Pagi hari di rumah Ahmad.
Mamak Yani sudah sibuk di dapur memasak nasi dan ikan pada tungku kayu. Kalau di Madura disebut Tomang, tempat untuk memasak yang terbuat dari tanah liat. Mungkin di daerah kalian sama saja namanya, atau malah beda nama. Tapi intinya tempat memasak. Mereka bukan tidak punya magic come, tapi Mamak Yani lebih suka memasak yang demikian.
"Eh, Ahmad. Kau tidak mau bangun ya. Liat jam itu, sudah hampir jam enam. Mamak kan sudah bilang, jangan tidur lagi selepas subuh. Kau ini bebal sekali."
Mamak Yani terus mengoceh sambil melipat selimut di kamar Ahmad. Yang diomeli hanya mengeliat santai. Lalu duduk dengan mengerjap-ngerjapkan matanya. Sinar matahari pagi yang menembus lewat jendela kamar membuat mata silau. Tapi kalian harus tahu, nikmat apa yang Tuhan berikan pada pagi ini. Ya ini, matahari. Kadang aneh jadi manusia, diberi panas, malah minta hujan, minta mendung. Saat diberi hujan, malah minta panas.
Ahmad segera bangun dari tempat tidurnya. Bergegas ke kamar mandi. Lalu memakai seragam sekolahnya, merapikan buku di atas nakas sambil melihat jadwal pelajaran hari ini. Ternyata ada pelajaran Fiqih.
Ahmad bersekolah di salah satu Pondok Pesantren yang lumayan terkenal, letaknya di desa sebelah. Namanya Pondok Pesantren Al Ihsan. Setiap pagi dia akan berangkat dengan mengendarai sepeda bersama Dika, Sulaiman, Lina dan Dinda.
Ada yang unik sebenarnya dari sekolah Ahmad ini. Yang sudah jarang ada di sekolah-sekolah zaman sekarang. Kebanyak sekolah madrasah atau pondok pesantren sekarang, meskipun berbasis islami, tetap menggunakan celana dan sepatu bagi siswa laki-laki, dan rok, sepatu serta kerudung bagi siswi perempuan. Akan tetapi di sekolah Ahmad ini, siswa laki-laki menggunakan sarung, peci dan sandal jepit. Begitu juga dengan siswi perempuan, menggunakan kerudung, rok dan sandal jepit. Tidak ada sepatu di sana. Sebenarnya bukan karena sekolah ini tidak maju, sekolah ini sangat maju. Bahkan alumninya sudah ada yang duduk di kursi DPR sana. Akan tetapi, sekolah ini lebih menerapkan dan melestarikan budaya santri zaman dulu agar tetap terjaga dan bertahan di era modern.
Setelah bersiap-siap, Ahmad bergabung dengan Bapak Bahrur di meja makan. Sedangkan Kak Indah, Kakaknya Ahmad sedang membantu Mamak Yani memasak di dapur.
"Bapak dengar, Mamak mengomel lagi tadi pagi," ucap Bapak Bahrur sambil menyeruput kopi tubruknya.
Ahmad hanya nyengir kuda, bilang kalau dia tidur lagi setelah shalat Subuh, jadinya malah bangun kesiangan.
"Kau tahu, Ahmad."
"Tidak, Pak," Ahmad langsung memotong.
"Dengarkan Bapak dulu, jangan langsung dipotong. Tidak sopan memotong perkataan orang, Ahmad. Jangan pernah lakukan hal ini pada siapapun," seloroh Bahrur, Bapaknya Ahmad.
Ahmad mengangguk.
