Hari Rabu 24 Juli.
Sejauh mata memandang terlihat kesibukan. Ini masih pagi, tapi sepagi ini peluh orang-orang telah mengucur deras di dahi. Baju-baju kumal sudah tak terlihat warnanya. Suara bising dari mesin pemotong kayu memekakkan telinga. Masih jam delapan pagi, tapi matahari di atas sana sudah terik sekali. Truk-truk besar dan kotor hilir mudik kesana kemari membawa angkutannya, ban yang kasar, supir yang ugal-ugalan sebab lelah, debu-debu beterbangan dari bekas lindasan truk membuat mata merah.
"Ayo cepat, pindahkan kayunya ke atas truk." Seseorang berteriak dari samping truk pada orang-orang yang tengah asik mengelap keringat. Agaknya orang itu adalah mandornya. Dari pagi tadi sudah menyetrap para pekerjanya untuk bergerak, tidak boleh istirahat, membual ini itu, janji-janji kosong.
"Tidak istirahat dulu, Bos?" Seseorang bertanya dengan napas tersengal sebab lelah.
"Nanti kau dapat jatah istirahat lebih banyak jika kau berkerja lebih keras."
Orang-orang pekerja itu sudah muak dengan bualan soal istirahat. Mereka terus bekerja dan bekerja di area pertambangan itu.
"Kalau bang Juna lelah, bang Juna bisa istirahat dulu. Biar aku dan yang lain yang akan memindahkan kayu-kayu itu."
"Tidak, Jef. Kita kerjakan pekerjaan ini bersama-sama," ucap Juna sambil menepuk bahu laki-laki berusia 25 tahun bernama Jefri.
Apa pertambangan ini ilegal, jelas tidak. Ini pertambangan legal di pedalaman Kalimantan. Proyek pembangunan besar yang akan dibuat di atas tanah Kalimantan, papua dan sulawesi. Negara telah bekerjasama dengan beberapa perusahaan terkenal dari luar negeri yang akan menghandle proyek besar ini. Rencananya di Kalimantan akan di bangun ibukota baru untuk mengantikan pusat ibukota lama. Selain itu juga akan di bangun perumahan-perumahan serta mall dan swalayan yang cukup besar sehingga harus membabat habis separuh hutan kalimantan.
Hutan papua juga demikian, di sana akan dibangun pabrik industri untuk mengolah bahan tambang. Juga akan membangun perhotelan dan wisata baru. Begitupun di Sulawesi hutan di sana akan dibabat habis untuk membangun industri perkantoran dan juga pabrik-pabrik baru agar tidak terpusat di surabaya.
Pengerjaan proyek ini dimulai dari Kalimantan dulu. Dimulai dengan menebangi pohon-pohon di hutan Kalimantan. Negara telah melakukan kesepakatan bahwa akan melakukan reboisasi di kawasan lain agar hutan tetap terlindungi dan tidak gundul. Alat-alat berat dan truk-truk besar mulai berdatangan ke lokasi pertambangan itu. Bahan-bahan bangunan juga mulai berdatangan dari ibukota yang akan digunakan untuk pembangunan proyek tersebut. Kebanyakan pekerja di pertambangan ini berasal dari kota, hanya beberapa orang yang dari penduduk setempat. Memang terdapat desa kecil di dekat proyek pertambangan itu, desa tempat Juna dan Jefri tinggal. Mereka berasal dari desa itu dan merupakan salah satu orang yang diambil untuk bekerja di proyek tersebut.
"Hutan daerah kita semakin hari semakin berkurang ya?" Salah seorang dari pekerja menyeletuk di sela-sela istirahat makan siang.
"Dulu aku ingat betul masih memanjat salah satu pohon di hutan ini, sekarang sudah tak ada lagi pohon-pohon itu, yang ada malah debu-debu dari bekas lindasan truk-truk besar."
"Ibuku baru-baru ini bertanya soal janji-janji para pejabat itu soal reboisasi. Mana katanya? Kenapa mereka belum melakukan penanaman pohon baru. Bisa-bisa gundul total hutan ini macam kepalanya Badrun," kata si Jazuli.
"Kenapa pula kepalaku kau sebut-sebut." yang disebut langsung menyeletuk sambil menyatukan alis.
"Eh, ya kan kepala bang Badrun memang botak. Apa aku salah?" Jazuli menjawab kikuk. Dan mendapat tatapan tajam dari Badrun.
"Kau tidak bertanya pada mandor itu Jef soal reboisasi itu?" Juna bertanya menatap Jefri.
"Sudah berkali-kali tak terhitung, Bang. Dia selalu saja menghindar."
