SEBARU HARI INI DIJANJIKAN - (Hari ke 1)
Lihat lampu-lampu depan rumah
Agaknya malam teramat hidmat menanti pulang
Tubuh dengan sejuta tuduhan
Membungkuk lama dicangkul perasaan
Tanah sepetak
Direbut hampa sebab rakus yang dijunjung setinggi-tingginya
Bahwa esok
Janji-janji larut di kopi bapak yang terletak di meja ruang depan
Konon, jadilah baru di hari ini
Sebaru baju di lemari
Putih bersih
Sebab tanganku tak menyentuhnya
Terbuai kasih
Hingga esok berubahlah kasih
Sebab kita yang mau demikian
Lihat bohlam dahulu yang kemerahan
Tak pelak warnanya tergantikan hari ini
Putih bajumu
Putih bajuku
Putih bohlam di ruang tamu
Sebab kita menggantinya
Sebab apa yang kau sebut usai
Kau tuai hari ini
Ubah rindu dipetik dengan masamnya raut wajah
Ubah langit
Ubah senyummu menjadi lebih lebar
Cukup sekian
Kau resah lama di balik selimut ibu
Menggigil malam menunggu cerahnya pagi
Warna hitam kau janjikan berubah putih
Sumenep, 01 Januari 2024
KAU DAN JATUH BANGUN - (Hari ke 2)
Kau sebut jatuh suatu ketika
Kau sebut luka berdarah di lututmu yang tak seperti sediakala
Kau sebut jiwa-jiwa mulai tunduk menghamba
Pulang jatuh,
Pulang kotor
Kau sebut tak sembuh bila diobati
Toleh belakang,
Toleh depan
Hei, kau lebih jauh
Jatuh basah baju,
Jatuh basah pipi
Kaki kotor dimaki
Kau berdiri,
Tumpul sayang, kupupuk kau dengan semangat juang
Kau lupa hendak pulang
Kau lupa dengan pasang surut yang kau labas habis tak terkira
Menjual tanah semangat atas upah di hadapan
Kau rontokkan
Berguguran konon alkisah menandakan
Jatuh satu bangkit seribu
Berbisik pelan
Jauh nian kau berlari
Pundak kanan kiri kau tukar tangga depan
Hendak naik lebih tinggi
Jangan ditanyakan,
Sebab kau berjalan, biar aku yang berdampingan
Kau jatuh
Pulang jauh
Lama gak terlihat
Tetap jauh
Kau maju
Toleh sebentar
Tak perlu kau angkat tangan
Maju tak takut
Gentar kau gulung tikar
Pupus tak kau rampas
Sudah jelas apa tujuan depan
Sumenep, 02 Januari 2024
AKU HENDAK MENJADI - (Hari ke 3)
Lantang mulut ibu berbicara
"Hendak jadi apa kau, Nak."
Nyaring hilir mudik
Telingaku pekak, Bu
Kertas dipaparkan depan muka
Ambil pena tak kurang dari satu
Banyak tulisan di sana
Hendak kukisahkan maksudnya
Lantang suara ibu
Gambar-gambar,
Tulisan-tulisan,
Hendak pulang saat terang rembulan
"Hendak jadi apa kau, Nak."
Pula kata ibu guru
Nyaring tak mau kalah
Sorak ramai
Berbinar dapat pujian
Pertanyaan menjuntai
Senang hati ditanya demikian
Seruan pun datang sisi kanan
Jadilah aku seperti yang aku mau
Kawan sebangku meneriaki hal yang serupa dengan maksudku
Hendak jadi aku
Kepala bertopi
Dasi tak lupa kuambil di lemari
Demikian maksudnya
Atau aku junjung tinggi diri
Maju rampas-merampas hak-hak diri
Nyaring suara ibu masuk telinga kanan kiri
Aku Bu, hendak menjadi yang 'ku mau
'Ku kalah, aku tak bermaksud pulang
'Ku resah, biar doamu datang
"Hendak menjadi apa kau, Nak?" tanya ibu
"Berdasi atau berposisi kiranya cukup untukmu, Bu?"
