Bagian 3
Aku berlari-lari kecil setelah turun dari bus tadi menuju gedung Fakultasku yang lumayan jauh dari gerbang kampus. Sudah sisa lima menit lagi kelas akan dimulai. Di depan mushalla kampus, aku bertemu dengan Vivi yang juga tengah terburu-buru.
"Aku sering lihat kamu bertegur sama. sama laki-laki loh di halte kalau pagi." Itu kata Vivi, dia salah satu teman kelasku di kampus. Kami cukup akrab. Di saat genting seperti ini dia masih sempat-sempatnya bertanya.
Aku dan Vivi bertemu saat pertama kali masuk kampus. Kami adalah dua orang yang kebingungan waktu mencari kelas. Tentu kampus ini tidaklah kecil. Banyak sekali bangunan-bangunan tinggi dan ruang-ruang kelas. Dan kami sama-sama kebingungan mencari kelas.
"Sejak kapan kamu lihat aku sama dia?"
Aku bertanya. Jangan-jangan. Vivi hanya mengada-ngada kan. Asal comot pembicaraan. Padahal kami harus segera sampai ke dalam kelas.
"Aku udah berapa kali lihat kamu bicara sama dia. Gak sengaja waktu itu lewat di halte itu saat akan berangkat ke kampus. Kayaknya laki-laki itu suka sama kamu. Tatapan matanya beda," tuturnya.
Aku tidak percaya dengan itu. Aku dan Rayhan baru saja kenal, tidak mungkin
secepat itu sebuah perasaan muncul. Lagi pula kami hanya bertemu pagi hari di halte, tidak ada komunikasi setelahnya.
"Kamu jangan mengada-ada. Tidak perlu
sok tahu. Lagipula aku sama laki-laki itu baru kenal. Tidak mungkin secepat itu dia ada perasaan."
"Kamu ini dibilangin ya. Perasaan itu bisa muncul kapan aja dan dimana aja, Na. Dan ada ukuran waktu untuk perasaan itu tumbuh."
Vivi masih kekeh dengan argumennya kalau lagi-lagi itu menyukaiku. Padahal sebenarnya tidak. Tentu saja dugaan Vivi ini salah. Aku buru-buru menyudahi percakapan ini. Kami sudah sampai di depan kalas. Hari ini dosennya kiler sekali. Menyeramkan. Kami tidak boleh telat. Hari ini kami sedang memulai suatu pembahasan yang cukup menarik. Kelompok 3 sedang memaparkan isi makalah di depan sana. Aku serius mendebarkan setiap penjelasnya.
"Na."
Vivi tiba-tiba menyikut lenganku saat aku sedang asik menyimak presentasi teman di depan. Aku menoleh berbicara lewat tatapan mati. "Ada apa." Itu kataku.
"Menurut kamu laki-laki yang bicara sama kamu di halte itu tampan tidak?"
Pertanyaan Vivi mulai ngelantur. Tampan tidak ya? Kenapa aku jadi ikutan bertanya. Tapi aku munafik jika tidak menyebut Rayhan tampan. Wajahnya memang tampan, meskipun tidak setampan artis Korea sih. Namun ada kesan tersendiri saat memandang wajahnya.
"Kamu gak asik, Na. Ditanya tampan tidaknya, kamu malah cuma ngedumel."
Vivi kembali menghadap kedepan. Menyimak presentasi.
Selang sepuluh menit. "Oh ya, Na." Vivi berbicara lagi.
"Aku belum tahu loh nama laki-laki itu. Masak aku panggilnya laki-laki terus tanpa tahu namanya."
"Namanya Rayhan." Aku menjawab pendek.
Bisa-bisanya Vivi terus bertanya saat kami sedang di dalam kelas dan sedang berlangsung presentasi materi. Ini sebenarnya yang unik dari Vivi tapi terkadang bikin kesal. Dia orangnya sering penasaran. Tidak akan berhenti bertanya jika rasa penasarannya belum
tertuntaskan. Selalu berasumsi yang tidak-tidak. Mengada-ngada, sering ngehalu juga. Tapi Vivi ini adalah orang yang menyenangkan, selalu membuat tersenyum. Penghibur yang baik saat aku sedang sedih.
"Beneran namanya Rayhan?" Vivi sampai melongo. Memang kenapa dengan nama Rayhan.
"Rayhan dan Rayana. Bukankah itu terdengar serasi sekali, Na. Kayaknya kalian jodoh deh. Aku yakin itu. Dan aku juga yakin kalau laki-laki itu juga menyukaiku, Na. Aku berani bertaruh."
Vivi semangat sekali membahas soal yang satu ini. Seharusnya dia tidak melihatku dengan Rayhan di halte. Bahkan sampai keluar kelas pun. Vivi masih saja membahas hal itu.
"Silahkan, Mbak."
Mamang penjual bakso di kantin kampus mengantarkan pesanan kami. Dua mangkuk bakso jumbo. Dari wanginya sudah tercium nikmat. Hari ini kami sudah menyelesaikan dua kelas. Memang cuma ada dua kelas untuk hari ini. Setelahnya kami sepakat untuk makan bakso bersama.
"Lain kali ajak Rayhan ketemuan dong, Na," ucap Vivi disela-sela makan.
Vivi selalu saja aneh-aneh perkataannya. Ini malah nyuruh aku untuk mengajak Rayhan bertemu. Untuk apa? Aku dan Rayhan tidak ada apa-apa. Kami bisa jadi tidak bisa disebut teman. Kami hanya tidak sengaja bertemu di emperan toko itu karena sama-sama berteduh dari hujan. Lalu tidak sengaja bertemu lagi di halte. Lagipula aku perempuan, malulah untuk meminta bertemu.
"Haduh, Na. Kamu ini kuno banget ya. Tidak ada salahnya, perempuan bergerak lebih dulu. Buktinya Siti Khadijah istri Rasulullah. Dia duluan loh yang melamar Rasullullah." Begitu kata Vivi.
Sudahlah, jika harus mengarah ke arah sana tentu konteksnya berbeda.
"Sudah ya. Kita berhenti bahas itu. Mending lanjutin makannya. Baksonya keburu dingin."
Ya, lebih baik menyantap bakso ini saja kan dari lada mendengarkan asumsi dan argumentasi dari Vivi yang mulai ngaco.
Diselesaikan di Sumenep, 16 Februari 2023
Komentar
Posting Komentar