Jefri memang sudah bertanya berkali-kali soal reboisasi yang dijanjikan pemerintah itu. Lantas apa jawaban mandor yang sok itu, dia berbelit-belit, membolak-balik perkataan, lalu membahas hal lain. Jadilah hal itu tak kunjung ada kejelasannya sampai sekarang. Padahal setiap Jefri kumpul-kumpul dengan penduduk desa baik ibu-ibu atau bapak-bapak mereka berulang kali membahas soal janji-janji itu. Mereka seperti dibohongi, hujan mereka sudah dibabat habis hampir separuh. Lantas apa yang diberikan pemerintah dari kota itu, mereka hanya terus berjanji dan berjanji untuk janji-janji berikutnya.
Seseorang tiba-tiba berdiri seperti tidak senang dengan pembahasan ini.
"Mau kemana kau?" Jazuli bertanya pada Jerico yang bangun membawa bungkus makanannya.
"Mau pindah tempat, Bang." Yang ditanya menjawab dengan muka datar lalu pergi tanpa menoleh lagi.
"Kenapa sih anak itu, seperti tidak suka mendengar pembahasan ini. Padahal dia dari desa kita. Seperti tidak suka betul kalau hutannya kembali hijau." Jazuli mukanya mulai sewot. Jerico memang selalu pindah tempat jika yang lain sedang membahas soal janji-janji pemerintah mengenai reboisasi. Jerico, Jefri, Juna, Jazuli, Badrun dan 16 orang lainnya yang totalnya 21 pekerja. Mereka adalah orang-orang dari desa deket pertambangan yang terpilih untuk bekerja di proyek pertambangan itu. Hanya Jerico yang terlihat berbeda, jarang kumpul, jika sedang berkumpul hanya diam, jika membahas soal reboisasi dia memilih pergi.
"Ayo bang kerja lagi. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak-tidak." Jefri menepuk bahu Jazuli, dia bangun lebih dulu, makanannya sudah habis. Tidak perlu berlama-lama, karena jam istirahat sebentar lagi akan berakhir dan mandor sialan itu akan pasti akan mengomel panjang lebar. Dan Jefri melas mendengarnya.
Jam terus berputar, suara mesin pemotong kayu berderit kasar memekakkan telinga. Peluh mengucur deras di dahi, baju-baju semakin kumal. Jefri sebenarnya tidak ingin bekerja di pertambangan ini, dia tahu pertambangan ini legal keberadaannya, tapi di satu sisi Jefri tahu dia akan menjadi bagian dari orang-orang yang jahat terhadap hutannya. Tapi mau tidak mau dia harus bekerja, dia butuh uang. Sejauh mata memandang hamparan hutan hijau berganti lahan-lahan gersang dan berdebu. Truk-truk besar ini membuat tanah-tanah dari hutan basah berganti serbuk abu yang membuat perih mata.
"Ayo bekerja lebih cepat, hari sudah sore. Cepat pindahkan kayu-kayu yang sudah dipotong memanjang itu ke dalam truk. Heh kau yang di sana jangan bengong, cepat pindahkan bahan-bahan bangun dari dalam truk yang baru datang ke gudang sebelah kanan kantor pusat." Mandor dengan topi kuning itu terus menceracau bersama debu-debu yang beterbangan.
Kamis, 25 Juli.
Pekerjaan tambang terus berlanjut. Hari ini pekerja tambahan didatangkan dari ibu kota untuk membuat fondasi bagi bangunan baru yang akan di bangun di sisi kiri kantor pusat. Entah sebagai bangunan apa, tapi nampaknya orang-orang yang didatangkan bukanlah orang-orang yang biasa, mereka pasti adalah orang-orang yang profesional di bidangnya.
Jefri menatap jerih dari kejauhan, kelelahan kerja. Proyek ini tampak serius sekali. Dia tidak tahu apa tujuan semuanya, tapi yang dia tahu hutannya hampir habis. Orang-orang desa terus protes soal pertambangan ini. Mereka menagih janji pemerintah soal reboisasi.
"Aku mengutuk pertambangan sialan itu. Dulu aku dan yang lain menyepakati soal penandatanganan lahan sebab omong mereka manis sekali. Janji reboisasi, ditebang satu ditanam seribu. Cuih! Dasar bedebah! Mereka adalah orang-orang yang menjijikan, menjilat kotoran sendiri. Mereka keluarkan lewat pantat lalu mereka letakkan di piring emas setelah itu mereka agung-agungkan kemudian dijilat lah kotoran sendiri. Munafik betul." Mbah Dullah bersungut-sungut dipertemuan mingguan warga kampung pekan lalu. Jefri inget betul, sebab dia ikut hadir dipertemukan itu, sebagai salah satu orang penting dan informan tim pekerja yang bekerja di proyek pertambangan itu.