Sumenep, 03 Januari 2024
AKU DAN KAU ADALAH RENCANA - (Hari ke 4)
Saat atap-atap rumah bersinggungan
Tak lagi kau dapati jarak
Pula kita,
: Aku dan dirimu,
Kelak (mungkin)
Saat riuh resah samping kanan kiri
Kau bertanya langkah depan seperti apa
Kau susun rapi
Lihat lemariku
Duhai tak menawan apapun
Pula kau lihat kerudungmu
Beri aku kalimat
Kau hendak apakan dekapannya
Kau buat rapi?
Atau kau membeli yang baru lagi
Depan kita
Aku tak tahu apakah ada aku dan kau
Apa kita adalah aku dan kau
Yang jalannya akan kau buat rapi
Yang kisahnya hendak kau sebut berkali-kali
Hingga kau sebut aku pula di lain hari,
: Sebagai rencana
Kelak, katamu sebagai tanganmu yang kau tunjukkan padaku
Pun sebagai kakimu yang berjalan
Yang tak kau sebut apakah itu kita
Yang kau sebut, kita telah berencana
Pamekasan, 04 Januari 2024
AKU, KAMU DAN HATI - (Hari ke 5)
Mari berjalan di sampingku
Kita bersisian
Tak perlulah menoleh
Aku dan kamu
Kala momen pun mengangguk menyepakati kita
Untuk kemudian marilah bersama denganku
Genggam tanganku
Kerudungmu bahkan bersaksi waktu itu bahwa pipimu memerah
Dan aku pun yang juga menyepakati
Setelah malam panjang itu aku dan kamu menyepakatinya pula
Kala pada samarnya pagi pun
Aku dan kamu telah berjanji
Bergulat lama soal panas tidaknya cuaca
Hingga akhirnya kita sama-sama tersenyum
Jari kelingking yang telah terpaut
Hati kita pula demikian bukan
Pamekasan, 05 Januari 2024
SEPERTI ITULAH KIRANYA - (Hari ke 6)
Seperti mengejar layang-layang putus
Anak-anak berlari dari tanah lapang
Mencari tujuan akhir jatuhnya si layangan
Siang gembira
Riang di muka
Tunjuk sana sini mengira-ngira
Seperti itu kiranya
Seperti bak pulang siang hari
Tas sekolah tersampir di punggung
Baju seragam merah putih yang lusuh seharian
Saling berceloteh sepanjang jalan bersama teman
Berlari menenteng sepatu
Hendak segera memakan masakan ibu
Seperti itu kiranya
Pada suatu malam hendak bercerita si ibu
Soal kisah-kisah manusia pilihan
Pun kisah-kisah super hero
Anak tersenyum seperti membayangkan dirinya demikian
Beradu dengan malam yang makin larut
Mata yang mulai terkantuk
Ibu berbisik,
Kelak jika besar
Pupuk tinggi di dada
Tanam begitu dalam di hati
Tersenyum seperti saat mengejar layang-layang putus
Tertawa seperti saat pulang sekolah
Buka mata,
Majulah tak perlu gentar
Semangatlah seperti saat melihat mainan-mainan baru di pasar raya
Seperti itulah kiranya yang dimaksud
Pamekasan, 06 Januari 2024
(Hari ke 7 bolos menulis puisi)
AKAN TERLAMPAU JAUH - (Hari ke 8)
Aku izin merebahkan diri di pangkuanmu, Bu
Lama sekali, aku tidak ingin sebentar
Bu,
Aku izin mengukir mimpi
Tentang hari esok yang mungkin aku akan mengangkat namamu
Terlampau jauh, Bu
Tak seperti namaku
Pak, aku tahu punggungmu sakit
Kau diam-diam memijatnya
Aku izin merebah di samping tempat tidurmu
Aku ingin mengutarakan mimpi
Jika esok lusa,
