Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2023

PUISI "ANAK REMBULAN", Oleh: Erka Ray

Malam tadi bulat matamu tak seberapa  Rembulan di atas sedang tak ingin disaingi Dia bersinar  Pipimu ingin merenggut senyumnya?  Untuk apa? Kau jauh di bawah kaki langit Katanya, Seorang anak di bawah hujan merindukan rembulan Lain waktu dia di halaman sendirian Tunduk di kaki, Mengkal di hati Seorang anak menaiki atap rumah Menghibur diri untuk sebuah kesepian Pun katanya, ada seorang yang dewasa Duduk menjuntai di atas gedung tinggi Hanya diam tak merayu rembulan Membentuk rindu ibu yang paling dalam Hingga rembulan turun di matanya Dia masih sibuk bertanya dua ditambah dua sama dengan berapa  Bertemu si gadis di pinggiran kota Malam hari rembulan menjadi bajunya Suatu kisah rembulan mati di wajah-wajah lusuh penjudi ulung Malam panjang Baju bagus baru dibelikan tadi siang Menjemawa diri pada teman  Mulai memaki soal kebodohan yang bertubi-tubi Jauh tak setinggi rembulan Pintar menarik hati Pintar memikat hati Sumenep, 29 Desember 2023

PUISI "RINDU TERTAHAN", Oleh: Erka Ray

Langit putih  Langit mendung  Kasih murung wajahmu sayang  Muram merindu  Langit hitam  Konon hujan bernyanyi di keramaian Rindu tak henti dari di penjual Sibuk sana sibuk sini tak berpulang Langit rindu Langit bernostalgia Suasana tak penting menyelinap di pipi Kau menangis kasih Akulah sebabnya Sudah kubilang berteduh Langit sedang kejam di desa kita  Membuat tubuh mengurung diri di rumah Bapakku bahkan tak bertani hari ini Sekian Jumpa lah kita di bawah bohlam lampu kamar  Memeluk luka di selimut bergaris Konon katanya darah tak nampak kala pipimu merona  Aku yang pulang gak berpulang pun sama aja Di luar sedang hujan deras berkecamuk merebut cerita  Sampai membuatku tertahan di sini Sumenep, 29 Desember 2023

PUISI "LANGIT SUBUH DAN SEDIHNYA", Oleh: Erka Ray

Subuh tadi, Agaknya langit mengetuk kaca jendela dengan tidak hati-hati Bersulang di gelas-gelas kecil berisikan tuak Merenung di sepanjang malam yang damai Hingga subuh tadi, Langit mengetuk jendela memanggil nama Tuhan Berceritalah, Jika langit menangis saat masih remang-remang Membuat basah tanah dan genting-genting rumahku dan rumah tetangga Melarang mentari menyapa "Hai" pada pundak-pundak pengais rezeki Hingga subuh tadi Tangan menengadah meminta ampun di balik gerimis Meminta Tuhan turun pada selimut si kecil yang merengek  Pun aku yang mengemis pipiku kering Hingga tak kusangka jendela basah  Ketukan langit gak pamit dengan hati-hati Aku pun memilih merayu Tuhan dengan sedikit pasrah memasrahkan "Tuhan, di langitmu tak ada aku yang sedang meminta keringanan untuk dosa." Sumenep, 29 Desember 2023

PUISI "DI BALIK IBU - MUKENAHMU DAN AKU YANG LUSUH", Oleh: Erka Ray

DI BALIK IBU Bila kau lelah Bu Aku siap mengganti tanganmu saat subuh-subuh membuka jendela beserta gordennya Aku akan menggantikanmu menanak saat menjelang matahari meninggi Jika sandalmu putus Bu Mari kuberikan yang baru Tak kubiarkan rumah kanan kiri kita melihatmu tanpa alas kaki  Tanpa keanggunan dari baju-bajumu yang itu-itu saja  Bu, biar malam datang dan kau menghabiskan semangkuk mie sedap kesukaan Lalu perlahan merebahkan tubuh Aku tau tawamu menjerit saat pertengahan malam  Berusaha meninabobokan mimpi sendiri yang sering undur diri  Membekap mulut untuk tidak meminta kasih yang lebih  Hingga esok pagi Bu Kau tetep bangun mendahului aku Selimut tak kau iyakan ajakan meringkuknya Kau abai akan tulang-belulangmu yang meminta sandaran Pun bahu, yang kau sumbal dengan sepiring nasi selepas mencuci piring Sumenep, 22 Desember 2023 *** MUKENAHMU DAN AKU YANG LUSUH Mukenah lusuh kau pakai  Doa menjuntai di motif bungamu yang tanggung Senyum pudar, Wajah...