"Jefri, apa kau bilang padaku tadi pagi? Mandormu pandai berbual, pandai berjanji? Cuih! Dia bahkan sama bedebahnya dengan pemerintah dari kota itu, Jefri. Kita tidak boleh tinggal diam lagi. Mereka semakin menguasai hutan kita. Mereka pikir mereka siapa di tanah leluhur kita."
Mbah Dullah berkacak pinggang, bersungut-sungut, suaranya berapi-api. Dia geram sekali sekarang. Dia bicara panjang lebar soal unek-unek. Begitu juga dengan warga desa lain di pertemuan mingguan itu, hampir semuanya berbicara dan mereka mengeluhkan hal yang sama.
Jefri tidak bisa tinggal diam. Teman-temannya yang sama bekerja di pertambangan ini juga mengeluh hal yang sama begitu juga dengan dirinya. Jefri harus berbuat sesuatu. Pertemuan rahasia harus segera digelar malam ini.
"Heh, kau melamun ya. Cepat bekerja, semakin rajin kau bekerja maka akan semakin banyak gajimu dan jatah istirahatmu." Mandor sialan itu muncul tiba-tiba di depan Jefri. Membuyarkan lamunan.
"Cepat bekerja, Sayang. Mama di rumah menantimu pulang dengan segepok uang." Mandor itu menepuk-nepuk pipi Jef, namun segera dia tepis. Najis betul disentuh tukang ingkar janji itu.
Dimulai di Sumenep, 24-25 Juli 2024
"Kita bisa apa, Jefri? Kita warga pedalaman, bahkan kita tidak punya senjata apa-apa untuk mengusir mereka dari hutan kita," seru salah seorang warga di acara pertemuan di minggu berikutnya.
Seperti yang dikatakan Jefri kemarin, dia akan menggelar pertemuan diam-diam untuk membahas lebih dalam tentang proyek pertambangan ini. Maka undangan pertemuan tersebut kemudian disebar dari bisikan mulut ke mulut hingga seluruh warga desa baik tua dan muda berkumpul untuk pertemuan itu.
"Aku muak sekali dengan pemerintah itu, Majid. Mereka dulu manisnya bukan main saat baru datang menawarkan kerja sama. Janjinya banyak betul. Aku ingat semua janji-janjinya." Mbah Dullah berkacak pinggang dalam pertemuan itu.
"Aku kesal, Midah."
"Duh, hutanku hilang, Mujib."
"Pemerintah sialan!"
"Diam! aku mohon diam lah!!" Jefri akhirnya angkat bicara.
"Aku mengumpulkan kalian di sini karena aku punya rencana. Tapi aku tidak bisa menjalankan rencana ini sendiri. Aku butuh bantuan kalian."
Ruang pertemuan itu lengang sejenak.
"Dan aku rasa, rencana ini cukup untuk menghentikan kegilaan para bedebah itu di hutan kita." Jefri menghela napas.
Tidak ada lagi yang berbicara di pertemuan itu, semuanya diam. Mata-mata fokus menyimak perkataan Jefri. Meski yang mengatakan tidak tahu apakah rencana ini akan berhasil atau tidak. Tapi yang jelas, dia harus melakukan sesuatu untuk mengakhiri semuanya sebelum terlambat.
Dari banyaknya orang-orang kampung yang datang, ada yang diam-diam menyeret kakinya mundur kebelakang. Menyimak dengan sorot mata yang sulit diartikan. Lantas kemudian balik badan pergi.
Siang harinya sambil peluh deras mengucuri dahi, panas matahari tidak mau mengurangi suhunya. Punggung terasa terpanggang hebat dengan kain lusuh yang dipakai dan atribut pekerjaan tambang. Truk-truk besar yang berlalu lalang tanpa henti, kepul debu beterbangan membuat merah mata.
"Kau yakin dengan rencanamu?" Jazuli berbisik di samping Jefri. Yang dibisiki mengangguk mantap.
"Itu terlalu beresiko. Kita tidak punya senjata apapun. Masak iya menggunakan cangkul dan sapu lidi. Bagaimana jika kita ketahuan dan kalah telak. Bisa mampus."
"Kau ini ingin hutan kita selamat kan?" Jefri bertanya balik.
"Kau bantu saja rencanaku agar berjalan lancar. Aku mengusahakan yang terbaik agar rencana ini berhasil, bang Jaz."
Mereka segera menghentikan bisik-bisik itu. Mata tajam mandor menatap awas mereka dari jauh. Lanjut bekerja, begitu isyarat matanya.
"Apa persiapanmu untuk rencana itu, Jef." Mas Wajid dan beberapa warga datang ke rumah Jefri juga disusul Jazuli, Badrun, Juna dan Jerico datang menghampiri rumah Jefri jam 7 malam.