Namamu pun akan aku angkat tinggi-tinggi
Lusa,
Meski pincang kakiku, Pak, Bu
Aku berjalan di kaki sendiri
Meski ramai saat ba’da Maghrib
Aku diam di rumahku
Merajut soal hari-hari sukses
Esok hari aku lagi yang disapa tetangga kita saat hendak berangkat membenarkan mimpi
Pak, Bu
Jangan tutup doa-doa panjang kalian
Sepertiga malam kalian lebih hangat dari semut di kamarku
Pak, Bu
Kelak nama kalian tak lagi hanya tertempel di Akta dan Kartu Keluarga
Kubuat nama kalian terlampau jauh
Sumenep, 08 Januari 2023
KAU MELUPAKAN-NYA - (Hari ke 9)
Kaubakar kayu depan rumah
Kaubertanya dimana angin untuk memadamkannya
Kaumembakar sampah di nyala api
Kaubertanya pula di mana air yang telah kaubuang
Kaumemiliki kayu berlebih
Kaubuang semena-mena
Tak kaubenarkan apa-apa yang rusak
Kaupunya air banyak
Kautak berbagi kala kehausan
Kaumalah bertanya saat kebakaran airmu dimana
Aku bertanya dimana kaumembuangnya
Nyala api berkobar tinggi
Jangan kautambah dengan solar
Meninggilah ia dan semakin berkobar
Kauperlu mengambil airmu
Redam dia dengan kedinginan
Kaubakar sampah banyak
Kaurusak udara
Kautak tahu solusi membersihkannya
Padahal kaubisa memilihnya dan mengolahnya
Kalut jejakmu hari ini
Terpelintir kakimu hari ini
Kau kebingungan
Resah dimana
Pandanganmu tak berguna
Kaulupa menempatkan-Nya di paling tingginya solusi atasmu
Sumenep, 09 Januari 2023
MENGENAI LANGKAHMU ESOK LUSA - (Hari ke 10)
Kaubertanya pada guru mengaji
Kapan dirimu akan berpindah bacaan
Mengeluh soal dirimu yang tertinggal
Kaubertanya pada guru mengaji
Telah tepatkah bacaanmu kali ini
Esok lusa kautak bosan bertanya hal yang sama
Melihat teman sejawat
Jauh di bacaan depan
Sedang dirimu bermalas-malasan
Esok lusa kaubertanya lagi tak bosan-bosan
Yang nyatanya kaukesusahan membaca
Kaumemaksa demi ketertinggalan
Kaumelirik kawan di sekitar
Jauh bacaan mereka melengking tajam
Tak lagi berbata-bata Alif Ba Ta
Esok lusa,
Guru mengajimu berbisik
Kauhampir sepantaran
Kauhampir melampaui
Dari terbata-bata kaubisa
Dari bermalas-malasan kaurajin
Hingga guru mengaji berkata
Kautelah bergerak selangkah dua langkah hingga tak terhingga langkahmu
Demikian ...
Sumenep, 10 Januari 2024
(Hari ke 11 bolos menulis puisi)
SUDUT PANDANG KEKASIH - (Hari ke 12)
Dari sudut jendela mana yang kaupersilahkan masuk cahaya-cahaya pagi
Bising-bising tukang sayur memekakkan telingamu bukan?
Kenapa kautersenyum
Agaknya kausedang melihat bu-ibu yang menawan harga sayuran dengan keterlaluan
Dari sudut mana kaupandang cantik rupawan sang anak gadis
Kausingkap kerudungnya
Atau kau dekati hatinya
Hingga tanpa malu,
Tanganmu lincah menulis puisi cinta dengan latar padi-padi dan senja
Merekah senyummu
Lihat sisi kanan kiri
Halamanmu ramai berdendang lagu-lagu dari tetangga yang asik sendiri
Tukang sayur telah lewat
Pula, kekasihmu telah menutup jendelanya
Dari sudut manakah kauhendak bercerita kali ini?
