Langsung ke konten utama

CERPEN "SELEPAS MAGHRIB (1)", Oleh: Erka Ray


Selepas Maghrib (Bagian 1)



"Ayo cepat sedikit, Dika. Yang lain sudah menunggu." Ahmad melambai-lambaikan tangannya menunggu Dika. Dan yang dipanggil sedang pontang-panting berlari sambil menjinjing sarungnya yang kedodoran dan Al-Qur'an kecil berwarna biru keemasan. 

"Tunggu." Dengan napas tersengal mereka akhirnya sejajar. 

"Kita masih akan menunggu Lina dulu. Di mana gadis itu kenapa tidak sampai-sampai," ucap Ahmad sambil melihat jalan ke rumah Lina.

"Kau ini sabarlah, sebentar lagi dia pasti datang." Dika masih sibuk membenarkan sarungnya, dan menitipkan Al-Qur'an nya kepada Ahmad.

Sekarang memang sudah sore. Di desa mereka, menjelang Maghrib, anak-anak akan pergi ke surau atau langgar untuk mengaji pada guru mengaji mereka. Di sini mereka mengaji pada Mbah Anum, begitu orang-orang memanggilnya. Mbah Anum ini baik sekali dan juga sabar menghadapi anak-anak yang bandel saat belajar mengaji. Tetap telaten mengajari bacaan-bacaan Al Qur'an sampai bisa. Kemudian dari mengajinya tersebut ditutup dengan kisah-kisah Nabi dan Rasul selepas shalat isya' berjamaah.

"Aku datang." Sulaiman nampak berlari menerobos gerimis. "Maaf lama, Kawan. Aku harus membelikan ibu tepung dulu di tokonya Mbak Tina," lanjutnya. 

"Ini masih kurang Lina dan Dinda. Mereka selalu saja telat. Dasar perempuan. Sekarang matahari sudah hampir terbenam, kita harus sampai sebelum Maghrib dan sebelum gerimis ini semakin deras." Ahmad bersungut-sungu, tidak sabaran. 

Selang dua atau tiga menitan. Akhirnya Lina dan Dinda datang dengan payung yang sudah mengembang anggun. Setelahnya, mereka langsung berangkat sambil diselingi suara Ahmad yang mengomel soal mereka yang selalu saja terlambat. Tidak tepat waktu. 

Mereka melewati rumah-rumah penduduk yang padat. Lampu-lampu di teras sudah mulai menyala. Dengan siluet langit yang mendung dan gerimis, cukup indah memandang desa ini. 

Dari kejauhan, lampu di teras Langgar sudah menyala. Terlihat Mbah Anum sedang menyapu tempias air di teras agar anak-anak yang lewat tidak terjatuh karena licin.

"Assalamualaikum," ucap mereka serempak. Mbah Anum takzim menjawab salam, kemudian mereka menciumi tangannya. 

"Kalian kenapa hujan-hujanan? Kenapa tidak menggunakan payung seperti Lina dan Dinda?" tanya Mbah Anum, saat melihat baju Ahmad dan yang lain sedikit basah.

"Waktu kami berangkat tidak hujan Mbah, hujan ini baru turun saat di perjalanan," Sulaiman yang menjawab sambil mengibas-ngibaskan bajunya.

"Ya sudah, cepat ambil wudhu, sebentar lagi kita shalat Maghrib berjamaah. Sekarang giliran kamu yang Azan, Dika," ucap Mbah Anum. Yang disinggung langsung terkaget-kaget.

"Eh, kenapa saya Mbah?" Dika kebingungan. 

"Memang saatnya bagian kamu. Yang lain kan sudah."

"Bukannya giliran Hafiz ya, Mbah?" Dika masih sibuk berbelit, tidak ingin disuruh Azan. 

"Sudah jangan banyak alasan, Azan saja Dika." Mbah Anum kemudian berlalu dari hadapan mereka. 

Yang lain kompak menatap Dika dengan ekspresi menakut-nakuti.

Di langgar ini sistemnya memang begitu. Semua anak laki-laki akan bergantian untuk Azan setiap harinya. Berhubung mereka ke langgar ini cuma saat Maghrib dan isya', jadi anak-anak itu akan bergantian azan saat maghib dan isya'. 