PUISI "SUKIT TERTIDUR", Oleh: Erka Ray

Angin ricuh menyapa pipi Rambutmu yang baru dipotong menyaingi Konon malam tadi matamu susah terpejam Angin sama-sama ricuh di atas atap rumahmu Bergemintang katanya, Membuatku uring-uringan menyaksikan keresahan diri Hendak tidur menyaingin langit malam yang telah basah pipinya sebab takut kehilanganmu Meringkuk di antara tubuh teman sekamar Merintih, Angin malam jahat sekali membuat alur  Kisah-kisah pengantar tidur yang tak kunjung membuat terpejam Hingga seperempat malam dilewati Mata masih menjelang bagian si penjajah malam Angin yang masih harap-harap cemas meminta ampun  Pipimu yang basah hendak menangis  Namun tak jadi, Malam terlanjur menular kemuning dengan langit timur Meminta kekasih hati sebelum tidur Sumenep, 21 Desember 2023

PUISI "PERADABAN MIMPI - GELAP HITAM MALAM - AKU SELALU ADA UNTUKMU", Oleh: Erka Ray

PERADABAN MIMPI Terjal kataku berbisik padamu Menyingsing, bersinggungan dengan angin Kala itu, Malam dengan sejuta lampu di kanan kiri tubuh kita  Kita meliuk, Mulai mengutus cinta kasih pada lampu hias di depan toko dengan pintu kacanya Berjejer mesra Kau dan aku telah jauh mengejar peradaban malam Suatu ketika di malam itu Tanganku erat memeluk mimpi yang baru saja dibeli  Tawa ditukar senyummu Kala waktu itu kita sempatkan duduk memotret potongan cerita yang baru saja dibeli dari Merk ternama  Sepanjang jalan, Peradaban malam mulai tertidur di belakang laju motormu Kita sempatkan lagi duduk sebentar Sekedar memaki mimpi yang tak seharusnya dibeli  Dengan warna birunya yang telah mengotori bibirmu dan aku Malam itu, Selesai kisah kita  Aku yang telah jatuh cinta Dan kau yang pula jauh cinta  Menarik malam di tanganku yang telah meringkar di perutmu Mengusir angin  Pulang saat mimpiku tandas di kantong plastik yang kita buang tadi Sedang mimpimu dipe...

CERPEN "TOGA UNTUK BAPAK", Oleh: Erka Ray

"Bapak, Hadi keterima di Universitas itu, Pak."  Aku berlari sambil berteriak menghampiri bapak yang sedang duduk di kursi teras. Di tanganku tergenggam erat surat hasil kelulusan. "Kamu serius?" ucap Bapak saat dia sudah membuka kertas itu. "Bapak bangga sama kamu Hadi. Kamu memang anak yang pintar dari dulu. Bapak yakin dengan melanjutkan pendidikanmu sampai sarjana nanti, kamu akan jadi orang yang sukses." Bapak tersenyum. Senyum yang tulus. Semenjak lulus SMA dua bulan yang lalu, Bapak memang sudah mewanti-wanti untuk aku melanjutkan pendidikan ke Universitas di kota kami. Aku beberapa kali menolak. Kami bukan dari keluarga yang berada. Biaya kuliah pasti mahal sekali. Apalagi aku tidak punya pekerjaan tetap. Hanya sesekali mengajar di madrasah sekolah sore dekat rumah. Itu pun digaji sedikit sekali, hanya cukup membeli beras 1 kilo. "Jangan pikirkan biaya, Hadi. Selama Bapak masih hidup, Bapak masih sanggup untuk membiayai pendid...

CERPEN "KITA HARUS BAHAGIA", Oleh: Erka Ray

"Kenapa kita harus mengakhiri hubungan ini, El," ucapku dua hari lalu saat bertemu dengan Ela.  Wajahnya sembab. Entahlah, dia tiba-tiba ingin memutuskan hubungan, padahal kita sudah menjalin hubungan ini dari awal masuk kuliah. Dan sekarang kita sudah menginjak semester akhir. "Aku hanya ingin memutuskan hubungan ini, aku rasa sudah cukup," ucapnya. Matanya menatap ke arah lain. "Kamu seperti ini pasti ada alasannya. Tidak mungkin kamu tiba-tiba memutuskan sepihak seperti ini tanpa ada alasan apapun."  Aku menghela napas. "Kita tidak sedang bertengkar, El. Kita baik-baik beberapa hari terakhir. Tapi kenapa?" Lagi-lagi aku bertanya pada Ela. Dia masih diam. Tidak menanggapi apapun. "Atau karena aku tidak kunjung menyatakan keseriusan?" Aku bertanya lagi. "Bukan karena itu, Ki," ucap Ela. "Lalu karena apa?" Aku menunggu jawabannya. "Aku akan dijodohkan. Bapak memohon untuk aku menerima perjodohan ini....