Berbisik padaku sebentar,
Aku hendak ikut menyimak kesibukanmu
Sumenep, 12 Januari 2023
DIALOG IBU - (Hari ke 13)
Kata seorang ibu pada anaknya,
Apa kakimu baik-baik saja
Ibu melihat sesuatu kemarin saat kauberhenti lama
Apa sandal jepitmu dicuri orang, Nak?
Katakan pada ibu
Kata seorang ibu di suatu malam
Ambil selimutmu
Tutup badanmu,
Apa kautidak kedinginan?
Ibu bahkan tahu kakimu memucat
Apa masih disakiti batu yang kemarin kauinjak?
Katakan?
Biar ibu singkirkan untukmu
Tidurlah,
Ibu ada di bawah dipan tempat kauberbaring
Cukup lihat ke bawah, ibu sedang bermimpi mengejar maling sandalmu
Langkahmu boleh tertatih
Katakan pada ibu,
Bagian mana yang sakit
Nak, jika jatuh kausekali
Tak apa,
Jadikan itu hanya sekali saja
Nak, kakimu kesakitan?
Ibu singkirkan apa-apa yang mengajakmu bercanda dengan luka
Sumenep, 13 Januari 2023
MALAM DITUNGGU - (Hari ke 14)
Di suatu malam
Amat damai
Rumah-rumah bergeming dengan lampu yang sudah mati
Rembulan lahir di atas sana
Pun lahir di rona wajahmu
Aku izin sematkan doa-doa di sana
Malam tanggal 15
Lahirlah lagu-lagu perihal cinta dan kekasihnya yang damai
Di dalam rahim ibu telah bersemayam lama dirimu
Suatu kelahiran yang dinanti
Wajah-wajah mengelap kaca buram demi melihat wajahmu yang baru tersenyum
Hingga kau dewasa,
Biarkan bunga layu akibat senyummu
Biarkanlah malam makin sunyi sebab tidurmu
Malam-malam, kau ramai sekali saat kisah-kisah ibu mulai menceritakan tentang kelahiran yang ditunggu-tunggu sejuta ummat
Rembulan kalah masa itu
Dan kau yang baru lahir pun kalah
Tapi kau amat berbeda
Keluarga menantimu
Malam-malam terjaga demi mendiamkan tangisanmu
Sumenep, 14 Januari 2024
JIKA BUKAN AKU - (Hari ke 15)
Saat ada yang bertanya
Mengapa kaumemotong rambut sampai pendek
Esok hari kelulusan
Aku hanya mempersiapkan penampilan terbaik
Saat ada yang bertanya
Kenapa gelas kopimu cepat sekali kosong?
Aku rasa lidahku sudah siap dengan segala pahitnya,
Oleh karena itu cepat sekali tandasnya
Ada yang bertanya suatu ketika
Mengapa kausibuk sekali mempersiapkan?
Jawabanku,
Genting di atas rumah bocor
Jika bukan aku yang membenarkan,
Maka aku harus membayar tukang
Lampu di rumah diletakkan di tempat tinggi
Susah sekali mengganti yang sudah mati
Jika bukan aku,
Apa aku harus menyuruh bapak yang sudah membungkuk?
Bahkan cat rumahku kupoles sendiri
Mengapa tidak,
Aku telah belajar banyak
Jika genting terus kubiarkan bocor
Maka esok lusa menggenang lah air di dalam rumah
Begitu pula dengan yang lain
Aku telah siap-siap memakai celemek
Hendak memasak menu baru
Meksi baru belajar
Aku bisa memotong bawang
Sumenep, 15 Januari 2024
YANG BERKESEMPATAN - (Hari ke 16)
Apa yang dikatakan saat kauterjatuh tempo hari
Mengaduh sakit sepanjang hari
Apa yang dikatakan tempo hari saat kaubangkit,
Kautak mau demikian
Lebih enak duduk di warung pecel lele dengan sepiring nasi hangat bukan?