"Aku denger kau membuat rencana untuk mengusir orang-orang itu dari hutan kita. Aku mendengar kabar itu dari mbah Dullah tadi malam. Maaf sekali aku sebagai kepala kampung tidak bisa ikut di pertemuan itu karena harus ke kota. Maka malam ini aku datang ke rumahmu Jef untuk menanyakan sendiri kejelasan rencanamu."
Iya, Wajid ini adalah kepala kampung atau kepala desa. Masih muda baru memiliki anak satu. Lantas kenapa, kepala kampung tidak harus selalu tua kan, bahkan yang muda siapa tahu bisa lebih memajukan kampung itu.
"Sudah cukup matang, Mas. Aku perlahan-lahan menyiapkan sendiri rencana itu. Tapi untuk melaksanakannya aku butuh kalian semua. Mari ikuti aku."
Jefri bangkit dari duduknya berjalan menuju bagian belakang rumah. Yang lain meskipun kebingungan tetap ikut di belakang Jefri.
Sampai di halaman belakang, Jefri membuka bangunan kosong di belakang rumahnya. Di kunci rapat masih harus dibuka dengan sepuluh pintu. Perlahan pintu itu terbuka, cahaya lampu bohlam berwarna keemasan menyinari ruang 4x3 itu. Benar-benar gudang yang berisi perabotan tidak terpakai milik keluarganya, tapi isi gudang itulah yang membuat Mas Wajid dan orang-orang kampung lainnya terbelalak.
"Apa ini, Jef?" Jazuli bertanya sambil mulutnya dibungkam. Dia masih terkaget-kaget.
Isi gudang ini sudah cukup menjawab seberapa matang rencana Jefri untuk mengusir para bedebah itu. Bagiamana tidak, lihatlah di gudang itu terdapat meja-meja yang diatasnya tersusun rapi senjata dengan jenis yang mematikan seperti pistol Glock 17 memiliki kapasitas magasin sebanyak 17 peluru, AK-47, AK-74 dan AK-101 senjata yang bisa ditembakkan dalam mode semi otomatis dan otomatis. Sedangkan di meja yang lainnya terdapat dua tumpuk granat dalam plastik transparan. Juga terdapat pisau-pisau dengan ukuran paling besar sampai yang paling kecil seujung jari kelingking.
"Kau, kau dapat dari mana semua ini, Jef?" Sambil menunjuk-nunjuk gemetaran Juna bertanya.
"Mencuri." Jefri menjawab sambil tersenyum tipis.
"Mereka mencuri kehijauan dari hutan kita kan, jadi aku rasa tidak apalah mencuri sedikit senjata yang dimiliki mereka di gudang sekat kantor utama."
"Aku siap membantumu Jefri. Mari ledakkan tambang itu, ledakkan semua alat berat itu, usir mereka dari hutan kita." Mas Wajid mengepalkan tangannya. Semangatnya memuncak.
"Aku akan membantu." Jazuli ikut mengepalkan tangan. Disusul Juna, Badrun dan beberapa orang lainnya.
***
Sumenep, 08 Januari 2025
Sial, siang hari setelah rencana itu diperbincangkan dengan orang-orang kampung dan Jefri juga sudah mengumpulkan senjata-senjata untuk persiapan orang kampung. Tiba-tiba saja, Rusdi Pemimpin tambang dari IbuKota datang. Rusdi ini umurnya sudah tua, perawakan kebapakannya sangat kuat, rambutnya memutih satu dua helai, tubuhnya tegap, dan masih cukup gagap nan kokoh untuk bapak-bapak tua seusianya. Anak buahnya tiba-tiba tanpa babibu menyeret Jefri yang sedang bekerja mengangkut kayu.
Bbbraakkk!!!
Terdengar suara meja dipukul sekuat tenaga.
"Aku tahu rencanamu anak muda."
Jefri terduduk lunglai di lantai, kehabisan tenaga. Dia setelah diseret ke sebuah ruangan 3x4 di bagian paling belakang tambang, dipukuli habis-habisan oleh anak buah Rusdi. Kedua anak buah Rusdi menonjok perutnya berkali-kali, memukul wajahnya tanpa henti, lalu memiting tubuhnya, dibanting ke lantai berkali-kali pula.
"Aku datang ke sini karena mendengar rencana gilamu. Siapa namamu tadi, ah ya, Jefri. Salah satu penduduk kampung yang dekat dengan pertambangan ini."
Rusdi mendekat lalu jongkok di depan Jefri yang hanya bisa menatap nanar dirinya. Darah segar mengalir dari sudut bibirnya.
