Setelah berlari-lari di atas jalanan yang becek bekas hujan, dengan rumah-rumah penduduk yang sepi. Hujan-hujan begini orang-orang memang lebih suka berada di dalam rumah. Dengan TV menyala dan camilan setoples.
Mereka melewati lampu jalan yang lumayan redup, sepertinya sudah harus diganti. Kemana kepala desa ini kenapa sama sekali tidak mengontrol desanya. Lampu jalan dibiarkan begitu saja, bahkan ada yang sudah mati total tetap tidak diganti. Jalanan becek dengan aspal yang sudah tidak tahu bentuknya. Bukankah dana desa banyak. Hanya mereka yang tahu kemana perginya dana-dana itu.
Mereka akhirnya tiba di tokonya Mbak Tina salah satu toko kelontong di desa mereka. Wajah Mak Latifah ibunya Mbak Tina, muncul di balik etalase kaca, menyapa mereka dengan ramah.
"Sudah pulang mengaji kalian," Mak Latifah basa-basi bertanya. Ahmad, Dika dan Sulaiman serempet mengangguk. Mereka langsung tidak sabaran menanyakan undian kertas berhadiah itu. Mak Latifah mengambilnya di gantungan yang berada di atas etalase. Mereka serempak memilih.
Kalian tahu undian kertas. Itu yang banyak dijual di toko-toko kelontong. Kalian beli kertas yang harganya lima ratus rupiah. Nanti di dalamnya akan ada hadiah-hadiah. Hadiahnya bermacam-macam. Jika beruntung, maka akan mendapat Astor setoples, tapi toples kecil ya bukan yang besar. Jika naas, ya tidak akan dapat apa-apa. Atau malah cuma dapat permen atau balon. Tapi sebenarnya yang diperebutkan bukan cuma hadiahnya, tapi keseruannya.
Nasib sial, Sulaiman sudah membeli empat kali, dan tiganya mendapat zonk, satunya malah cuma dapat permen Tingting.
"Kamu dapat apa, Ahmad?" Dika menjulurkan wajahnya hendak mengintip tulisan dibalik kertas. Ahmad segera menjauhkan kertasnya.
"Biar aku liat sendiri lah," Ahmad bersungut-sungu. Tidak ingin kertasnya dilihat. Nasib beruntung malam ini, Ahmad yang cuma membeli tiga kali kertas itu, dengan dua kertas mendapat permen dan balon, malah satunya langsung mendapatkan Soklin Daia.
"Wah dapat Soklin." Wajah Sulaiman cerah, ikut senang kawannya mendapat hadiah utama.
Selang beberapa menit, keseruan itu harus diakhiri. Langit semakin malam. Lampu-lampu di rumah penduduk sudah ada yang dimatikan. Biasa, hemat listrik. Jam dinding di toko Mak Latifah menunjukkan jam delapan lewat lima belas menit. Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Mengucap salam pada Mak Latifah yang senang jualannya dibeli.
Ahmad sampai di rumahnya. Mengucap salam, langsung duduk di ruang keluarga bersama Bapaknya, dan kakak perempuan yang sedang mengerjakan tugas kuliah. Ahmad ini memiliki 2 saudara. Kakak pertamanya laki-laki bernama Ali, dia saat ini bekerja di luar kota, menjadi mandor. Hanya pulang jika sudah libur, atau ada waktu luang. Padahal jika kita terus-menerus menunggu waktu luang, maka susah sekali untuk ada. Justru kita harus meluangkan waktu itu sendiri.
Kakak nomor duanya perempuan bernama Indah, yang saat ini sedang menempuh mendidik S1 nya di kota tetangga. Dia ngekos, kebetulan sedang pulang. Dia mengambil jurusan Hukum di sana. Tetangga-tetangga Ahmad seperti takjub mendengar nama jurusan itu. Padahal Jurusan itu tidak akan ada hebat-hebatnya jika mahasiswanya kuliah tidak serius, sering bolos, sering ngantuk di kelas, sering joki tugas. Maka nama hukum itu hanya jadi pencitraan belaka saja.
"Cepat taruh Al-Qur'an nya di kamar dulu, Ahmad." Mamak Ahmad, Yani namanya, muncul dibalik pintu dapur sambil membawa kudapan. Ahmad segera berlari ke kamar sebelum Mamaknya marah. Setelahnya Ahmad menyerahkan Soklin yang tadi dia dapat. Mamaknya mengomel,
"Sudah Mamak bilang, jangan beli kertas-kertas itu lagi. Mending kamu beli makanan saja, camilan, biar perut kamu kenyang." Mamaknya berlalu sambil membawa Soklin hadiah kertas dari Ahmad tadi. Mengomel bilang jangan dibeli, tapi Soklin nya diambil.