CERPEN "SELEPAS MAGHRIB (4)", Oleh: Erka Ray

Uang Kuliah (Bagian 4) Sore hari di salah satu desa yang ada di Kabupaten Sumenep. Kabupaten paling timur pulau Madura. Pulau Madura ini masih bagian dari Jawa Timur. Untuk sampai pada Pulau Madura kalian harus melewati jembatan Suramadu (Surabaya Madura). Jembatan Nasional Suramadu adalah jembatan yang melintasi Selat Madura, menghubungkan Pulau Jawa (di Surabaya) dan Pulau Madura (di Bangkalan, tepatnya timur Kamal), Indonesia. Dengan panjang 5.438 m. Jembatan ini diresmikan pada tahun 2009, dan jembatan ini merupakan jembatan terpanjang di Indonesia saat ini. Jika melihat sunset atau sunrise di jembatan Suramadu, dijamin indah sekali. Pemandangan yang ditawarkan tidak pernah main-main. Tidak jarang jika jembatan Suramadu itu bisa dibilang tempat yang romantis.  Kembali lagi pada suasana sore hari di desa Ahmad.  "Bagus hari ini tidak terlambat, mari berangkat," ucap Ahmad saat mereka berlima, Ahmad, Dika, Sulaiman, Lina dan Dinda sudah berkumpul untuk berangkat...

CERPEN "SELEPAS MAGHRIB (3)", Oleh: Erka Ray

Cahaya Setelah Subuh (Bagian 3) Pagi hari di rumah Ahmad. Mamak Yani sudah sibuk di dapur memasak nasi dan ikan pada tungku kayu. Kalau di Madura disebut Tomang, tempat untuk memasak yang terbuat dari tanah liat. Mungkin di daerah kalian sama saja namanya, atau malah beda nama. Tapi intinya tempat memasak. Mereka bukan tidak punya magic come, tapi Mamak Yani lebih suka memasak yang demikian. "Eh, Ahmad. Kau tidak mau bangun ya. Liat jam itu, sudah hampir jam enam. Mamak kan sudah bilang, jangan tidur lagi selepas subuh. Kau ini bebal sekali."  Mamak Yani terus mengoceh sambil melipat selimut di kamar Ahmad. Yang diomeli hanya mengeliat santai. Lalu duduk dengan mengerjap-ngerjapkan matanya. Sinar matahari pagi yang menembus lewat jendela kamar membuat mata silau. Tapi kalian harus tahu, nikmat apa yang Tuhan berikan pada pagi ini. Ya ini, matahari. Kadang aneh jadi manusia, diberi panas, malah minta hujan, minta mendung. Saat diberi hujan, malah minta panas.  Ahma...

CERPEN "SELEPAS MAGHRIB (2)", Oleh: Erka Ray

Menjenguk Orang Sakit (Bagian 2) Setelah berlari-lari di atas jalanan yang becek bekas hujan, dengan rumah-rumah penduduk yang sepi. Hujan-hujan begini orang-orang memang lebih suka berada di dalam rumah. Dengan TV menyala dan camilan setoples.  Mereka melewati lampu jalan yang lumayan redup, sepertinya sudah harus diganti. Kemana kepala desa ini kenapa sama sekali tidak mengontrol desanya. Lampu jalan dibiarkan begitu saja, bahkan ada yang sudah mati total tetap tidak diganti. Jalanan becek dengan aspal yang sudah tidak tahu bentuknya. Bukankah dana desa banyak. Hanya mereka yang tahu kemana perginya dana-dana itu. Mereka akhirnya tiba di tokonya Mbak Tina salah satu toko kelontong di desa mereka. Wajah Mak Latifah ibunya Mbak Tina, muncul di balik etalase kaca, menyapa mereka dengan ramah.  "Sudah pulang mengaji kalian," Mak Latifah basa-basi bertanya. Ahmad, Dika dan Sulaiman serempet mengangguk. Mereka langsung tidak sabaran menanyakan undian kertas berhadiah ...