Apa yang dikatakan waktu itu
Kaumenyalakan lampu
Bahkan kaubilang lebih terang lampu kota
Apa yang kaulihat waktu itu
Punggung membungkuk ayah
Gagah menjemput uang-uang yang demi nasi
Ada yang menggiring bola
Lantas apa hanya akan ditendang
Atau kaugiring lagi hingga mencetak angka
Yang membuat penonton sepak bola bersorak-sorai dengan hal yang demikian
Lantas kau lihat si ayah
Apa hanya duduk membuka tangan dan bersila
Dia bertukar punggung
Mengambil yang hanya barang sekali
Jika hanya sepiring nasi di meja
Ambil jika kautakut kelaparan
Jika jatuh membuat sakit dan luka
Bangun dan berlarilah
Jika sudah ada bola di kaki,
Giringlah dan ambil angka-angkanya
Sumenep, 16 Januari 2024
SANG PUTRI DAN SUPER HIRO - (Hari ke 17)
Suatu ketika,
Anak perempuan itu bermain boneka-boneka,
Menandaninya
Menoleh pada sang ibu di sampingnya
Dia tersipu hendak menjadi putri dengan gaun berwarna merah muda
Ramai-ramai bersama teman di suatu hari,
Tertawa membayangkan seorang pangeran menjemput sang putri
Sedangkan anak laki-laki
Berimajinasi tangan-tangan kecil tercipta kekuatan-kekuatan berwarna seperti di film-film
Super hiro yang keren terngiang-ngiang di kepala
Sepakat sekali dengan temannya untuk memberantas musuh
Lantas suatu ketika keduanya berkhayal kerennya jas putih milik dokter-dokter yang datang sosialisasi ke sekolah mereka
Tegap gagah baju-baju cokelat milik bapak-bapak pemegang pistol
Ramai mereka memperagakan adegan maling yang tertangkap
Malam hari kala hanya nyanyian katak yang memanggil hujan tak pernah diam
Langit mendung
Pikiran berandai-andai jika suatu saat akan menjadi seperti yang demikian
Anak perempuan bergegas tidur di ranjang dengan selimut pink memeluk boneka bergaun
Dan anak laki-laki bebal di suruh sang ibu untuk masuk ke dalam rumah
Sumenep, 17 Januari 2024
MENYEPAKATI PERJALANAN - (Hari ke 18)
Aku ingin pulang
Kita bisa bekerja sama
Kau menjadi sandal misalnya di suatu perjalanan panjangku
Yang aku pun tak tahu apakah aku sanggup menjadi kaki
Bahkan aku mengaduh panjang akibat tergores duri
Padahal kau halus sekali berbisik padaku,
“Kita telah memulai perjalanan”
Aku ingin pulang
Bukankah kita bisa bersatu
Kau menjadi baju yang tak membiarkanku bertelanjang kedinginan
Lalu aku menjadi kerangka tubuhnya
Bukankan kita teramat dekat secata tak kasat mata
Jika di perjalanan pulang aku lelah
Bukankah amat indah jika kita berhenti sebentar
Jika kau ingin membentangkan sajadahmu,
Biarkan aku menjadi doa-doa panjang yang terus kau ulang
Yang ditutup dengan kalimat aminn lalu mengusap wajah pelan
Bukankah indah?
Meski tidak bermaterai
Kita sepakat,
; bahwa perjalan ini untuk berdua
Sumenep, 18 Januari 2024
MATI DAN DOA PANJANG SERTA SAJADAHKU - (Hari ke 19)
Jika di suatu malam sujud-sujud sengaja di perpanjang
Bukankah jika rembulan tergulung di dekat daun-daun pelepah pisang itu sebuah ketetapan?
Lalu apakah bisa kupeluk dengan telanjang?
Tentu tidak
Hanya sujud-sujud yang mampu
Lama sekali sajadah-sajadah ini ingin menepi
Ingin terhindari tempias tangis
Namun tak bisa,
Lalu jika langit malam benar-benar tergulung sebab kelahiran suatu insan
Bukankah apapun niscaya terjadi?
