"Seperti Anjani yang kehilangan Mas Laut dalam tragedi demo tahun 1998 dalam novel 'Laut Bercerita', semoga Mas Bulan tidak pernah kehilangan siapapun dan apapun. Itu doaku. Doa sepintas saat kita bertemu."
Aku tidak tahu siapa nama Mas Bulan, tapi karena wajahmu teduh layaknya bulan saat ditatap, maka aku menamaimu 'Mas Bulan'. Laki-laki pertama yang kutemui di bus, yang tidak basa-basi menyapa perempuan yang duduk di sebelahnya. Kau tak menyapaku sama sekali, Mas. Tak seperti laki-laki lain. Mereka para lelaki baik tua atau muda masih sering basa-basi menyapaku di dalam bus dengan berbagai perangai modusnya. Aku tak suka laki-laki atau siapapun yang mengajakku berbicara saat di bus. Aku mual, Mas. Aku sakit kepala, ngantuk bukan kepalang. Dan mereka masih basa-basi menyapaku, menggangguku yang hanya ingin menatap pemandangan dari kaca bus. Padahal aku sama sekali tidak terbesit untuk basa-basi mengajak berbicara siapapun di dalam bus. Kecuali, orang tua yang sepuh demi sopan santun yang terus kujunjung tinggi.
Aku tanpa sengaja bertemu denganmu, Mas. Aku yang terburu-buru menaiki bus karena supir bus sudah langsung tancap gas saat kakiku baru naik sebelah di pintu bus. Melihat kursi kosong di bagian depan, aku tanpa pikir panjang memilih duduk di sana.
"Permisi boleh saya duduk di sini?" Demi sopan santun aku permisi untuk duduk di sebelahmu, Mas.
"Silahkan." Kau dengan suara lirih yang nyaris tidak terdengar mempersilahkanku dan mengambil tas punggungmu dari kursi itu memindahkan ke bawah kakimu.
Kau diam Mas saat aku sudah mulai duduk. Sama sekali tidak terganggu dengan aku yang riweh membuka tas punggung yang berat berisi laptop dan sedikit baju. Takut sekali ujung tasku mengenai lenganmu Mas.
Dari sependek ingatanku, kau menggunakan baju serba hitam, dan tentu saja kau wangi, Mas. Parfummu sedikit tercium untuk jarak yang sedekat ini. Tubuhmu yang tak terlalu berisi tidak juga kurus. Rambut yang cukup rapi. Wajahmu mulus Mas tanpa jerawat dengan kulit berwarna kuning Langsat. Alih-alih aku menyebutmu tampan. Matamu sering melihat ke arah bawah. Aku menyukaimu, tampilanmu, Mas.
Selang 10 menit, sama sekali tak ada pembicaraan di antara kita. Hanya pembicaraan antar supir bus dan kernetnya yang aku dengarkan sejak tadi. Dari ujung mataku, aku melihat kau merogoh saku mengambil handphone. Agaknya, kau mengetik pesan di sana. Ah ya, aku terpesona denganmu Mas tanpa perlu kau berbicara satu katapun padaku setelah mempersilahkanku duduk. Dan kebetulan sekali baju kita sama, aku juga sedang memakai baju serba hitam. Bukankah kita akan terlihat seperti pasangan bagi orang yang tidak tahu. Tapi jika orang yang teliti, mereka akan tahu aku sedikit memberi jarak antara tubuh kita. Takut sekali bajuku menyentuh bajumu dan mengusikmu.
Orang-orang mulai silih berganti turun. Karena aku duduk di kursi paling depan dan di paling pinggir. Tas orang yang akan turun sering kali menyenggolku. Salah satu dari mereka bahkan ada yang menginjak kakiku. Oh shit! Dan anehnya kau tetap tidak bergeming Mas saat aku sibuk mengelus-elus kakiku yang sakit. Bahkan saat bus itu menikuk tajam di belokan, dan aku hampir oleng ke samping, kau tetep tak bergeming. Kau tak peduli denganku yang hampir jatuh. Aku hanya bisa sibuk memaki di dalam hati.
Bukankah kita cocok Mas. Kita sama-sama tidak suka berbicara di dalam bus. Atau bisa jadi kau memang tak suka ada yang duduk di sebelahmu, tapi karena tidak enak menolakku yang sudak terlanjur permisi, maka kau mempersilahkanku dengan terpaksa.
Dalam diammu, aku yakin kau menghitung jarak dan jam. Memaki dalam hati berkali-kali, berharap aku cepat turun dan kau dapat menguasai kursi sepenuhnya. Dan doamu terkabul Mas. Tujuanku hanya kabupaten seberang yang jaraknya tak terlalu jauh. Bus mulai memasuki terminal, kernet bus berteriak-teriak memberitahu penumpang jika bus sudah sampai di terminal barang kali ada penumpang yang hendak turun atau hendak pergi ke toilet sebentar. Aku memasang kembali tas punggungku. Masih dengan keriwehan yang sama. Tas ini berat karena laptop di dalamnya. Duh, takut sekali ujung tasku menyenggol lenganmu, Mas.
Bus akhirnya berhenti sempurna di terminal, pedagang asongan mulai berhamburan menaiki bus untuk menjajakan jualannya pada penumpang. Aku demi sopan santun lagi-lagi berbicara padamu untuk yang terakhir kalinya Mas.
"Duluan, Mas," kataku dengan tubuh yang sudah setengah berdiri.
Dan kau mengangguk samar dengan pandangan yang masih menunduk. Aku buru-buru menuruni bus bergantian dengan pedagang asongan yang berebut naik.
Sebelum benar-benar pergi, aku menoleh lagi ke bus itu. Kau terlihat dengan jelas Mas dari kaca bus. Kau sibuk menunduk. Mungkin sedang mengetik pesan lagi di handphone-mu. Aku tersenyum tipis. Kau rupanya tak turun di terminal ini. Kemana tujuanmu Mas. Yang aku tahu, kita dari kabupaten yang sama, mungkin kau di bagian timurnya. Eh tapi bisa jadi kau hanya sedang berkunjung ke kabupaten ku kan, lalu menaiki bus untuk pulang ketempat asalmu. Semuanya serba mungkin.
'Semoga selamat sampai tujuan, Mas. Semoga di suatu ketidaksengajaan berikutnya kita bisa bertemu kembali.' kataku dalam hati sambil lalu terburu-buru meninggalkan terminal bus dengan segala kesibukan pedagang asongan yang sibuk menggoda pembeli dengan kacang yang harganya dua ribu.
Kisah inipun selesai. Berbulan-bulan berikutnya tidak ada lagi Mas Bulan di dalam bus. Tidak ada ketidaksengajaan itu lagi. Dan aku sudah mulai lupa dengan raut wajahmu Mas, sebab kita hanya sekali bertemu dan aku adalah orang yang pelupa dengan wajah seseorang jika hanya sekali bertemu. Aku hanya berharap semoga orang seperti Mas Bulan akan terus aku temui di setiap perjalananku dalam bus. Orang-orang yang tidak sibuk sok modus mengajak berbicara seorang perempuan.
Sumenep, 31 Agustus 2025
Komentar
Posting Komentar