  Sumenep, 21 Desember 2022

PUISI "KISAH KECIL DARI MULUTMU", Oleh: Erka Ray

 Malam sepertigamu basah kemarin Saat aku yang hendak menabur beberapa bunga Sebagai wewangian kisah Langit roboh keangkuhannya di pangkuanmu Meski untuk paginya, Fajar pun kalah cepat dengan matamu untuk bangun Meski tubuh beberapa kali dipeluk angin Mulutmu tak pernah kasar merutukinya Aku tahu, Kata-kata ini hanya rongsokan saat kuucapkan Meski putih melati tidak bisa ditukar merahnya mawar Ataupun birunya langit Yang beberapa kali disakiti hujan Aku rindu dekapanmu, Bu Saat malam-malam yang dikungkung cerita Kancil dan Buaya Hingga mataku dulu menyerah Dan berjumpa dengan mimpi di satu jam kemudian Aku berpuisi untuk kerinduan Layaknya minuman anggur, Ini semua candu yang baru bagiku Bu, bisa kurehatkan sejenak dirimu di pundakku Biarkan aku yang memulai cerita kali ini Meski kancil dan Buaya yang ceritanya hanya itu-itu saja Sumenep, 20 Desember 2022

PUISI "TENTANG KAMU", Oleh: Erka Ray

 Siang ini aku disidang paksa soal perasaan yang tidak tahu malu Membenci layaknya api yang pada akhirnya menyatakan cinta lewat abu Tapi beberapa kali aku mendamba Kayaknya awan yang menjadi jelata di hadapan langit Matamu,  Aku tahu di sana ada perasaan yang tidak berkesudahan Ingin mengalahkan air saat mengalir Juga mengalahkan pipiku yang seringkali basah dengan penuntutan Di telinga, Saat aku bergibah mengenai kertas kosong yang jarang kutulis namamu Hingga doa jahatku yang tak ditemukan namamu juga Hingga untuk akhir kisah, Aku adalah awan yang tetap berusaha putih saat menangis Saat pagi hari, Bahkan matahari kalah pagi dari wajahmu  Menabur senyum pada hidangan ringan  Mengalahkan manis pada kopi  Yang ampasnya sering mengoceh benci pada kisah ini Ibu, Inti dari awan yang rendahan saat beradu dengan matamu Aku juga rendah dan tak layak di matamu Kado awan hari ini hanya hujan Meski setetes pun tak bisa lebih suci dari lidahmu Sumenep, 20 Desember 2022

PUISI "BU, AKU TIDAK SEKUAT DIRIMU", Oleh: Erka Ray

 Bu, jika kakimu lesu karenaku Apa bisa diganti dengan kakiku Jika pipimu basah Bisa kutukar mata ini sebagai penggantinya Jangan berlinang lama karena namaku yang lusuh Aku tidak punya tissue untuk menghapusnya Bu, Punggungmu mulai bungkuk karena permintaanku Apa punggungku bisa menyamaimu Tulang-tulang yang resah belakangan ini Linu-linu yang membuat lidahmu berkelit Ada aku yang mulai resah ingin bertanggungjawab Bu,  Aku tidak punya tangan yang lebar Tidak punya pundak yang kokoh untuk tidak lagi memaki diriku Sebab, berulangkali aku gagal menjadikan tubuh ini rumah Aku pun tak cukup mampu memotretmu dengan mataku Jika lagi-lagi matamu tidak bisa kuganti untuk menangis  Sumenep, 20 Desember 2022

PUISI "TEMPAT BERDIRI DENGAN KENANGAN",. Oleh: Erka Ray

 Kemarin aku terburu-buru menuju terminal Lupa membawa pena untuk menulismu di kursi-kursi tunggu yang sepi Lupa juga membisikkan namamu di ruko-ruko yang berjejer Kemarin terminal tempatku berdiri Tidak ada penyambutan untuk kenangan Pun, tidak ada seringaian ringan dari bising-bising Bus antar kota Yang sering kali kutatap cemburu kehadirannya Sebenarnya, aku menghubungimu di Terminal tadi Keadaan langit di sana langsung tidak baik-baik saja, Mereka bersemu merah  Menyertakan awan yang sibuk sekali bertanya-tanya Di terminal tempatku berdiri Apa harus aku ceritakan ulang Tentang keadaannya yang sepi saat aku menyapa 'Hai' padamu Padahal, bisa saja dia akan merecoki saat aku sumringah di balik layar handphone-ku Tempatku berdiri tadi, kenangannya mulai sesak di sana  Sumenep, 20 Desember 2022