CERPEN "SELEPAS MAGHRIB (1)", Oleh: Erka Ray

Selepas Maghrib (Bagian 1) "Ayo cepat sedikit, Dika. Yang lain sudah menunggu." Ahmad melambai-lambaikan tangannya menunggu Dika. Dan yang dipanggil sedang pontang-panting berlari sambil menjinjing sarungnya yang kedodoran dan Al-Qur'an kecil berwarna biru keemasan.  "Tunggu." Dengan napas tersengal mereka akhirnya sejajar.  "Kita masih akan menunggu Lina dulu. Di mana gadis itu kenapa tidak sampai-sampai," ucap Ahmad sambil melihat jalan ke rumah Lina. "Kau ini sabarlah, sebentar lagi dia pasti datang." Dika masih sibuk membenarkan sarungnya, dan menitipkan Al-Qur'an nya kepada Ahmad. Sekarang memang sudah sore. Di desa mereka, menjelang Maghrib, anak-anak akan pergi ke surau atau langgar untuk mengaji pada guru mengaji mereka. Di sini mereka mengaji pada Mbah Anum, begitu orang-orang memanggilnya. Mbah Anum ini baik sekali dan juga sabar menghadapi anak-anak yang bandel saat belajar mengaji. Tetap telaten mengajari bacaan-ba...

CERPEN "HUJAN DI EMPERAN TOKO (4)", Oleh: Erka Ray

Bagian 4 Hari kian sore beberapa mahasiswa sudah banyak yang bubar dari kampus. Langsung pulang ke rumah atau ke kosan masing-masing. Aku seperti biasa menyetop bus di depan kampus. Hari ini melelahkan dengan begitu padatnya aktifitas. "Apakah iya laki-laki itu menyukaiku?"  Aku segera menepis pertanyaan ini. Lagi pula ini hanya asumsi dari Vivi saja. Aku dan Rayhan ini baru kenal, hanya orang asing yang iseng menyapa. Tidak ada yang spesial. Aku kembali fokus pada. siluet jalanan yang menguning di luar sana. Senja datang. *** "Yah, hujan."  Adit, itu adikku. Dia mengeluh. Saat ini kami sedang duduk-duduk santai di ruang keluarga. Malam ini hujan tiba-tiba turun. Padahal tadi sore cerah sekali. Seperti tidak akan ada tanda-tanda akan turun hujan. Tapi ini adalah salah satu nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Hujan ini adalah. rahmat-Nya. Tapi terkadang manusia ini aneh sekali. Saat panas minta hujan, saat hujan minta panas, mengeluh soal cucian tidak kerin...

CERPEN "HUJAN DI EMPERAN TOKO (3)", Oleh: Erka Ray

Bagian 3 Aku berlari-lari kecil setelah turun dari bus tadi menuju gedung Fakultasku yang lumayan jauh dari gerbang kampus. Sudah sisa lima menit lagi kelas akan dimulai. Di depan mushalla kampus, aku bertemu dengan Vivi yang juga tengah terburu-buru. "Aku sering lihat kamu bertegur sama. sama laki-laki loh di halte kalau pagi." Itu kata Vivi, dia salah satu teman kelasku di kampus. Kami cukup akrab. Di saat genting seperti ini dia masih sempat-sempatnya bertanya. Aku dan Vivi bertemu saat pertama kali masuk kampus. Kami adalah dua orang yang kebingungan waktu mencari kelas. Tentu kampus ini tidaklah kecil. Banyak sekali bangunan-bangunan tinggi dan ruang-ruang kelas. Dan kami sama-sama kebingungan mencari kelas. "Sejak kapan kamu lihat aku sama dia?" Aku bertanya. Jangan-jangan. Vivi hanya mengada-ngada kan. Asal comot pembicaraan. Padahal kami harus segera sampai ke dalam kelas.  "Aku udah berapa kali lihat kamu bicara sama dia. Gak sengaja waktu ...

CERPEN "HUJAN DI EMPERAN TOKO (2)", Oleh: Erka Ray

Bagian 2 Namaku Rayana, seperti yang aku katakan sebelumnya. Nama sederhana yang tidak memiliki arti apapun. Tapi sebenarnya setiap orang tua memberikan nama untuk anaknya pasti memiliki arti yang tersirat atau tersurat. Begitu juga hari ini. sama sekali tidak ada artinya. Hanya sedang berdiri di halte bus, dan kebetulan hari ini tidak hujan, jadi tidak perlu berlari-lari mencari tempat berteduh ke emperan toko.  "Ketemu lagi sama Rayana."  Laki-laki ini tiba-tiba muncul di sampingku yang sedang berdiri menunggu bus dengan wajah yang tersenyum lebar. Seperti perkataannya sebelum kita berpisah di waktu hujan itu, 'Semoga bertemu lagi ya.' Dan sekarang kita bertemu lagi dan lagi. Sudah sepekan laki-laki ini terus muncul di halte saat aku menunggu Bus untuk berangkat kuliah. "Sebenarnya malas sekali harus pergi bekerja." Dia memulai percakapan. Kami lumayan dekat. Entah apa cuma. perasaanku saja, tapi laki-laki yang bernama Rayhan ini seperti berusa...