Bapaknya Ahmad yang bernama Bahrur santai saja mencomot makanan di piring tidak terlalu memperdulikan ocehan istrinya.
"Duduklah, Ahmad, makan Jubede ini. Kau Indah kalau belum selesai, berhenti dulu. Makan ini dulu," ucap bapak.
Ahmad mengambil Jhubedhe itu. Di desa Ahmad namanya Jubede. Jubede adalah makanan khas dari kabupaten Sumenep. Tempat Ahmad tinggal.
Jubede ini sejenis camilan dengan rasa manis yang dibuat sedemikian rupa dan bentuk yang juga unik. Bentuknya imut sekitar telunjuk jari, diikat menggunakan pelepah daun aren sebagai talinya. Sangat unik dan mengundang perhatian kala disajikan saat lebaran.
Untuk membuat Jubede, sebenarnya terbilang mudah. Bahan-bahan yang dibutuhkan juga mudah didapat. Yakni, air nira, tepung jagung, tepung tapioka, dan gula pasir. Bahan-bahan tersebut dicampur dengan takaran satu banding satu. Tepung jagung dan tapioka dicampur dan dimasukkan ke dalam rebusan air nira sampai larut. Kemudian ditambah gula pasir. Kalau tepungnya satu kilo, gula pasirnya juga satu kilo. Setelah larut, campuran tepung dan air nira didinginkan dan dijemur di terik matahari. Butuh sekitar dua hari agar Jubede benar-benar kering dan bisa dimakan. Jika di musim hujan, pengeringan bisa sampai tiga atau empat hari.
Meski dibuat dari bahan tepung tapioka dan tepung jagung, tapi rasa yang dominan pada Jubede tetap gula merah. Rasa jagungnya hilang. Tinggal aroma gula merahnya yang kental terasa.
Seiring berkembangnya zaman, kini camilan unik ini dapat dijumpai di sejumlah minimarket dalam kemasan yang dibungkus mika. Dengan demikian, tampilannya juga cukup menarik dan lebih menggugah selera. Rasa yang ditawarkan pun berbeda tidak hanya sekadar manis, ada rasa pedas jahe dan hangat di kerongkongan saat Jubede ditelan. Jika ingin tahu lebih lanjut, kalian bisa cek google untuk mengetahui bentuk dari makanan ini.
Sambil menikmati Jubede ini, Ahmad bercerita pada Bapaknya kalau Mbah Hesa sedang sakit di rumah, jadi malam ini mereka pulang lebih cepat karena Mbah Anum harus menemani Mbah Hesa. Bapaknya Ahmad menyarankan Ahmad dan teman-temannya untuk membesuk Mbah Hesa di kediamannya sepulang sekolah.
"Kau tahu Ahmad, apa keutamaan menjenguk atau membesuk orang sakit?" Bapaknya bertanya sambil memasukkan Jubede kesekian ke mulutnya. Ahmad menggeleng.
"Ada salah satu Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, 'Barang siapa menjenguk saudaranya yang sakit maka dia senantiasa berada di Khurfatul jannah sampai dia pulang.' Lalu salah satu sahabat bertanya kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, apa khurfatul jannah itu? Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Memetik buah dari surga.'"
"Ada lagi keutamaan dari menjenguk orang sakit itu, jika seorang muslim menjenguk muslim yang lain pada pagi hari, maka 70.000 malaikat akan bershalawat (mendoakan ampunan) baginya sampai sore hari. Jika menjenguk pada sore hari maka 70.000 malaikat akan bershalawat baginya sampai pagi hari. Dia pun berhak untuk memiliki buah-buahan yang dipetik di surga. Begitulah salah satu keutamaan dari menjenguk orang sakit, Ahmad." Ahmad mengangguk paham atas penjelasan bapaknya.
"Besok bawa Jubede ini sebagai buah tangan, Ahmad," Mamak Yani tida-tiba menyeletuk.
"Dan sekarang cepat tidur sudah hampir jam sepuluh malam, besok kau harus sekolah. Dan ingat, jangan beli undian kertas itu lagi," Mamak Yani mengancam.
Setengah jam kemudian, lampu di ruang keluarga dimatikan. Saatnya tidur.