PUISI "BASAH KUYUP KISAH INI", Oleh: Erka Ray

 Hari ini kertas di tas punggungku kebasahan Sisi kanannya robek tidak disengaja Berulang kali dibetulkan dengan permintaan maaf Sebab telah membuat hujan masuk untuk menyentuhnya Tas di punggungku juga basah Layu senyumnya saat pulang sekolah tadi Meski backsound tawa terus terdengar nyaring tanpa henti  Dari anak-anak yang tak berbeban sedang menanti hujan Hujan memberi janji untuk jatuh  Memberi janji untuk tidak mengaduh Hujan ingkar janji saa menangis tadi Meminta maaf dia tak sekuat yang dikira Seragam sekolah juga redup impiannya Hendak dipakai kembali esok harinya Namun janji mentari tidak datang  Sudah menunggu panas bercengkrama membuat kering saku-saku yang kebas kedinginan Lagi-lagi hanya hujan yang turun dengan janjinya yang kesekian Sumenep, 16 Desember 2022

PUISI "JUM'AT SIANG", Oleh: Erka Ray

 Langit membisikkan sesuatu pada rumah-rumah yang terdiam Kaca-kaca yang tertutup Tapi suara-suara lantang memanggil tubuh-tubuh yang berbaring Meski mendung di mata Kantuk yang tak bisa dibarter dengan apa Tempat tujuan mulai menarik diri untuk kembali Pakaian bersih berbicara lirih Aku hendak dipakai kemana, tanyanya Dipakaikan wewangian yang lagi-lagi merundung rindu Suara air terdengar tidak kalah nyaring mengguyur Segeralah, panggilan itu menggaet tanganmu Sandal-sandal beradu nasib dengan aspal Ingin diam, tapi dia harus mengantarkan pada tujuan Tempat bersih yang menenangkan Yang membuat dahi bercinta dengan karpet persegi panjang Suasana yang mulai khidmat, Memeluk diri semakin erat Sayangnya tubuh cepat-cepat pergi Rumah sepi didatangi lagi Sumenep, 16 Desember 2022

PUISI "HUJAN DATANG MENDINGINKAN", Oleh: Erka Ray

 Masihkah hujan memeluk bumi setelah pertengkaran malam tadi Apakah masih mendengar rintihan dinding yang memanggil kedinginan Perbincangan angin di bibirnya, Tidak membuat berkurang keramaian Hujan masih sering datang untuk menyapa 'Hai' Lalu jatuh di atap kamar yang menemani tidur Bising memanggil bantal-bantal untuk merapat Menggigil di tanganmu yang juga dingin Rumah-rumah menutup jendela Huja datang membasahi keinginan malam ini Untuk terus duduk di depan rumah Dengan secangkir teh yang sedang ribut dengan panasnya Hujan tadi malam  Membias embun di kaca-kaca jendela Kisi-kisi yang dingin menyapa kulit Teh yang dimasukkan ke dalam rumah Menutup bacaan Menutup pintu Selamat tinggal untuk malam ini Sumenep, 16 Desember 2022

PUISI "TIDAK ADA AKU DALAM DIRIMU", Oleh: Erka Ray

 Apakah sudah ada namaku di telinga temanmu Yang mulutnya tak henti membahas tentangku Yang perkataannya menanggapi aku Apa sudah ada aku di buku butuh yang sudah lama tak dibuka Yang warnanya tetap putih tapi berbau Apa sudah lelah penamu menulis kisahku Sembari ditemani pipi merona  Dan Camilan di samping kananmu Sudah ada aku di sela-sela keramaian suara mulutmu yang mengunyah Ternyata masih tidak ada aku Meski beberapa kali disinggung Aku angin yang kemudian pergi dari bibirmu yang sedang bercerita Aku tidak ada di bukumu yang bahkan sudah menguning Di kanan kirinya camilan itu bukan untuk menemanimu kisahku yang berulangkali kau ingat Aku tidak ada di doamu yang dipilin panjang Juga tidak ada di langit-langit kamar yang sibuk dengan terang lampu  Sumenep, 16 Desember 2022