"Rencanamu bodoh sekali Jefri. Ingat, lawanmu bukan aku, bukan juga anak buahku yang baru saja memukulimu tanpa ampun. Ada lawan di balik semua ini yang lebih nyata, lebih menyeramkan. Mereka sedang duduk rapi di ruangan masing-masing, duduk berbincang santai tentang laba keuntungan, profit dan rencana-rencana berikutnya. Lawanmu bukan aku anak muda. Kau terlalu bodoh membuat rencana. Alih-alih menginginkan kemenangan, kau akan ditelan hidup-hidup oleh mereka."
Jefri hanya menatapnya, tidak merespon. Tubuhnya remuk. Pikirannya berkecamuk. Bagaimana bisa pemimpin kota tahu jika dia membuat rencana-rencana itu.
"Jangan sibuk bertanya aku tahu dari siapa kabar ini. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Lawanmu bukan aku, bukan pula kedua anak buahku. Lawanmu lebih nyata dan lebih kuat. Kau lupakan saja rencana bodohmu itu."
"Buang dia keluar, aku jijik melihat mukanya yang berdarah." Rusdi memberikan perintah. Kedua anak buahnya langsung menyeret Jefri keluar dan melemparkannya dari atas tangga. Tubuh Jefri menggelinding bagai bola menuruni anak tangga ruangan 3x4 tadi.
Sudah bisa ditebak siapa pelakunya. Jefri berjalan tertatih. Orang yang dituju sedang duduk sendirian di tempat sepi sisi selatan tambang, jauh dari kumpulan para pekerja yang lain.
"Maksud kau apa membocorkan rencanaku hah?" Perkataan itu berbarengan dengan tonjokan Jefri yang melayang ke muka orang itu. Sudut bibir orang itu langsung berdarah.
"Aku sudah tahu kau selama ini tidak pernah tertarik membahas soal pertambangan ini, hutan-hutan kita pun saat membahas rencana di perkumpulan kampung kau merengek mundur tidak peduli. Tapi bukan begini caranya, Jer." Jefri marah sekali. Orang yang membocorkan rencana itu adalah Jerico. Dia diam-diam menghubungi Rusdi Pemimpin kota di IbuKota sana. Memberitahukan jika Jefri membuat rencana-rencana perlawanan.
"Aku hanya melindungimu, Jef."
"Cuihh! Melindungi?" Jefri tersenyum miring.
"Ini yang kau sebut melindungi, hah? Dari mana telak melindunginya, kau justru merusak rencana-rencanaku, merusak harapan-harapan orang kampung." Jefri berteriak.
Dalam waktu singkat perkelahian itu tidak bisa dihalangi lagi. Jefri lebih dulu menyerang. Tinjunya melayang mengincar lawan. Jerico menghindar. Tinju Jefri mengenai udara kosong. Tinju berikutnya siap menyerang. Kali ini telak mengenai bahu Jerico. Jefri telus melayangkan tinjunya, sesekali mengenai udara kosong, sesekali telak mengenai lawan. Tinjunya melesat bagaikan angin, lincah meliuk disisi kanan kiri lawan. Sedangkan Jerico sama sekali belum menyerang, dia hanya terus menghindari serangan Jefri. Jual beli serangan terus dilakukan Jefri tanpa henti. Serangan melesat, diganti dengan serangan yang baru. Kesal sekali Jefri dengan orang ini. Belagak betul mengucapkan 'demi melindunginya'. Pembohong.
Bbbuuukkk!
Bahu kiri Jerico kena telak. Dia mengaduh kesakitan. Pukulan Jefri kuat sekali. Pukulan berikutnya terus datang dari Jefri.
"Sudah Jef. Sudah. Aku berbaik hati menolongmu, kau malah memukulku tanpa ampun."
"Diam bedebah! Kau sama bedebahnya dengan mereka, kau menghalangi rencanaku dan semua orang."
Pukulan demi pukulan berikutnya susul menyusul mengincar lawan. Melesat sekali, maka pukulan selanjutnya siap menghantam lawan.
Perkelahian itu tak sengaja terlihat oleh Jazuli yang sedang ingin membuang hajat ke kamar mandi bagian selatan karena kamar mandi di utara sedang antri. Kebetulan melewati tempat Jef dan Jerico berkelahi.
"Hentikan, hentikan! Kenapa kalian berkelahi. Jef, sudah Jef. Jangan pukuli lagi." Jazuli panik, menarik-narik lengan Jefri. Sedangkan Jefri masih terus memukuli Jerico yang sudah berhasil dia tumbangkan. Memukulinya di tanah.
"Tidak, bang Jaz. Orang ini bedebah. Dia melaporkan rencana kita pada pemimpin kota."