Diselesaikan di Sumenep, 04 Januari 2023
Menjenguk Orang Sakit (Bagian 2)
Setelah berlari-lari di atas jalanan yang becek bekas hujan, dengan rumah-rumah penduduk yang sepi. Hujan-hujan begini orang-orang memang lebih suka berada di dalam rumah. Dengan TV menyala dan camilan setoples.
Mereka melewati lampu jalan yang lumayan redup, sepertinya sudah harus diganti. Kemana kepala desa ini kenapa sama sekali tidak mengontrol desanya. Lampu jalan dibiarkan begitu saja, bahkan ada yang sudah mati total tetap tidak diganti. Jalanan becek dengan aspal yang sudah tidak tahu bentuknya. Bukankah dana desa banyak. Hanya mereka yang tahu kemana perginya dana-dana itu.
Mereka akhirnya tiba di tokonya Mbak Tina salah satu toko kelontong di desa mereka. Wajah Mak Latifah ibunya Mbak Tina, muncul di balik etalase kaca, menyapa mereka dengan ramah.
"Sudah pulang mengaji kalian," Mak Latifah basa-basi bertanya. Ahmad, Dika dan Sulaiman serempet mengangguk. Mereka langsung tidak sabaran menanyakan undian kertas berhadiah itu. Mak Latifah mengambilnya di gantungan yang berada di atas etalase. Mereka serempak memilih.
Kalian tahu undian kertas. Itu yang banyak dijual di toko-toko kelontong. Kalian beli kertas yang harganya lima ratus rupiah. Nanti di dalamnya akan ada hadiah-hadiah. Hadiahnya bermacam-macam. Jika beruntung, maka akan mendapat Astor setoples, tapi toples kecil ya bukan yang besar. Jika naas, ya tidak akan dapat apa-apa. Atau malah cuma dapat permen atau balon. Tapi sebenarnya yang diperebutkan bukan cuma hadiahnya, tapi keseruannya.
Nasib sial, Sulaiman sudah membeli empat kali, dan tiganya mendapat zonk, satunya malah cuma dapat permen Tingting.
"Kamu dapat apa, Ahmad?" Dika menjulurkan wajahnya hendak mengintip tulisan dibalik kertas. Ahmad segera menjauhkan kertasnya.
"Biar aku liat sendiri lah," Ahmad bersungut-sungu. Tidak ingin kertasnya dilihat. Nasib beruntung malam ini, Ahmad yang cuma membeli tiga kali kertas itu, dengan dua kertas mendapat permen dan balon, malah satunya langsung mendapatkan Soklin Daia.
"Wah dapat Soklin." Wajah Sulaiman cerah, ikut senang kawannya mendapat hadiah utama.
Selang beberapa menit, keseruan itu harus diakhiri. Langit semakin malam. Lampu-lampu di rumah penduduk sudah ada yang dimatikan. Biasa, hemat listrik. Jam dinding di toko Mak Latifah menunjukkan jam delapan lewat lima belas menit. Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang. Mengucap salam pada Mak Latifah yang senang jualannya dibeli.
Ahmad sampai di rumahnya. Mengucap salam, langsung duduk di ruang keluarga bersama Bapaknya, dan kakak perempuan yang sedang mengerjakan tugas kuliah. Ahmad ini memiliki 2 saudara. Kakak pertamanya laki-laki bernama Ali, dia saat ini bekerja di luar kota, menjadi mandor. Hanya pulang jika sudah libur, atau ada waktu luang. Padahal jika kita terus-menerus menunggu waktu luang, maka susah sekali untuk ada. Justru kita harus meluangkan waktu itu sendiri.
Kakak nomor duanya perempuan bernama Indah, yang saat ini sedang menempuh mendidik S1 nya di kota tetangga. Dia ngekos, kebetulan sedang pulang. Dia mengambil jurusan Hukum di sana. Tetangga-tetangga Ahmad seperti takjub mendengar nama jurusan itu. Padahal Jurusan itu tidak akan ada hebat-hebatnya jika mahasiswanya kuliah tidak serius, sering bolos, sering ngantuk di kelas, sering joki tugas. Maka nama hukum itu hanya jadi pencitraan belaka saja.
"Cepat taruh Al-Qur'an nya di kamar dulu, Ahmad." Mamak Ahmad, Yani namanya, muncul dibalik pintu dapur sambil membawa kudapan. Ahmad segera berlari ke kamar sebelum Mamaknya marah. Setelahnya Ahmad menyerahkan Soklin yang tadi dia dapat. Mamaknya mengomel,
"Sudah Mamak bilang, jangan beli kertas-kertas itu lagi. Mending kamu beli makanan saja, camilan, biar perut kamu kenyang." Mamaknya berlalu sambil membawa Soklin hadiah kertas dari Ahmad tadi. Mengomel bilang jangan dibeli, tapi Soklin nya diambil.
