(Bagian 5 ...)
Saat Zidan pulang dan memberi kabar tersebut pada Bundanya, Bunda Zidan terlihat bahagia mendengar itu.
"Orangnya tadi sampek berkeringat dingin loh, Mbak. Takut banget lamarannya gak diterima Bapaknya Dila," ucap Om Jamal sambil menyendok kolak buatan Bunda Zidan.
"Gak percaya sih sama Om nya sendiri. Kalau datangnya sama Om Jamal pamanmu ini, pasti keterima." Om Jamal sedang menjemawa diri. Padahal mana ada fungsinya dia tadi, justru dia sama Ayahnya Dila lebih banyak membahas soal tembakau. Mentang-mentang petani tembakau.
Orang di rumah Zidan langsung sibuk. Bunda Zidan sibuk menulis daftar hantaran yang akan keluarganya bawa ke rumah Dila lima hari lagi. Sibuk mengajak Mbak Indah anaknya Om Jamal untuk pergi membeli cincin. Sibuk memilih baju untuk diberikan pada Dila. Jeda lima hari ini keluarga Zidan sibuk sekali.
Lalu bagaimana dengan keluarga Dila. Sama. Keluarga Dila juga sibuk. Ibunya Dila sibuk memikirkan masakan apa yang akan dimasak, sibuk membersihkan rumah, sibuk menulis daftar hidangan yang akan disajikan nanti, sibuk menghubungi keluarga dan kerabatnya untuk menyambut kedatangan keluarga Zidan.
"Jangan lupa datang ya." Begitu kata Ibunya Dila di salah satu sambungan telfon bersama saudaranya.
***
Lima hari kemudian, sesuai dengan yang disepakati bersama. Keluarga besar Zidan datang ke rumah Dila. Membawa sekotak cincin emas sebagai tanda ikatan. Lalu Bunda Zidan memasangkan di jari manis Dila. Hari ini Dila tampak cantik dengan balutan kebaya warna cream dan kerudung yang senada. Begitu juga dengan Zidan terlihat berbeda. Apalagi senyumnya, Zidan selalu tersenyum seperti orang tidak waras. Takjub memandangi Dila yang terlihat berbeda saat ini. Dila yang tidak terbiasa memakai riasan tebal, hari ini terlihat cantik dengan riasan itu.
Prosesi lamaran ini berlangsung hidmat. Hingga akhirnya keluarga Zidan pamit pulang.
Beberapa hari acara lamaran itu. Om Jamal diutus lagi untuk mendatangi rumah keluarga Dila untuk menentukan tanggal pernikahan. Ya, Bunda Zidan yang menyuruhnya. Kedua keluarga ini sepakat untuk tidak memperpanjang waktu. Maka tanggal 12 bulan Juli, yaitu tepat dua bulan lagi, prosesi pernikahan itu akan dilangsungkan.
"Kita nyewa gedung aja biar gak ribet, Sayang. Makanan nanti persan aja sama sovenir buat para tamu undangan," ucap Zidan saat mereka bertemu berdua. Hari ini hari Minggu kantor tempat Zidan bekerja libur, jadi Zidan mengajak Dila untuk keluar jalan-jalan. Sedangkan Dila harus izin tidak masuk kerja. Toko roti mana ada libur hari Minggu. Jadilah Dila meminta izin pada Mbak Oda.
"Yakin mau sewa gedung. Emang Bunda setuju? Dan aku juga belum bilang ke Ayah loh soal ini," jawab Dila.
"Bunda setuju kok, justru Bunda loh yang nyaranin ini. Aku cuma ikut saran bunda. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, biar gak ribet sih," ucap zidan sambil menatap ke depan. Saat ini mereka sedang duduk di taman.
"Bukannya makin memperbanyak biaya yang dikeluarin ya."
"Gak papa, uang tabungan aku buat nikah cukup kok buat nyewa gedung sama catering dan sovenirnya. Kamu tinggal santai aja," ucap Zidan dengan santai.
Muatan tidak sesederhana itu bagi Dila. Mana bisa dirinya hanya santai dan seluruh biaya Zidan yang menanggung. Jadi Dila berkata lagi pada Zidan kalau untuk penyewaan gedungnya dibagi saja. Meski awalnya Zidan kekeh tidak mau, namun akhirnya setuju untuk dibagi dua.
Sepulang dari bertemu Zidan. Dila menyampaikan pada yang telah disepakati kedua di taman. Ayah Dila setuju-setuju saja. Jadi sepakat pernikahan mereka akan dilaksanakan di gedung yang telah mereka pilih untuk disewa.
***
Malam harinya. Lampu-lampu sudah terang-menderang di rumah-rumah tetangga begitu pula di rumah Zidan. Sudah Isya', terdengar sayup-sayup orang bershalawat setelah mengumandangkan adzan lewat speaker masjid.
Terlihat Zidan sedang memutar salah satu siaran Televisi di ruang keluarga. Tak lama sang bunda ikut duduk.
"Lihat ini, Dan." Bunda Zidan menunjukkan cincin dengan ukiran yang simpel dan elegan.
"Bunda beli sama Mbak Oda sama Mbak Indah tadi siang buat cincin pernikahan kamu. Bagus gak?" Bunda Zidan bertanya.
Zidan mengangguk sebagai jawabannya, sambil tangannya menimang-nimang cincin itu. Tidak bisa dipungkiri cincin ini bagus. Cincin yang simpel dengan satu hiasan permata di tengahnya. Membuat tampilan dari cincin ini elegan sekali jika dipakai. Pilihan Bundanya tidak pernah salah.
"Sini, Bunda simpan dulu cincinnya takut hilang." Bunda Zidan menaruh kembali cincin itu ke dalam kotak.
"Bunda sudah persen catering loh sama sovenir buat taku undangan. Kamu udah undang temen-temen kamu," lagi-lagi Bunda Zidan bertanya.
"Sudah, Bun. Zidan udah sebar undangan yang dicetak Mas Rifki kemarin. Sudah Zidan antarkan ke temen-temen kantor sama temen kampus Zidan yang dulu."
Si Rifki ini adalah anak dari Om Jamal yang nomor dua. Adik dari Mbak Indah. Kemarin dia yang membantu mencetak undangan dan membantu menyebarkan juga.
"Kamu udah ambil cuti kantor?" ucap Bunda Zidan yang masih sibuk dengan buku dan pulpen di tangannya, terlihat sedang menulis sesuatu.
"Belum," jawab Zidan dengan santai.
"Kok belum. Cepet ambil cuti Zidan. Sudah tinggal 3 Minggu lagi loh. Kamu juga selama tiga Minggu ini sudah gak boleh keluar rumah. Udah harus di rumah."
Bunda Zidan terus mengomel menyuruh Zidan mengambil cuti dan jangan bandel dan tetep nekat keluar rumah.
Tradisi di rumah Zidan memang begitu, bagi mempelai wanita atau pria jika sudah mendekati hari pernikahan dilarang keluar rumah. Kenapa hal ini terjadi, tidak lain karena dikhawatirkan terjadi hal yang tidak diinginkan kepada si calon pengantin menjelang hari pernikahan.
Malam semakin temaram. Bunda Zidan sudah mematikan lampu ruang tamu, bersiap tidur. Begitu juga dengan Zidan, sudah beranjak tidur, berbaring di atas dipan. Sedikit berdoa semoga semuanya berjalan lancar.
Pamekasan, 02 Mei 2023
Komentar
Posting Komentar