Lalu jika aku hanya mematung
Mata tak berkedip
Mulut terbuka lebar
Sanggupkah aku sambil lalu mengucapkan Alhamdulillah berkali-kali
Sebab insan-insan pilihan teramat terang wajahnya melebihi rembulan
Niscaya suatu ketika
Aku membisu
Bukankah hanya doa yang paling ampuh untuk disebut sebagai alat perayu
Mulai bernegosiasi
Memutar janji-janji lama
Niscaya aku mati di doa sendiri,
Semoga aku mati sebab ketetapan yang telah ditetapkan,
; niscaya
; suatu ketika
Sumenep, 19 Januari 2024
SEDERHANA BAHAGIANYA - (Hari ke 20)
Tidak ada yang sanggup mengalahkan wajah bapak
Sore hari ketika pulang dengan kantong berisi lembaran rupiah
Bukankah sang anak tengah menunggu di pintu depan
Tangan terjulur,
“Ayahku pulang,” ucapannya
Bahkan meski seharian tak menepi dari panasnya mentari
Wajah-wajah mungil di depan pintu lebih dari cukup mengobati perihnya luka tergores arit
Meski lebih banyak siang yang menjadi teman
Malam menjadi alam-alam syahdu merehatkan tubuh
Meksi sesekali berbagi kue di atas piring
Cukup membuat sunggingan senyum di wajah-wajah syahdu keluarga kecil
Bukankah amat sederhana definisi dari bahagia
Bapak yang bahagia membawakan oleh-oleh setelah pulang dari tempat kerja
Ibu yang bahagia masakannya dimakan dengan lahap oleh keluarganya
Anak bahagia menerima mainan baru
Sumenep, 20 Januari 2024
MENYESUAIKAN - (Hari ke 21)
Aku lihat yang berdasi semakin bagus dasinya
Semakin mahal bajunya
Semakin banyak perhiasannya
Yang rumahnya beratap beton semakin gagah
Bagus keramik rumahnya
Mahal lampu gantungnya
Aku lihat yang sedang mengikat perut semakin kencang ikatannya
Yang berbisik pelan malam-malam membuka tudung saji semakin mengecilkan suaranya
Yang malam-malam merangkai rencana-rencana hari esok,
Semakin sibuk pikirannya
Bukankah jika ingin memberikan mangkuk besar,
Jangan beri pada si perut buncit dengan rumah kokoh
Bukankah jika ingin memberikan selimut tebal
Jangan beri pada si pemalas yang hanya berbaring di kasur empuknya
Jika yang kenyang diberi sedikit,
Maka yang lapar diberi lebih banyak
Jika yang kedingan diberi selimut
Yang merasa hangat diberi segelas air dingin
Bukankah seharusnya disesuaikan
Sumenep, 21 Januari 2024
DIRI SENDIRI - (Hari ke 22)
Bisa jadi esok lusa kitalah yang menjadi pelopor suatu pengubahan
Mengisi perut kelaparan
Mengisi mulut yang kehausan
Tak ketinggalan otak yang kosong tanpa isian
Bukankah butuh pengetahuan?
Bisa jadi esok lusa
Kau dan aku yang hanya digadang-gadang menjadi pembuka jendela menyambut mentari pagi,
Malah menjadi orang-orang yang membuka jalan-jalan meluas lebar
Katanya, apa yang dimulai bukan berasal dari tangan orang
Dari tangan diri sendirilah muasalnya
Katanya, apa yang dimulai berasal dari gebrakan hati
Bukan hati orang,
; melainkan hati sendiri
Si kuat bertambah kuat
Di lemah menjadi lebih kuat
Agaknya mudah sekali
Bahkan tulisan puisi ini pun akan kuindahkan jika membawa perubahan
Sumenep, 22 Januari 2024
TENTU SAJA TIDAK - (Hari ke 23)
Pada jalan yang tak kunjung usai
Perjalanan tak mampu menepikan hati nurani
Banyak lumpur dalam perjalanan
Kotor sisi ujung bawah baju
Lantas apakah aku harus kembali berbalik,
Kembali untuk mencuci?