"Jadi begini, Ahmad. Kamu pernah dengar kalau tidur setelah Subuh itu menghambat datangnya rezeki? Iya itu benar. Tidur setelah Subuh itu banyak merugikan kita, tidak hanya dari segi agama tapi juga kesehatan. Meski hukum tidur setelah subuh itu tidak haram, tapi makruh atau sekedar boleh. Kerugian pertama yang didapatkan yaitu, tidak mendapat keberkahan. Pagi menjadi waktu awal yang baik untuk melakukan segala aktivitas karena masih dalam keadaan segar dan memiliki banyak energi. Di awal pagi juga menjadi awal turunnya rezeki dan keberkahan karena menjadi awal semua aktivitas berlangsung. Untuk itu tidur setelah Subuh tidak akan mendapatkan keberkahan. Di waktu pagi Nabi Muhammad Saw telah mendoakan agar pagi menjadi waktu yang penuh dengan keberkahan. Bahkan sudah ada dalam satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi," jelas Bapak Ahmad.
Bapak Ahmad diam sejenak menyeruput kopinya yang hampir dingin. Kemudian melanjutkan,
"Yang kedua, seperti yang Bapak bilang tadi, menghambat datangnya rezeki. Tidur setelah subuh atau pagi hari memang enak untuk dilakukan, tetapi ini bisa menjadi salah satu penyebab rezeki kita terhambat. Di pagi hari menjadi segala awal aktifitas berlangsung, jika kita memutuskan untuk tidur kembali selepas subuh tentu saja kita kurang maksimal dalam menjalankan aktivitasnya."
"Tidur setelah Subuh juga tidak baik bagi kesehatan. Pagi hari menjadi awal metabolisme tubuh mulai bekerja dan melakukan pemanasan. Namun, saat tidur kembali selepas subuh metabolisme tubuh akan terhambat untuk bekerja yang berakibat pada terganggunya kesehatan tubuh kita. Dengan terganggunya sistem metabolisme tubuh akan berakibat lemas dan tidak bersemangat untuk beraktivitas. Dan banyak lagi Ahmad, kerugian yang kita dapat jika tidur setelah Subuh. Apa kau sudah paham?" tanya Bahrur pada anaknya itu.
Ahmad lagi-lagi mengangguk paham. Pak Bahrur ini memang lulusan dari salah satu pesantren besar di Jawa tidur, jadi maklumlah jika dia tahu banyak hal tentang agama.
"Sudah ayo sarapan, jangan bicara terus." Mamak Yani membawa piring-piring berisi lauk pauk dan juga nasi dalam bakul. Setelahnya mereka berlima sarapan bersama.
Setelah sarapan Ahmad mengalami Bapak dan Mamaknya untuk berangkat ke sekolah. Tak lupa Mamak Yani memberi uang jajan, tiga lembar lima ribuan.
Di tempat lain. Lebih tepatnya di perempatan jalan. Sulaiman, Dika, Lina dan Dinda sudah menunggu. Selang sepersekian menit, Ahmad muncul dengan sepedanya.
"Kali ini kau yang terlambat ya, bukan kita," ucap Dika bersungut-sungut. Sudah capek menunggu.
Katanya menunggu adalah hal yang melelahkan. Sebenarnya agak aneh, kenapa menunggu disebut hal yang melelahkan. Padahal saat seseorang menunggu seseorang yang lain, dia sedang duduk-duduk atau berdiri, tidak mencangkul, tidak mengais sawah, tidak memotong rumput. Entah di mana letak lelahnya. Atau mungkin hatinya yang lelah, bukan fisiknya.
Sekarang kelimanya telah menggoes sepeda masing-masing. Melewati jalanan yang agak berbatu karena aspalnya sudah tidak utuh. Menjawab sapaan tetangga yang basa-basi bertanya hendak berangkat sekolah.
Mereka bertemu dengan Guru mereka di gerbang sekolah, Bapak Najib. Mereka serempak turun dari sepeda masing-masing memberi hormat sambil menundukkan kepala. Begitulah adab saat guru lewat, sebagai bentuk takzim dari muridnya maka harus berdiri dengan hormat sambil menundukkan kepala. Itu yang terus dilestarikan di sekolah Ahmad.
Mereka sekolah dari pagi sampai siang. Baru setelah jam satu siang mereka pulang.