"Sudah, Jef! Dia hampir mati!"
BBBBOOOMMMM!!!
Pukulan Jefri berhenti seiring dengan suara dentuman bom yang terdengar. Dentuman itu kuat sekali memekakkan telinga, radius ledakannya dekat sekali.
Jefri langsung berlari menuju sumber suara meninggal Jerico yang berdarah-darah. Jazuli cepat-cepat membantu Jerico duduk. Mukanya kebam, darah segar terus mengalir dari sudut bibir dan pelipisnya.
Sedangkan Jefri sudah menghilang menuju sumber suara. Pikirannya berkecamuk. Siapa yang meledakkan bom. Dia bahkan belum memulai persiapan apapun di tempat ini termasuk meletakkan bomnya.
BBBOOMMM!!!
BBBOOMMM!!!
BBBOOMMM!!!
Suara dentuman berikutnya susul menyusul memekkan telinga. Langkah Jefri terhenti di sumber suara. Bukan bom miliknya. Itu suara bom yang sengaja diledakkan oleh mandor dan para pekerja untuk melubangi tanah, tanah-tanah yang sudah berlubang itu nantinya yang akan digunakan untuk membangun lahan parkir dibawah gedung 20 lantai.
Sial! Jefri mengepalkan tinjunya. Harinya begitu buruk sekarang. Ujung matanya kemudian melihat 2 mobil mengkilat melaju pergi meninggalkan lokasi pertambangan diantara kepul debu yang beterbangan. Pemimpin kota itu pergi bersama anak buahnya.
***
Malam harinya pertemuan digelar dadakan. Mas Wajid selaku kepala kampung segera memberikan undangan pertemuan dari mulut ke mulut setelah mendapat perintah dari Jef, jika mereka akan mulai bergerak. Pertemuan itu digelar tanpa Jerico. Jefri memberi pada mas Wajid untuk tidak lagi mengikutsertakan Jerico dalam pertemuan apapun, termasuk jangan pernah memberitahukannya tentang rencana mereka. Mas Wajid meski kebingungan, tetep diam mengiyakan.
"Mukamu kenapa, Jef."
Juna lebih dulu bertanya memecah lengang saat semua orang telah berkumpul di gudang belakang rumah Jefri.
"Pemimpin kota telah tau rencana kita." Jefri memulai perkataan.
"Dia tahu dari mana." Badrun buru-buru bertanya.
"Jerico, dia yang memberitahu pemimpin kota soal rencana kita. Aku tidak mengerti kenapa dia memberitahu pemimpin kota. Oleh karena itu, aku tidak ingin dia ikut dalam pertemuan apapun termasuk jangan memberitahukannya soal rencana kita."
Orang-orang di gudang itu tercengang. Tidak menyangka jika Jerico memberitahu pemimpin kota.
"Dia orang mana sih hah? Seperti tidak sadar betul jika dia lahir dan besar di kampung ini, di tanah ini." Mbah Dullah bersungut-sungut.
"Ingin rasa-rasanya aku ingin menjewer telinga anak itu, Mujib." Mbah Dullah mengepalkan tangannya. Orang-orang buru-buru memeganginya, takut malah serangan jantung dadakan.
"Kemarin pemimpin kota datang ke pertambangan, menemuiku. Dia memberikan peringatan keras. Tapi aku tidak akan mundur dan gentar. Aku akan tetep melanjutkan rencana ini untuk kita semua untuk kebaikan hutan kita."
"Lalu apa rencanamu, Jef." Mas Wajid bertanya. Orang-orang mulai serius menyimak pertemuan.
"Kita akan dibagi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari aku, mas Wajid, bang Jaz dan 10 pemuda lainnya yang juga bekerja di tambang, akan mulai membuat peta rinci mengenai lokasi tambang itu. Mencari dimana ruang cctv, ruangan lampu sorot termasuk bagaimana cara masuk ke kantor utama. Kelompok kedua terdiri dari bang Juna, bang Badrun, bang Virda, bang Nasar dan 10 pemuda kampung lainnya akan bertugas merakit bom untuk nanti kita letakkan di titik-titik tertentu yang akan mengandung bangunan-bangunan yang ada di tambang termasuk alat-alat berat disana. Rencana ini akan kita laksanakan malam hari jika semua persiapan sudah siap dan matang."
"Tenang, Jef. Aku Juna, dahulu pernah bekerja di pabrik petasan yang ada di kota. Kurang lebihnya aku paham cara mencampurkan bahan-bahan untuk membuat bom." Juna menepuk-nepuk dadanya. Bersemangat.
"Bagus bang Jun." Jefri mengacungkan jempol.
