Langsung ke konten utama

CERMIN - "KISAH MBAK RINDU", Oleh: Erka Ray

Aku tidak tahu siapa namamu, Mbak. Tapi kamu tampak lebih muda dariku. Tapi mungkin kamu lebih berpengalaman tentang luka.

***

Entah siapa kamu, tapi aku memperhatikanmu sejak kamu masuk bus dengan tubuh yang oleng dan langsung permisi duduk di sampingku karena aku duduk di kursi paling depan dekat pintu bus. 

"Permisi, Mas. Boleh saya duduk di sini?" 

Kamu sopan sekali Mbak, tapi memang seharusnya permisi terlebih dahulu 'kan. Aku sebenarnya sengaja duduk di depan, ingin melihat kota yang aku kunjungi dengan jelas, ingin mengenangnya. Sebenarnya aku juga ingin duduk sendiri. Tapi aku mempersilahkan kamu duduk di sampingku, Mbak. Alih-alih menjawab silahkan, aku malah hanya mengangguk kikuk. 

Kamu nampak kesusahan melepas tas. Berat kah Mbak? Kalau aku membantumu, nanti apa katamu. Pasti kamu akan mengira aku laki-laki yang modus, padahal aku tak tega saja terlihat kamu kesusahan. Lagipula kenapa aku memiliki sikap penolong yang tinggi dan bukan pada tempatnya. Bisa jadi kamu akan mengecapku sebagai penjahat di bus ini. 

Tapi jujur, lucu Mbak. Kamu lucu dengan tingkahmu yang diam seribu bahasa di sampingku. Aku tahu kamu membuat jarak di antara kita, sehingga dengan bus yang melaju dengan cepat seperti ini kamu sering oleng dan harus berkali-kali membenarkan posisi dudukmu. Berbeda dari perempuan lain yang aku temui selama ini. Tidak diduga sama sekali aku harus duduk satu kursi dengan perempuan antah berantah seperti dirimu Mbak. Ah siapa namamu Mbak? Haruskah aku mengajak berkenalan? Alih-alih mengajak berkenalan aku malah mengecek handphone berkali-kali, curi-curi pandang berkali-kali. Wajahmu Mbak. Wajahmu lucu dengan pipi yang tembem serius sekali menyimak percakapan supir bus dan kernetnya yang menggunakan bahasa Jawa. 

Kamu nampaknya dari kota ini Mbak. Aku dari kota diseberang jembatan nasional sana. Aku dulu berkuliah di kota ini, tapi aku terpaksa harus pergi dari kota ini. Seseorang di kota ini menyakitiku. Membuatku lebai bukan kepalang. Seakan mati tapi hidup, hidup tapi mati. Aku pergi dari kota ini karena mempertahankan kewarasanku karena saat kami wisuda dia menggandeng orang lain di depanku padahal kami baru saja putus. Semoga kamu tidak merasakan hal ini Mbak, menemani tumbuhnya seseorang tapi saat dia berbunga mendapat pujian dari banyak orang, ratusan tepuk tangan, dia membuang pupuk yang membuatnya tumbuh seakan pupuk itu adalah kotoran yang tidak berguna.  

Aku baru kembali mengunjungi kota ini setelah sekian lama Mbak, kembali setelah aku waras sepenuhnya. Maka sekarang aku berada di bus ini untuk pulang ke kotaku setelah tiga hari mengelilingi kota tempatku berkuliah. Lalu aku duduk denganmu tanpa sengaja. Apa kamu jodohku Mbak? Lucu sekali padahal kita tidak saling bertegur sapa, tapi aku malah bertanya perihal jodoh. Bukankah lucu Mbak jika ternyata kita saling membenak dalam hati satu sama lain untuk saling bertegur sapa. 

Bus terus melaju dengan cukup cepat. Mungkin supir bus nya sedang mengejar setoran. Disalip dikit sama bus yang lain, dia sudah risau bukan kepalang. Aku diam seribu bahasa, menatap keluar jendela, tapi ujung mataku menangkap dirimu Mbak. Aku melihatmu kesakitan memegang kakimu yang diinjak ibu-ibu tadi. Kasian sekali. Kakimu sih Mbak menghalangi jalan. Eh tidak, kamu memposisikan kaki menghadang di jalan karena kamu menjaga jarak denganku. Aku wangi kok Mbak, tidak apa sebenarnya dekat-dekat. Siapa tahu kita jodoh. 