Tentu saja tidak
Lalu, jika suatu ketika
Luluh lantak semua harapan di tangan
Apakah kita hanya diam
Menunggu jamur tumbuh di musim penghujan?
Menunggu padi menua?
Atau menunggu baju putih yang kotor tadi menjadi bersih?
Jelas tidak,
Meski harus meminjam baju
Meski harus meminjam alas kaki
Perjalanan yang dimulai haruslah dituntaskan
Meski terjatuh
Mengaduh panjang
Memaki batu-batu yang salah berada di hadapan
Tangan-tangan ini selalu bisa diandalkan menyumpal mulut sendiri
Jangan menangis,
Untuk kemudian;
Telah berjalan
Tak apa tertatih
Sebab tak perlu menunggu baju putih kembali bersih
Sumenep, 23 Januari 2024
SESUATU YANG LEBIH BAIK - (Hari ke 24)
Bukankah akan selalu tiba
Sesuatu yang disebut cahaya
Namun agaknya lebih cerah dari mentari
Akan selalu tiba juga masanya
Kau tinggal duduk manis
Menunggu cerita-cerita dongeng si kancil dan buaya sampai tamat
Kau hanya perlu bersabar
Seperti saat menunggu antrian pesanan di warung pecel lele yang sedang ramai pembeli
Yang kusut hari ini
Bisa kau benahi esok dan lusanya
Akan selalu ada masa-masa antusias
Seperti saat meneguk es teler duduk dipinggir jalan saat panas mentari menyengat
Akan selalu ada masa di mana kau tersenyum
Seperti saat mencium wangi baju yang baru saja dibeli dari toko
Tak sabaran ingin memakainya
Selalu ada senyum-senyum tulus di kemudian hari
Salah satunya saat kau berbagi sepotong roti dengan kawanmu
Bukankah akan selalu ada kemilau di depan
Bukan sorot lampu dari mobil-mobilan Fuso saat malam hari
Bukan pula cahaya senter-senter yang menyala saat mati lampu malam hari
Hanya suatu kesempatan yang menunjukkan di depan,
Bahwa kau akan jauh lebih baik
Sumenep, 24 Januari 2024
PEMBAHARUAN DAN PENCAPAIAN - (Hari ke 25)
Bukan menghabiskan es krim yang baru dibeli toko yang menjadi tujuan
Bukan pula harus dengan lahap menghabiskan nasi kuning di piring
Bukan pula melihat orang-orang berkemeja yang lihai bersilat lidah
Apalagi harus dengan melihat orang-orang meraup sekian juta rupiah yang disiarkan di televisi
Bahkan menulis puisi ini harus menamatkannya
Bait terakhir harus selesai
Berani memulai adalah berani menyelesaikan
Merawat rambut,
Susah payah,
Tapi itu adalah tujuannya
Yang kotor hari ini,
Mulut-mulut kita rupanya
Bukan hanya baju yang kotor
Yang rusak hari ini,
Ucapan kita ternyata
Bukan hanya perabotan rumah
Tulis tebal-tebal dalam buku catatan
Sesuai yang konon disebut misi
Suatu pembaharuan dan pencapaian
Yang kotor dibersihkan
Yang rusak diperbaiki
Kita tidak akan sibuk menjadi si penyimak
Lalu duduk termangu di kursi taman
Sumenep, 25 Januari 2024
(Hari ke 26 bolos menulis puisi)
BUMI YANG TERSAKITI - (Hari ke 27)
Apa bumi bisa bersendawa
Layaknya sedang menyantap sepiring nasi yang penuh
Perutnya kekenyangan ;
Ia mengumpat panjang lalu berkata,
“Tubuhku sakit."