"Aku tidak bisa membantu apapun. Tubuhku sudah tua renta. Jika tersenggol alat berat itu sedikit saja, bisa berhamburan tulang-tulangku. Tapi aku di sini senantiasa akan terus berdoa pada Tuhan penguasa alam agar melancarkan segala rencana kalian". Mbah Dullah menepuk-nepuk bahu Jef sambil menatap orang-orang di dalam gudang itu.
Malam semakin larut. Suara serangga-serangga malam semakin terdengar dari kisi-kisi jendela. Orang-orang telah pergi sekitar sepuluh menit yang lalu meninggal rumah Jef. Semuanya pulang dalam keadaan bersemangat atas harapan-harapan keberhasilan mereka untuk mengusir tambang itu. Jef membaringkan tubuhnya di dipan kayu dengan alas tukar. Menatap langit-langit rumah yang dihiasi beberapa sarang laba-laba. Rajin betul ternyata laba-laba itu membuat sarang di genting-genting rumah Jef. Jef memikirkan banyak hal, rencana-rencana, kekhawatiran, semuanya. Dia berani betul memimpin orang-orang kampung untuk membuat perlawanan. Jef menghembuskan napas pelan. Lalu membuat dirinya tertidur dengan pulas di antara semilir angin malam yang terasa dingin.
Sumenep, 08 Januari 2025
Proses pertambangan itu berjalan seperti biasanya. Setiap hari gergaji-gergaji mesin tak henti-hentinya memotong pohon-pohon. Bunyinya memekakkan telinga. Kayu-kayu tersebut kemudian dipotong-potong panjang, dimasukkan ke dalam truk untuk dibawa ke bagian utara pertambangan, ditumpuk bersama bahan-bahan bangunan lainnya. Sebagian dari kayu-kayu itu juga diangkut oleh truk yang lain untuk dijual. Kayu di hutan ini bagus-bagus, pastilah mahal harganya saat dijual. Orang-orang kota ini pintar mengatur banyak hal, tidak mau rugi dengan kayu-kayu yang mereka babat habis dari hutan.
Setiap pukul tujuh, pekerja mulai berdatangan menuju lokasi. Langsung ke bagian kerjaan masing-masing. Sekali dua mereka bertegur sapa saat berpapasan bekerja, atau saat makan siang, mereka sibuk bergurau mengusir penat.
Jefri seharian ini sibuk berlalu-lalang mengangkat kayu-kayu yang telah dipotong ke atas truk. Tapi matanya awas menatap sekitar, mengingat-ingat. Kelompok pertama sudah mulai menjalankan misinya. Jazuli bahkan membawa kertas untuk mencatat lokasi pertambangan ini.
"Buat apa bang Jaz membawa kertas dan pensil? Jef heran saat Jazuli menunjukkan kertas dan pensil yang sisa setengah pada Jefri saat mereka berangkat bekerja tadi pagi.
"Jelas untuk mencatat, buat apa lagi. Aku takut lupa lokasi pertambangan itu. Aku akan mencatat setiap jalan yang aku lalui dan juga bangun-bangun yang ada di sana."
Betul-betul persiapan matang. Jazuli mencatat semua pensil dan kertasnya, Jefri mencatat dengan ingatannya. Begitu juga dengan 10 orang pekerja tambang lainnya yang berada di kelompok mereka. Semuanya berlalu-lalang di lokasi, membagi tugas ada yang ke sisi utara, selatan, barat dan timur. Mengingat dan mencatat semua jalur pertambangan sampai celah-celah terkecil pun mereka catat siapa tahu berguna dalam keadaan darurat nanti. Sesekali Jef menyelinap ke bangunan-bangunan berbentuk rumah panggung dengan lebar 3x4 yang terbuat dari triplek, sengaja dibangun untuk kamar-kamar pekerja yang berasal dari ibukota, sebagai tempat rapat mandor dan pimpinan, dan sebagai tempat peristirahatan jika pemimpin kota, investor dan penjabat-pejabat yang lain datang. Termasuk ruangan kosong tempat Jefri waktu itu bertemu dengan pemimpin kota.
Saat mereka pulang kerja, catatan dan ingatan itu disampaikan saat pertemuan bersama. Mas Wajid yang bertugas melukisnya di atas kertas karton lebar. Lukisannya bagus, maklum dulu pernah juara satu lomba melukis saat SD.
"Kita ada kendala," kata Jefri. Jefri, bang Jaz dan mas Wajid serta 10 orang lainnya berkumpul di rumah Jazuli. Mereka berganti-ganti tempat setiap pertemuan.
"Apa, Jef." Mas Wajid bertanya.
"Sampai 5 hari ini, aku dan yang lain belum menemukan dimana ruang lampu sorot dan ruang cctv itu. Kedua ruangan itu penting untuk kita kuasai. Semua ruangan sudah aku masuki satu-satu."