Saat bus menikuk tajam di belokan kamu hampir terjungkal ke samping dan ke depan Mbak. Aku reflek ingin memegangimu, tapi buru-buru kutarik kembali tanganku. Takut sekali kamu merasa dilecehkan kalau aku pegang-pegang. Semoga kamu tidak melihat tanganku yang terangkat tadi. Tapi kamu kasian Mbak. Kamu tidak apa-apa kan? Ujung mataku terus berusaha memastikan kalau kamu baik-baik saja Mbak. 

Biasanya aku tidak pernah bermonolog seperti ini hanya karena bertemu perempuan. Aku cuek dan bodo amat. Tapi kamu punya daya tarik tersendiri Mbak. Aku suka kamu di pandangan pertama. Kamu wangi, parfummu khas sekali. Pipimu yang tembem, wajahmu dengan polesan make up yang natural yang seakan penuh kegembiraan saat ditatap, matamu yang sedikit lebar, bulu mata yang melentik, sepertinya dijepit ya Mbak bulu matamu. Jangan lupakan senyummu Mbak, senyummu manis. Tadi tidak sengaja aku melihatmu tersenyum pada ibu-ibu yang hendak turun. Boleh kamu tersenyum padaku saja Mbak. Aku tersipu malu meksipun aku diam seribu bahasa tanpa ekspresi dan gerak tubuh seperti ini. 

Tidak terhitung berkali-kali aku ingin berucap mengajakmu berbincang Mbak.

"Mau kemana, Mbak?"

"Mbak orang mana dan mau ke mana?"

"Mbak anak kuliahan ya?"

"Mbak busnya ngebut ya?"

"Harinya cerah ya."

Banyak sekali Mbak intro percakapan yang ingin aku ucapkan, dari yang paling bagus, sopan, elegan, keren sampai intro percakapan paling norak pun aku ada Mbak. Sayangnya semuanya menguap dipikiran saja, aku tidak berani mengajakmu berbincang karena takut mengganggumu.

Perjalanan ini jadi menyenangkan sekali Mbak. Semuanya berkatmu. Terimakasih. Semoga kamu tidak cepat turun Mbak. Aku masih ingin duduk bersebelahan denganmu. Ah sial, kamu mau kemana Mbak. Kenapa sudah memakai kembali tas punggungmu. Aku celingukan ke luar jendela, bus ternyata sudah memasuki terminal. Kamu akan turun di sini Mbak? Cepat sekali. Padahal aku baru sebentar bermonolog tentang dirimu. 

Bus akhirnya berhenti dengan mulus di terminal. Pedagang asongan mulai merayapi. Tak sabaran ingin masuk ke dalam bus menjajakan jualannya. Kamu mulai berdiri Mbak. 

"Saya duluan, Mas." Suara itu akan aku dengar untuk terakhir kalinya. Terimakasih Mbak karena masih sempat menoleh menyapaku lagi. Aku kikuk dan bodohnya bukan bersuara menjawab 'iya', aku malah hanya mengangguk dengan tidak berani menatap matamu Mbak. Sial. 

Kamu perlahan-lahan menuruni tangga bus, mataku masih mengikuti pergerakanmu. Tubuhmu yang tidak terlalu tinggi dan menggendong tas terlihat lucu di mataku. Eh, aku baru sadar ternyata baju kita senada ya Mbak. Sama-sama hitam. Kita jodoh sih Mbak seharusnya. Aku buru-buru menunduk melihat handphone membuka kameranya, aku izin memotretmu Mbak. Tolong jangan tuntut aku dengan pasal berlapis suatu saat jika kamu tahu aku memotretmu diam-diam. 

Lucu sekali Mbak kamu saat dipotret. Kamu tidak ingin menoleh menatapku Mbak, atau berpura-puralah melihat busnya saja setidaknya aku melihat wajahmu lagi. 

Ajaib, kamu mendengarku kah Mbak. Kamu menoleh ke arah bus. Kamu tersenyum Mbak. Kamu manis sekali. Jadi jodohku saja ya Mbak. Aku kegirangan sekali. Ah sayang sekali kamu hanya menoleh sebentar dan melanjutkan perjalanan. Kamu lucu, kamu manis Mbak, tapi sayang aku tidak tahu namamu. Kiranya aku akan memanggilmu siapa Mbak. Nampaknya kamu lebih muda dariku, apakah kamu salah satu mahasiswa di universitas samping terminal ini Mbak. Haruskah aku memanggilmu Mbak Rindu? Ah sial, aku tersipu lagi. 