Bayangkan saja, dia tengah memegang perutnya
Bumi berkata,
Bukankah tubuhku seharusnya ditumbuhi pohon pisang dengan jantungnya yang besar
Atau bukankah aku sebaiknya dinobatkan menjadi si hijau dengan kebaya anggunnya
; alih-alih sebagai paru-paru dunia
Bumi lalu berkata lagi,
Sayangnya aku dipaksa menjadi pelacur
Tubuhku dijajah
Bukankah aku dijual
Bukankah aku digerus tanpa henti
Saat aku terpaksa menangis menyapu rumah-rumah kecil di bukit-bukit tingkat
Habis dalam sesaat
Semua dipukul rata
Termasuk kenangannya bukan?
Apa salahku?
Tubuhku telah terlanjur dijajakan bertahun-tahun
Apa bumi bisa membuat cerita karangan yang eksotis?
Misalnya dia berubah menjadi superhiro yang membunuh orang-orang keji
Sumenep, 27 Januari 2024
YANG TELAH JAUH - (Hari ke 28)
Bukankah sudah seperti nyanyian alam
Angin-angin yang menerbangkan kerudungku
Berhembus lebih syahdu dari pada petikan gitar
Aku menafsirkan lampu jalan kelak akan mati,
Enggan memberi sinar jika aku tak kunjung menceritakan ulang kisah-kisah lampau yang telah usang
Di perkamen tua,
Nampaknya kau pun tak punya
Di suatu ketika
Meski sedikit basah sebab tempias hujan
Bahkan kita tertawa saat menyadari
Jauh sekali kita mengutuki aspal-aspal yang rusak
Menerka jika itu ulah pejabat setempat yang korup
Bukankah sudah terlalu jauh
Saat di mana seharusnya kita mengikat rambut boneka yang berwarna pirang
Kenyataannya, kita sudah mengikat rambut sendiri,
; malah berseru ingin mati
Duhai malang
Apakah kita tetap bimbang memberi perhatian
Bukankah di awal aku katakan,
Kita jauh sekali
Berharap nasi tak menjadi bubur
Kenyataannya kita sendiri yang mengantri lama menunggu bubur ayam paling enak di sudut kota
Sumenep, 28 Januari 2024
KASIH SAYANG-NYA - (Hari ke 29)
Mungkin pucuk-pucuk embun pagi
Kalah dingin agaknya dari siraman air wudhu saat subuh
Siapa yang telah tertinggal dari panggilan Tuhan saat fajar masih tak nampak kuncupnya
Bukankah itu aku
Alih-alih menyalahkan embun
Yang entah takdirnya kusebut sebagai salah satu kasih sayang-Nya
Bukankah sepagi ini banyak sekali aminku yang telah menancap di banyak tempat
Sandalku bahkan basah saat hendak dipakai
Lagi-lagi kusebut kasih sayang-Nya berbentuk embun mulai luruh
Apa bibirmu ikut basah?
Apa sudah banyak yang kau minta?
Alih-alih kau menghitung embun seberapa banyak yang telah luruh
Sumenep, 29 Januari 2024
KAU KUSEBUT BARU - (Hari ke 30)
Kusebut kau baru
Yang baru saja melepas mukena
Berkali-kali mengusap wajah selepas berdoa
Apa kau merayu langit untuk berdansa malam ini
Apa kau juga merayu malam
Agar tak terlalu gelap?
Kusebut dirimu baru
Yang baru saja beranjak ke arah dipan
Apakah hendak istirahat?
Setidaknya biarkanlah satu atau dua cerita beranjak dari mulutmu juga
Setidaknya akulah yang pendengarnya
Kau berbisik,
Bahwa dalam satu perjalanan
Kau pernah ingin mundur
Bukankah sudah sejauh ini
Melangkahlah lagi,
Kau butuh yang paling baru
Suasana baru misalnya
Setidaknya aku menyebutmu yang paling baru
Awal yang baru saja kujamah
Selepas untaian amin yang padat
Mukenamu bahkan sudah terlipat
Beranjak tidur
Sumenep, 30 Januari 2024
Komentar
Posting Komentar