Aku berlari sambil berteriak menghampiri bapak yang sedang duduk di kursi teras. Di tanganku tergenggam erat surat hasil kelulusan.
"Kamu serius?" ucap Bapak saat dia sudah membuka kertas itu.
"Bapak bangga sama kamu Hadi. Kamu memang anak yang pintar dari dulu. Bapak yakin dengan melanjutkan pendidikanmu sampai sarjana nanti, kamu akan jadi orang yang sukses." Bapak tersenyum. Senyum yang tulus.
Semenjak lulus SMA dua bulan yang lalu, Bapak memang sudah mewanti-wanti untuk aku melanjutkan pendidikan ke Universitas di kota kami. Aku beberapa kali menolak. Kami bukan dari keluarga yang berada. Biaya kuliah pasti mahal sekali. Apalagi aku tidak punya pekerjaan tetap. Hanya sesekali mengajar di madrasah sekolah sore dekat rumah. Itu pun digaji sedikit sekali, hanya cukup membeli beras 1 kilo.
"Jangan pikirkan biaya, Hadi. Selama Bapak masih hidup, Bapak masih sanggup untuk membiayai pendidikan kamu."
"Toh, dari sepeninggalan Ibumu, Bapak mampu merawatmu seorang diri."
Begitulah kata Bapak waktu aku bilang soal biaya kuliah itu mahal.
Iya, Ibuku memang sudah meninggal sejak aku duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Ibu meninggal karena sakit. Entah apa nama penyakitnya kata dokter waktu itu. Sepeninggalan Ibu, Bapak tidak menikah lagi, memilih merawatku sendirian di rumah sederhana kami. Aku anak semata wayang di keluarga ini.
Hari telah berganti. Ini pagi kesekian di desaku. Kabar kelulusanku di Universitas ternama kota kami, cepat sekali menyebarnya. Mungkin Bapak memberi tahu temannya di warung kopi sana. Jadilah kabar ini sekarang menjalar ke mana-mana.
"Selamat ya, Hadi. Bentar lagi sekolah di Universitas itu."
Itu kata Bu Lim tetanggaku. Saat pagi-pagi aku datang ke rumahnya untuk membantu membenarkan listriknya yang konslet.
Aku hanya nyengir menanggapi itu.
Siang hari di rumah. Aku masih santai. Tidak bekerja. Hanya sesekali membantu Bapak yang bekerja di ladang sebagai petani, menanam sayuran lalu dijual ke pasar jika sudah panen.
"Berapa uang Kuliahmu setiap semester, Di?" Bapak bertanya, saat baru pulang dari ladang.
Aku kebingungan memberi tahu Bapak. Pasalnya jumlahnya terlampau banyak.
"Tidak banyak, Pak. Hanya dua juta." Aku bilang begitu.
Sebenarnya uang kuliah persemesternya sekitar empat juta lebih. Itu pun sudah paling rendah karena aku tergolong mahasiswa tidak mampu. Mungkin nanti akan coba ikut Beasiswa.
Beberapa Minggu berlalu, mungkin sudah sekitar dua bulan dari hari penerimaan itu. Sedangkan serangkaian ospek kalau di Universitas ku disebut PBAK saat penerimaan mahasiswa baru sudah dilaksanakan dua hari yang lalu.
"Wah rapi sekali Hadi ya."
"Sudah mau berangkat kuliah, Di?"
"Eh, nanti aku nitip belikan obat di toko pojok sana ya kalau kamu pulang kuliah."
"Eh, pagi sekali berangkatnya."
Nah begitulah sapaan dari para tetangga saat aku lewat di depan rumahnya dengan mengendarai motor membonceng Bapak yang akan ke ladang. Hari ini bapak panen sayuran. Aku tidak bisa membantu karena harus kuliah.
"Hadi berangkat ya, Pak?" Aku menyalami tangan Bapak yang sudah mulai keriput.
"Hati-hati di jalan, Di." Begitu teriakan dari Bapak yang aku dengar di antara suara motorku yang melaju.