Seperti saran Bapak Bahrur tadi malam untuk menjenguk Mbah Hesa istri dari Mbah Anum guru mengaji mereka yang sedang sakit. Sore harinya Ahmad, Dika, dan Sulaiman berangkat bersama-sama ke rumah Mbah Anum untuk menjenguk Mbah Hesa sambil membawa Jubede buatan Mamak Yani sebagai Buah tangan. Sedangkan Lina dan Dinda tidak bisa ikut, ada kesibukan di rumah.
"Assalamualaikum," ucap mereka bertiga di depan rumah Mbah Anum. Mbah Anum guru mengaji mereka, jadi mereka harus takzim dan hormat.
"Waalaikum salam." Mbah Anum muncul di balik pintu sambil menjawab salam. Wajahnya yang sudah tua dan dihiasi keriput, tersenyum pada Ahmad, Dika dan Sulaiman.
"Wah kalian sampai membawa buah tangan segala," ucap Mbah Anum saat mempersilahkan ketiganya duduk di kursi ruang tamu.
Mbah Hesa muncul dari balik kamar. Beliau tersenyum anggun. Menyapa mereka bertiga.
Mbah Anum dan Mbah Hesa tinggal berdua di rumah ini. Lalu kemana anak-anak mereka? Mereka mempunyai lima anak, tiga laki-laki dan dua perempuan. Semuanya sudah berkeluarga. Tiga anak laki-laki mbak Anum ikut ke rumah istrinya. Mbah Anum dan Mbah Hesa sebenarnya tinggal dengan kedua anak perempuannya di rumah ini, tapi anak perempuan yang satu telah meninggal begitu juga dengan suaminya. Dan satu tahun kemudian, anak perempuan yang lainnya juga menyusul meninggal dan dia sudah bercerai dengan suaminya.
Setelah meninggalnya kedua anak perempuan Mbah Anum itu, cucu mereka ikut tinggal bersama anak laki-laki Mbah Anum. Jadilah Mbah Anum hanya tinggal berdua dengan Mbah Hesa di rumah ini. Anak-anaknya yang laki-laki hanya sesekali mengunjungi.
"Mbah sudah sehat, kalian tidak perlu repot-repot seperti ini," ucap Mbah Hesa pada ketiganya.
"Tidak apa-apa Mbah, kami tidak merasa direpotkan dengan menjenguk Mbah," ucap Dika sambil nyengir.
Mereka masih berbincang-bincang dengan Mbah Anum dan Mbah Hesa di rumahnya. Mbah Anum menyuguhi mereka teh dan Jubede yang dibawa Ahmad tadi.
"Kau ini rakus sekali memakannya," tegur Sulaiman pada Dika. Yang ditegur hanya nyengir.
"Jubede ini dari Mamaknya Ahmad untuk Mbah Anum dan Mbah Hesa, kau malah mau menghabiskannya," lanjut Sulaiman.
"Terserah aku lah. Kau ini sirik sekali. Mbak Anum saja mempersilahkan tadi." Dika membela diri.
"Ya tapi setidaknya kau diri tahu dan tahu malu juga," ucap Sulaiman tidak mau kalah.
Selang beberapa menit dari perdebatan Sulaiman dan Dika, ketiganya pamit pulang. Sudah jam empat lewat. Mereka harus bersiap-siap ke Langgar.
Ahmad, Dika dan Sulaiman bergiliran menyalami Mbah Anum dan Mbah Hesa, kemudian mengucap salam. Mbah Hesa menitip salam terima kasih bapak Mamak Yani atas Jubedenya yang enak.
Setelahnya mereka berlari-lari di jalanan desa, dengan background langit yang menguning, burung yang terbang hendak pulang pada sarangnya. Selalu ada cara mensyukuri nikmat Tuhan, salah satunya dengan memandang langit sore ini.
Diselesaikan di Sumenep, 05 Januari 2023
Komentar
Posting Komentar