Bertemulah kembali denganku Mbak suatu saat. Berjodohlah denganku Mbak. Binalah rumah tangga denganku. Murahan sekali hatiku Mbak, langsung jatuh cinta padamu padahal kita sama sekali tidak saling berbicara. Intinya bertemulah denganku lagi Mbak dalam keadaan lebih baik. 


Sumenep, 14 September 2025

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI NOVEL JANJI KARYA TERE LIYE, Oleh: Erka Ray

Judul Resensi: Sepanjang Janji Digenggam  Judul Buku: Janji Penulis: Tere Liye Bahasa: Indonesia Penerbit: Penerbit Sabak Grip Tahun Terbit: 28 Juli 2021 Jumlah Halaman: 488 halaman ISBN: 9786239726201 Harga Buku: -  Peresensi: Erka Ray* Penulis dengan nama asli Darwis ini terkenal dengan nama pena Tere Liye. Dunia buku dan tulis menulis tentu tidak akan asing lagi. Pria kelahiran Lahat Sumatera Selatan 21 Mei 1979 ini sudah mulai menulis sejak masih sekolah dimulai dari koran-koran lokal. Selain seorang penulis dia juga merupakan seorang Akuntan dan juga lulus Sarjana Ekonomi Universitas Indonesia (UI). Tere Liye memilih berbeda dengan penulis lainnya, dengan tidak terlalu mengumbar identitas dan jarang menghadiri seminar, workshop kepenulisan dan lain-lain. Novel Janji ini merupakan novel ke sekian yang telah ditulisnya. Mulai menulis sejak tahun 2005 dengan karya pertamanya yaitu "Hafalan Salat Delisa" yang telah diangkat menjaga film layar lebar. Selain itu j...

NOVELETTE - "KEPAL TANGAN", Oleh; Erka Ray

Pagi hari, kehidupan mulai menggeliat di sebuah pedesaan. Satu dua jendela rumah mulai dibuka oleh pemiliknya. Ayam tak berhenti berkokok sahut-sahutan dengan suara kicau burung di atas sana. Dari arah timur mentari mulai muncul. Cahayanya menyirami persawahan dengan padi yang mulai membungkuk memasuki usia panen, menyapa ladang penduduk dengan beranekaragam tanaman. Embun di rumput-rumput sebetis mulai menggelayut, diinjak oleh orang-orang yang mulai pergi ke ladang pagi ini. Menjemur punggung dibawah terik matahari sampai siang bahkan ada yang sampai sore hari.  Terdengar suara ibu-ibu memanggil seorang tukang sayur. Teriakan ibu-ibu memanggil anak-anak yang bandel susah disuruh mandi untuk berangkat sekolah. Teriakan ibu-ibu yang meminjam bumbu pada tetangganya. Kehidupan di desa ini sudah mulai menggeliat sejak subuh dengan suara air yang ramai di kamar mandi. Suara adzan yang nyaring sekali, terdengar kesemua penjuru.  Anak-anak berseragam dengan tas besar ter...

PUISI "SAJAK TOPLES KOSONG", Oleh: Erka Ray

Aku toples yang diambil pagi-pagi dalam lemari  Kemana aku dibawa Meja yang habis dilap itulah tempatku berada Aku toples yang dibuka dengan gembira  Tangan tuan rumah, tangan tamu-tamu menjamah isi dalamku Aku ditawarkan, "Mari makan" "Mari dicicipi" Aku toples yang gembira di hari raya Itu aku, Itu aku yang dulu Kemana aku hari ini? Aku adalah toples yang membisu di dalam lemari  Badanku kosong Tangan-tangan tua dan muda tak menjamahku Tuan rumah acuh kiranya, Kemana uangnya untuk membeli isi yang biasanya diletakkan pada tubuhku  Pun rumah ini sepi  Tuan rumah seperti mati di hari raya Di mana aku? Aku ada dalam lemari saat hari raya Aku tak diambil pagi-pagi untuk diletakkan di atas meja ruang tamu Tuanku tengah miskin  Tuanku tak ada uangnya Tuanku membuatku tak lagi diperlihatkan pada tamu-tamunya  Dan tuanku rumahnya tak bertamu Sumenep, 11 April 2024