Hidup sebagai mahasiswa beban orang tua ini sebenarnya tidak enak sekali. Apa-apa harus minta pada orang tua. Sedangkan kegiatan ekstrakurikuler kampus banyak yang harus diikuti. Seperti masuk organisasi ini itu, dan semuanya membutuhkan biaya. Belum lagi ongkos bensin setiap harinya.
Tentu aku tidak tinggal diam. Aku menabung gajiku sebagai guru madrasah sore. Aku juga tahu, bapak juga menabung sedikit demi sedikit untuk biaya kuliahku.
"Gimana kuliahnya, Di." Bapak duduk di sampingku sambil membaca secangkir kopi tubruk. Suasananya sudah malam di rumah kami. Aku sedang mengerjakan beberapa tugas makalah dan artikel.
"Alhamdulillah berjalan lancar, Pak."
"Kamu kuliah sudah hampir liburan semester ya?" Bapak bertanya memecah lengang di antara kami.
"Sebentar lagi pembayaran uang kuliah kamu. Alhamdulillah tabungan bapak hampir mendekati cukup untuk membayarnya." Bapak menyeruput kopinya.
Aku menghela napas yang terasa berat. Entahlah. Pembayaran uang kuliah ini terasa berat.
Sebulan yang lalu aku mengikuti ujian beasiswa di kampus. Sayangnya aku gagal, karena rumah kami tidak memenuhi kriteria sebagai orang yang tidak mampu. Ketentuan di Beasiswa itu ada survei rumahnya. Rumahku memang lantainya keramik. Selama Ibu masih hidup dulu, Bapak dan Ibu mati-matian menabung untuk memiliki rumah yang nyaman dan layak ditempati. Sayangnya rumah ini tergolong pada kategori mampu rupanya. Jadilah gagal mendapat beasiswa.
Malam semakin larut, aku beranjak istirahat malam ini begitu juga dengan bapak. Pintu rumah sudah ditutup rapat-rapat. Sayup-sayup terdengar derik serangga di samping rumah.
***
Sayangnya siang harinya musibah datang menimpa keluarga kami.
"Hadi, Bapakmu kecelakaan sekarang ada di puskesmas." Itu suara Pak Yadi tetangga samping rumah sedang terbirit-birit sambil membawa kabar.
Aku yang baru datang kuliah sore hari langsung tancap gas lagi ke Puskesmas yang tidak jauh dari desaku.
Di ruang rawat sana, sudah ada beberapa tetangga yang menemani bapak. Bapak sudah sadar tapi kakinya dibungkus perban.
"Bapak kenapa bisa kecelakaan, siapa pelakunya?" Aku bertanya panik.
Tetangga yang tidak sengaja menemukan bapak di jalan langsung bercerita. Bapak kena tabrak lari saat akan menyerang jalan raya. Pengemudi motornya ngebut, bapak tersenggol. Padahal waktu menyebrang sepi tapi motor itu datang tiba-tiba. Tapi untungnya bapak tidak kenapa-kenapa. Hanya sedikit baret di kepala. Dan kaki yang patah pergeseran tulang sedikit. Jika rajin terapi atau periksa, nanti bisa sembuh.
"Kamu pergi bayar uang Puskesmasnya dulu, Hadi. Biar Bapakmu cepat dibawa pulang." Salah satu tetangga mengusul.
Aku mengangguk.
Sepertinya uang tabunganku harus dipakai dulu. Ini kebutuhan mendesak. Nanti bisa menabung lagi untuk bayar kuliah, toh masih agak lama.
Sore itu juga Bapak dibawa pulang ke rumah, beberapa tetangga membantu.
"Kamu memakai uang tabunganmu untuk bayar kuliah itu, Di?" Bapak bertanya saat aku memberi tahu kalau tadi uang perawatannya memakai uang tabungan.
"Bapak tahu dari Rahman, kalau ternyata uang kuliahmu bukan dua juta. Seharusnya kamu bilang saja dari awal," tutur Bapak.
Sudahlah tidak apa-apa. Nanti juga nemu kok uang buat bayar kuliah.