"Mungkin ada ruangan yang terlewat, Jef." Pekerja yang lain menyeletuk.
"Aku sudah yakin sekali bang tidak ada yang aku lewatkan satupun."
"Baik, jadi itulah kendala Ita saat ini sudah menemukan ruang cctv dan lampu sorot."
Wajah-wajah gusar di ruangan itu.
Jazuli mengeluarkan catatannya, membukanya lebar-lebar di atas meja. Astaga, gambarnya jelek sekali. Hampir saja orang-orang di pertemuan itu tertawa jika tidak ingat kalau keadaannya sedang serius. Jazuli mejelaskan satu persatu isi tulisannya.
"Ini adalah catatan setiap titik buta dari lampu sorot. Aku harus berputar-putar menatap lama lampu itu sambil membayangkan kemana sinarnya akan menerangi. Akhirnya aku menyimpulkan ini, dan aku yakin ini akurat. Lampu-lampu itu setidaknya ada puluhan. 7 lampu di sisi barat, 6 lampu di sisi timur, 8 lampu di sisi utara dan 9 lampu di sisi selatan. Setiap sisi itu setidaknya ada 4 titik buta. Juga ada 3 lampu sorot paling besar di bagian tengah lokasi itu. Menjelang tinggi dengan tiang. Lampu yang di tengah itu menyorot kebagian langit-langit selama 1 menit 37 detik, tapi setiap menit ke 2 dia akan menyorot bagian bawah ke segala penjuru selama 1 menit 37 detik juga. Aku mengamati itu selama 2 malam, malam-malam datang sendiri ke sana untuk memastikan pergerakan lampu sorot itu."
Jazuli memaparkan dengan rinci. Bayangkan berapa luas pertambangan itu, lampu sorotnya saja ada puluhan.
Pertemuan itu diakhiri satu jam kemudian dengan pr ruang kendali cctv dan lampu sorot yang belum ditemukan.
Sedangkan kelompok 2 misinya juga sudah berjalan. Badrun mengangkat tinggi-tinggi plastik hitam yang dia bawa saat pertemuan rutinan kelompok 2 yang diadakan di gudang belakang rumah Jefri. Ruang itu selain gudang yang kini digunakan sebagai tempat penyimpan senjata, juga digunakan sebagai tempat merakit bom. Juna sebagai pemimpin kelompok 2 semangat sekali untuk memulai kembali keahliannya dahulu saat bekerja di pabrik petasan.
"Lihat apa yang aku bawa." Badrun tertawa lebar menunjuk-nunjuk pelastik di tangannya lalu diserahkan pada Juna. Juna membukanya lebar-lebar. Yang lain terbelalak. Di dalamnya ada beberapa bungkusan kecil berisi serbuk-serbuk bahan peledak yang digunakan untuk membuat bom.
"Dari mana kau dapat?" Juna bertanya.
"Meniru, Jef. Tidak ada salahnya mencuri sedikit dari mereka kan, tok mereka juga pencuri juga, bedanya mereka pakek jas dan berdasi." Badrun tertawa.
"Aku dapat informasi dari Jef letak ruangan menyimpan senjata, bom dan bahan-bahannya. Aku menyelinap ke sana. Sampai dikerubungi nyamuk saat mengintai malam-malam. Tanyakan saja pada bang Mat bagiamana kita berdua dengan gagah berani masuk ke ruangan itu dan mengambil bahan-bahan ini," kata Badrun.
"Bagiamana kau masuk ke ruangan itu, bukankah terkunci rapat?" Yang lain bertanya penasaran.
"Gampang. Pekerja yang pegang kuncinya tertidur lelap sampai mendengkur. Aku pinjam dulu lah sebentar kuncinya untuk membuat ruangan itu, lalu ku foto kuncinya. Dan sekarang lihat, kuncinya telah digandakan. Bang Mat hebat betul kalau soal meniru, tidak bisa diragukan lagi keahliannya. Pantas aja banyak yang bikin kunci ke dia di pasar Rabu." Jazuli menjelaskan, sambil menunjukkan kunci duplikat itu dan menepuk-nepuk bahu bang Mat yang sedang mengangguk-angguk menyepakati.
"Oh ya ada satu lagi." Kali ini bang Mat yang mengeluarkan bungkusan dibalik sarung yang dia jadikan sebagai bungkusan.
Mata orang-orang di ruangan itu lebih membelalak lagi. Terkaget-kaget. Bang Mat membawa bom yang digunakan untuk meledakkan tanah di lokasi pertambangan.
***
Sumenep, 10 Januari 2025
Komentar
Posting Komentar