Selang sepuluh menit, semuanya sudah selesai berwudhu. Saat waktu Maghrib tiba, Dika maju untuk mengumandangkan azan. Awalnya dia gemetar, tapi tugas adalah tugas dan harus dikerjakan. Setelah Azan mereka serempak membaca doa setelah azan. Kebiasaan baik harus dimulai dari diri sendiri dan lingkungannya, begitu menurut Mbah Anum. 

Mbah Anum maju untuk menjadi imam shalat. Anak-anak laki-laki mulai berebut Saf terdepan. Saling senggol. Mbah Anum mengatur mereka agar tidak ribut. Sedangkan anak-anak perempuan sudah berbaris rapi di saf belakang. Setelahnya, mereka melaksanakan shalat Maghrib dengan khidmat dan penuh ke khusuan. Suara hujan di luar terdengar semakin deras, diselingi suara petir yang sambar menyambar dilengkapi pula dengan angin yang sedikit kencang. 

Selepas shalat Maghrib mereka mengaji surat-surat pendek bersama dulu, sebelum akhirnya mengaji satu-satu kedepan dengan melanjutkan bacaan masing-masing. 

Mereka serempak membaca Bismillah. Mbah Anum memilih surat Al Alaq. Kenapa Mbah Anum memilih surat ini, apa keistimewaannya? Banyak. Terlepas dari surat ini merupakan surat yang bertama kali di turunankan kepada Nabi Muhammad di Gue Hiro, surat ini memiliki segudang manfaat dan keutamaannya. 

Salah satunya, surat Al Alaq artinya mengandung perintah untuk membaca. Lalu apa sebenarnya arti surat Al Alaq? Memahami arti surat Al Alaq tentu penting diketahui terutama bagi umat muslim. Sebab surat Al Alaq menjadi salah satu surat dalam Al-Qur'an yang menjelaskan mengenai asal muasal manusia yakni dari segumpal darah.

Karena itulah apa arti surat Al Alaq adalah Segumpal Darah. Sementara itu surat Al Alaq artinya juga menjelaskan mengenai pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan serta meningkatkan keimanan terhadap Allah SWT yang menjadi pencipta alam semesta beserta segala sumber pengetahuan. 

Selesai membaca surat Al-alaq. Anak-anak maju satu persatu untuk melanjutkan bacaan mereka. 

Dika, yang lagi-lagi terlihat tidak lancar membaca. Mbah Anum telaten sekali mengajarinya. Mengulang-ulang kalimat demi kalimat. 

Sedangkan suara hujan di luar tidak kalah nyaring dengan suara mengaji anak-anak. Petir kembali sambar-menyambar. Kilatannya sampai terlihat di kisi-kisi jendela langgar. 

"Mbah, nanti kisah Nabi mana yang akan Mbah ceritakan," Ahmad bertanya setelah mereka berdua belas selesai membaca satu persatu. Yang mengaji di langgar itu ada dua belas anak, enam laki-laki enam perempuan. 

"Sepertinya, Mbah tidak akan bercerita malam ini, Ahmad," ucap Mbah Anum sambil menutup Al Qur'an nya. 

Wajah-wajah mereka serempak menoleh. Bertanya kenapa lewat raut wajah.

"Mbah Hesa sakit di rumah. Jadi Mbah harus pulang menemani beliau," ucap Mbah Anum menatap pada mereka.

Mbah Hesa ini adalah istri dari Mbah Anum, beliau baik sekali kepada kami. Pernah suatu malam selepas shalat isya' berjamaah, Mbah Hesa datang dengan rantang besar terisi penuh dengan kolak pisang dan kacang hijau. Jadilah malam itu mereka yang di langgar bersama-sama menyantapnya sambil Mbah Anum bercerita mengenai kisah salah satu Nabi dan Rasul yang tertelan dalam perut ikan paus. 

Saat waktu isya' datang, Dika kembali mengumandangkan azan. Setelahnya mereka melaksanakan shalat berjamaah. Lalu pulang bersama-sama dengan hati yang tidak puas karena tidak mendengar cerita Nabi dan Rasul dari Mbah Anum.