PUISI "AKU TUNDUK", Oleh: Erka Ray

 Aku tunduk di kalimat akhirmu Perihal langit yang tak henti gundah Mempertaruhkan awan Membuat hitam mataku saat memelukmu Membuat kebas kalimat-kalimat pembuka Kalau hanya aku yang kau korbankan jadi alat tulis Pada akhirnya aku kembali pada kodratku menyakiti kertas untuk menulis namamu Apa aku yang meminta maaf Aku lagi-lagi tunduk menyuruhmu pulang Ada aku yang kehilangan tinta hitam Yang membuat mataku tak lagi bertuansa dua warna saat menyergap lewat pandang Aku tunduk kau korbankan pada matahari pagi Yang tak henti-hentinya membungkuk hormat Permisi anggun pada tanah tempatmu berpijak. Hati-hati saat menyentuh pipimu Yang tak bisa kulakukan hari ini Yang tak bisa kuangkat langkahmu untuk mendatangiku Pamekasan, 07 Desember 2022

PUISI "HUJAN TIDAK MERASA", Oleh: Erka Ray

 Langit yang melahirkannya Bumi yang menerima Langit menemaninya jatuh Tapi bumi yang ditemuinya Langit yang berulangkali menemani tidurnya Tapi tanah yang lagi-lagi dicemaskan kekeringannya Hujan tidak perlu menjadikanmu langit Cukup membuat wajahmu kelabu Langit tidak mengoceh panjang diucapkannya Hanya singkat Sesingkat awan yang dibenci mata Beberapa kali dipeluk, Hujan pergi Beberapa kali dicegah tangannya Dia menggandeng tangan yang lainnya Tidak sekalipun menoleh saat bersamanya Mata langit kelabu bersama awannya Hanya mendapatkan hitam Untuk meraih mendung berikutnya Pernahkah tidak meninggalkan Jika tunduk pada senjanya, Tetap tanah yang bertahta Ingin ditinggal, Tapi langit mengingat muasalnya memuja Memeluk, meski di lepas paksa Hujan jatuh di matamu pada akhirnya Pamekasan 8 Desember 2022

PUISI "ADA KACA DI LUKAMU", Oleh: Erka Ray

 Ada kaca di matamu Yang membuat air mata tertawa Ada duri di pipi Yang membuat air mata tidak permisi Ada kaca juga di tubuhmu Yang tak bisa membuatku memelukmu Perkataannya yang luntur di bibirmu Tak bisa kuambil satu persatu Tubuhmu layu, selayu sorakan semangatku Ada kaca yang tak meminta ampun Masih setia di beberapa kalimat pembuka Masih patuh di kakiku yang tak berhenti maju Meski sudah, Di depanku ada tembok yang merengsek Menyudutkan bibiku agar tidak mendustai perkataanmu Kaca di tanganmu, Tamparkan pada titik hitam di atas putih yang mengganggumu Akhir-akhir ini Meski awan dihujat Dimaki janji Didera lidah tak berduri Tetap duduk tubuhmu menunggu lelah berlunturan Di pipi yang bekasnya tak lagi nampak Pun di bibir, yang samar warnanya Ada kaca yang tak sabar Berbincang ringan dengan tangismu Pamekasan, 08 Desember 2022

PUISI "AKU MENGHORMATIMU", Oleh: Erka Ray

 Jika lampu jalan redup di matamu yang mulai runtuh Maka aku akan menjadi aspal jalan yang bersujud di cintamu yang kedinginan malam ini Jika kenyatannya rerumputan menyingkirkan menghormati kakimu Kenapa aku tidak bisa layu saat kau sentuh kelopakku Sebagai untaian perasaan yang jatuh di pipi Meski ditolak oleh mulutmu beberapa kali Jika kertas-kertas langsung putih karena namamu di sana Apa pena masih tega menulis kisah palsu untukmu Aku bahkan rela mematahkan bulan di matamu tempo lalu Bersujud di matamu yang melambai-lambai meminta pertolongan Di jalanan yang hanya ada lampu yang berusaha bersaing Ada kendaraan yang sibuk membuat suaramu terduakan Tapi aku berdiri di sampingmu dengan anggun Tidak banyak bicara demi merengkuh kebisingan di telingamu Sumenep, 15 Desember 2022