***
Setelah kecelakaan kemaren bapak tidak bisa banyak beraktifitas. Hanya sesekali berjalan-jalan di dalam rumah, itupun harus pakai tongkat. Kakinya yang patah, belum sembuh sepenuhnya. Memang sudah beberapa kali diperiksa, dan Alhamdulillah ada kemajuan.
"Gak kuliah, Di?" Itu Pak Rusdi tetangga rumah yang ladangnya bersebelahan dengan ladang Bapak.
Aku menggeleng menunjukkan timba yang sedang aku bawa untuk menyiram sayuran bapak.
Iya aku sudah tidak kuliah beberapa hari, mungkin sudah dua atau tiga minggu. Aku mengambil alih pekerjaan Bapak di ladang. Menyiram sayuran. Memetiknya, lalu menjual ke pasar.
"Ini minum dulu."
Bapak meletakkan kopi tubruk yang baru dibuatnya di atas meja.
Aku baru pulang dari ladang siang harinya.
"Kamu sudah tidak kuliah berapa lama, Di. Bapak hitung-hitungan sudah berminggu-minggu. Kamu lebih baik Kuliah. Lihat Bapak sudah bisa berjalan kan."
Bapak menunjukkan kakinya, yang memang sudah bisa berjalan tapi masih tertatih.
"Kembalilah kuliah, Di. Bapak menyuruhmu kuliah bukan untuk bermalas-malasan dan memilih membantu Bapak di ladang. Bapak menyuruhmu kuliah agar kamu tidak seperti Bapak dan Ibu yang hanya tamatan SD. Bapak ingin kamu menjadi sarjana sampai pakai toga hitam itu." Begitu kata bapak.
Tapi lagi-lagi aku menyanggah, bilang bapak belum sembuh total. Lagi pula uang untuk bayar kuliah semester masih terkumpul setengah.
"Sudah Bapak bilang berkali-kali, jangan pikirkan soal uang kuliah. Selama Bapak masih hidup, Bapak mampu membiayai kamu."
Bapak merogoh sakunya. Mengeluarkan kertas. Yang ternyata di dalamnya ada kalung peninggalan Ibu.
"Juallah ini untuk bayar uang kuliahmu. Ini lumayan mahal. Masih lebih dan masih bisa buat bayar uang kuliah dua semester lagi," ucap Bapak sambil meletakkan kalung itu di meja.
"Tapi, Pak. Ini kan kalung Ibu. Aku tidak mau kuliah jika harus menjual ini itu dan menghabiskan tabungan Bapak dan Ibu."
Aku tidak bisa begitu. Kuliah dengan beban orang tua sungguh menyakitkan. Apalagi aku anak laki-laki yang seharusnya sudah berpenghasilan.
"Bapak dan Ibu menabung tentu untuk siapa lagi kalau bukan untuk masa depan kamu, Di. Ibumu akan bahagia jika tabungannya digunakan untuk Kuliahmu. Kamu kan tahu, Ibumu dari dulu memang menginginkan kamu kuliah."
"Sudah kamu jangan ngeyel. Bawa kalung ini dan jual. Sisa uangnya kamu simpan buat bayar kuliah kamu. Jangan ngeyel lagi. Cepat mandi setelah itu shalat dhuhur," lanjut Bapak, yang sudah berdiri berjalan tertepati menuju kamarnya.
"Ingat Besok pergi kuliah jangan ke ladang. Atau tidak, motormu Bapak jual," ancam Bapak.
Baiklah besok aku akan kuliah.
***
Selama proses kuliah, semuanya berjalan lancar. Ternyata rezeki Bapak juga mengalir dengan lancar. Dan kaki Bapak yang patah akibat kecelakaan waktu itu juga sudah sembuh total. Bapak sudah bisa berjalan tanpa tongkat lagi.
Aku pada akhirnya tidak kuliah dengan Beasiswa. Meski sesekali menjuarai ini itu. Jadi ketua organisasi ini itu. Aku patungan bayarnya dengan Bapak, supaya tidak membebani Bapak keseluruhan.
"Minum dulu, jangan fokus tugas terus." Bapak membawakanku segelas kopi hangat.