"Sudahlah, masih ada besok-besok untuk cerita itu. Kita harus mengerti keadaan Mbah Anum yang harus menemani Mbah Hesa yang sedang sakit." Dika tiba-tiba jadi bijak sekali malam ini.

"Mari menghilangkan sedih di tokonya Mbak Tina. Kita beli undian kertas itu. Siapa tau nanti dapat setoples Astor," ucap Sulaiman. Kami menyepakatinya. Langsung berlari di antara jalan-jalan yang becek bekas hujan.


Diselesaikan di Sumenep, 03 Januari 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI NOVEL JANJI KARYA TERE LIYE, Oleh: Erka Ray

Judul Resensi: Sepanjang Janji Digenggam  Judul Buku: Janji Penulis: Tere Liye Bahasa: Indonesia Penerbit: Penerbit Sabak Grip Tahun Terbit: 28 Juli 2021 Jumlah Halaman: 488 halaman ISBN: 9786239726201 Harga Buku: -  Peresensi: Erka Ray* Penulis dengan nama asli Darwis ini terkenal dengan nama pena Tere Liye. Dunia buku dan tulis menulis tentu tidak akan asing lagi. Pria kelahiran Lahat Sumatera Selatan 21 Mei 1979 ini sudah mulai menulis sejak masih sekolah dimulai dari koran-koran lokal. Selain seorang penulis dia juga merupakan seorang Akuntan dan juga lulus Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Tere Liye memilih berbeda dengan penulis lainnya, dengan tidak terlalu mengumbar identitas dan jarang menghadiri seminar, workshop kepenulisan dan lain-lain. Novel Janji ini merupakan novel ke sekian yang telah ditulisnya. Mulai menulis sejak tahun 2005 dengan karya pertamanya yaitu "Hafalan Salat Delisa" yang telah diangkat menjaga film layar lebar. Selain itu j...

NOVELETTE - "KEPAL TANGAN", Oleh; Erka Ray

Pagi hari, kehidupan mulai menggeliat di sebuah pedesaan. Satu dua jendela rumah mulai dibuka oleh pemiliknya. Ayam tak berhenti berkokok sahut-sahutan dengan suara kicau burung di atas sana. Dari arah timur mentari mulai muncul. Cahayanya menyirami persawahan dengan padi yang mulai membungkuk memasuki usia panen, menyapa ladang penduduk dengan beranekaragam tanaman. Embun di rumput-rumput sebetis mulai menggelayut, diinjak oleh orang-orang yang mulai pergi ke ladang pagi ini. Menjemur punggung dibawah terik matahari sampai siang bahkan ada yang sampai sore hari.  Terdengar suara ibu-ibu memanggil seorang tukang sayur. Teriakan ibu-ibu memanggil anak-anak yang bandel susah disuruh mandi untuk berangkat sekolah. Teriakan ibu-ibu yang meminjam bumbu pada tetangganya. Kehidupan di desa ini sudah mulai menggeliat sejak subuh dengan suara air yang ramai di kamar mandi. Suara adzan yang nyaring sekali, terdengar kesemua penjuru.  Anak-anak berseragam dengan tas besar ter...

PUISI "SAJAK TOPLES KOSONG", Oleh: Erka Ray

Aku toples yang diambil pagi-pagi dalam lemari  Kemana aku dibawa Meja yang habis dilap itulah tempatku berada Aku toples yang dibuka dengan gembira  Tangan tuan rumah, tangan tamu-tamu menjamah isi dalamku Aku ditawarkan, "Mari makan" "Mari dicicipi" Aku toples yang gembira di hari raya Itu aku, Itu aku yang dulu Kemana aku hari ini? Aku adalah toples yang membisu di dalam lemari  Badanku kosong Tangan-tangan tua dan muda tak menjamahku Tuan rumah acuh kiranya, Kemana uangnya untuk membeli isi yang biasanya diletakkan pada tubuhku  Pun rumah ini sepi  Tuan rumah seperti mati di hari raya Di mana aku? Aku ada dalam lemari saat hari raya Aku tak diambil pagi-pagi untuk diletakkan di atas meja ruang tamu Tuanku tengah miskin  Tuanku tak ada uangnya Tuanku membuatku tak lagi diperlihatkan pada tamu-tamunya  Dan tuanku rumahnya tak bertamu Sumenep, 11 April 2024