Bapaknya Ahmad yang bernama Bahrur santai saja mencomot makanan di piring tidak terlalu memperdulikan ocehan istrinya.
"Duduklah, Ahmad, makan Jubede ini. Kau Indah kalau belum selesai, berhenti dulu. Makan ini dulu," ucap bapak.
Ahmad mengambil Jhubedhe itu. Di desa Ahmad namanya Jubede. Jubede adalah makanan khas dari kabupaten Sumenep. Tempat Ahmad tinggal.
Jubede ini sejenis camilan dengan rasa manis yang dibuat sedemikian rupa dan bentuk yang juga unik. Bentuknya imut sekitar telunjuk jari, diikat menggunakan pelepah daun aren sebagai talinya. Sangat unik dan mengundang perhatian kala disajikan saat lebaran.
Untuk membuat Jubede, sebenarnya terbilang mudah. Bahan-bahan yang dibutuhkan juga mudah didapat. Yakni, air nira, tepung jagung, tepung tapioka, dan gula pasir. Bahan-bahan tersebut dicampur dengan takaran satu banding satu. Tepung jagung dan tapioka dicampur dan dimasukkan ke dalam rebusan air nira sampai larut. Kemudian ditambah gula pasir. Kalau tepungnya satu kilo, gula pasirnya juga satu kilo. Setelah larut, campuran tepung dan air nira didinginkan dan dijemur di terik matahari. Butuh sekitar dua hari agar Jubede benar-benar kering dan bisa dimakan. Jika di musim hujan, pengeringan bisa sampai tiga atau empat hari.
Meski dibuat dari bahan tepung tapioka dan tepung jagung, tapi rasa yang dominan pada Jubede tetap gula merah. Rasa jagungnya hilang. Tinggal aroma gula merahnya yang kental terasa.
Seiring berkembangnya zaman, kini camilan unik ini dapat dijumpai di sejumlah minimarket dalam kemasan yang dibungkus mika. Dengan demikian, tampilannya juga cukup menarik dan lebih menggugah selera. Rasa yang ditawarkan pun berbeda tidak hanya sekadar manis, ada rasa pedas jahe dan hangat di kerongkongan saat Jubede ditelan. Jika ingin tahu lebih lanjut, kalian bisa cek google untuk mengetahui bentuk dari makanan ini.
Sambil menikmati Jubede ini, Ahmad bercerita pada Bapaknya kalau Mbah Hesa sedang sakit di rumah, jadi malam ini mereka pulang lebih cepat karena Mbah Anum harus menemani Mbah Hesa. Bapaknya Ahmad menyarankan Ahmad dan teman-temannya untuk membesuk Mbah Hesa di kediamannya sepulang sekolah.
"Kau tahu Ahmad, apa keutamaan menjenguk atau membesuk orang sakit?" Bapaknya bertanya sambil memasukkan Jubede kesekian ke mulutnya. Ahmad menggeleng.
"Ada salah satu Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, 'Barang siapa menjenguk saudaranya yang sakit maka dia senantiasa berada di Khurfatul jannah sampai dia pulang.' Lalu salah satu sahabat bertanya kepada beliau, 'Wahai Rasulullah, apa khurfatul jannah itu? Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Memetik buah dari surga.'"
"Ada lagi keutamaan dari menjenguk orang sakit itu, jika seorang muslim menjenguk muslim yang lain pada pagi hari, maka 70.000 malaikat akan bershalawat (mendoakan ampunan) baginya sampai sore hari. Jika menjenguk pada sore hari maka 70.000 malaikat akan bershalawat baginya sampai pagi hari. Dia pun berhak untuk memiliki buah-buahan yang dipetik di surga. Begitulah salah satu keutamaan dari menjenguk orang sakit, Ahmad." Ahmad mengangguk paham atas penjelasan bapaknya.
"Besok bawa Jubede ini sebagai buah tangan, Ahmad," Mamak Yani tida-tiba menyeletuk.
"Dan sekarang cepat tidur sudah hampir jam sepuluh malam, besok kau harus sekolah. Dan ingat, jangan beli undian kertas itu lagi," Mamak Yani mengancam.
Setengah jam kemudian, lampu di ruang keluarga dimatikan. Saatnya tidur.
Diselesaikan di Sumenep, 04 Januari 2023
Komentar
Posting Komentar