Aku sedang mengerjakan tugas akhir, skripsi. Kita singkat saja ceritanya. Tidak perlu berbelit-belit. Skripsi ini melelahkan sekali. Selain setor judul yang belum tentu langsung di-acc, juga repot menemui Dosen pembimbing yang kadang terbang sana sini tidak ada di ruangannya.
"Terima kasih, Pak." Aku menyeruput kopi hangat di gelas plastik.
Aku harus cepat-cepat menyelesaikan skripsi ini. Semakin cepat semakin baik. Jadi aku tidak perlu lagi membayar uang kuliah.
***
Seperti yang aku rencanakan, aku lulus tugas skripsi tepat waktu dan pengajuan wisuda pun aku segerakan. Kita singkat saja kisah ini. Kuliah ini sejatinya untuk Bapak. Ini keinginan Bapak dan Ibu. Meskipun mereka hanya seorang petani, tapi tidak menutup kemungkinan bagi anaknya untuk sarjana. Dan Bapak membuktikan itu. Aku sarjana hari ini.
Lihatlah, Bapak terlihat sibuk mencari baju batik lamanya untuk dipakai di acara wisudaku.
"Bapak pakai batik ini saja. Aku sudah membelikan Bapak yang baru. Sengaja untuk acara ini." Aku menyerahkan bungkusan plastik berisi baju batik.
"Kenapa kamu repot-repot beli yang baru, Di. Kan yang lama masih ada. Masih bagus juga." Bapak menunjuk baju batik lamanya.
"Tidak apa-apa, Pak. Ini hari spesial bagi kita, Pak," tuturku.
Bapak terlihat bahagia melihat dan mencoba baju batik barunya.
***
"Ayo, Di, Cepat. Kamu ini lama sekali. Sudah baju hitam-hitam itu pakai di sana saja." Bapak berteriak dari ruang tamu. Sepertinya sudah tidak sabar menghadiri acara wisuda.
Pagi ini kami pun berangkat berboncengan menggunakan motor menuju Universitas-ku. Proses wisuda hari ini berjalan lancar. Mahasiswa yang wisuda banyak sekali. Sekian ribu jumlahnya. Eh, mungkin cuma sekian ratus. Entahlah aku tidak tahu pasti jumlahnya.
Di sekitar kampus banyak orang-orang yang menjual berbagai macam dan bentuk buket. Penjual makanan juga lebih banyak dari biasanya. Belum lagi beberapa mahasiswa yang sengaja membuka lapak berjualan juga.
Aku keluar dari ruangan wisuda sekitar jam sepuluh. Prosesinya sudah selesai. Sebenarnya hanya memindahkan tali saja, tapi butuh waktu sampai 4 tahun. Harus melewati delapan semester yang penuh tugas.
"Kenapa kamu membuka baju hitammu?" Bapak bertanya saat aku membuka baju hitam wisuda dan toganya.
"Bapak pakai ini ya." Aku memasangkan baju itu kenapa Bapak. Bapak terlihat senang. Matanya mulai berkaca-kaca, ikut bahagia. Orang-orang di sekitar kami mulai melihat aku yang memasangkan toga pada Bapak.
"Ini perjuangan, Bapak. Jadi toga ini yang pantas memakainya adalah Bapak. Wah Bapak terlihat gagah sekali memakai ini." Aku mengacungkan dua jempol pada Bapak.
Bapak tersenyum malu-malu.
Lihat Ibu. Anakmu hari ini sudah sarjana. Ada gelar di belakang namanya. Dulu yang namanya cuma Muhammad Hadi, sekarang menjadi Muhammad Hadi, S.H. Terlihat gagah Ibu. Tapi percayalah, lebih gagah Bapak saat ini yang sedang memakai toga di kepalanya. Bapak tak henti-hentinya mengembangkan senyum. Bahkan saat sampai rumah pun, Bapak masih tersenyum. Toga ini memang untuk Bapak. Buah dari hasil kerja kerasnya menguliahkanku.
Diselesaikan di Sumenep, 26-29 Januari 2023
Komentar
Posting Komentar