(Bagian 4...)
Beberapa hari itu, Zidan dan Dila memang terlihat baik-baik saja. Chattingan mereka lancar setiap harinya. Tapi entahlah, beberapa hari terakhir Dila terlihat menghindari Zidan. Beberapa kali Zidan berusaha mengajaknya berbicara dan bertemu tapi Dila tidak mau.
"Kamu kenapa, Dil. Apa aku ada salah? Kamu selalu menghindar setiap aku ingin mengajakmu berbicara setelah selesai shalat duhur. Kamu juga gak mau diajak keluar berdua. Aku bertanya lewat chat pun kamu gak jawab alasannya. Aku temui kamu di toko roti, kamu juga menghindar. Kenapa?" Zidan akhirnya berbicara setelah berusaha mencekal Dila yang ingin pergi dari halaman masjid.
"Aku gak papa. Siapa yang menghindar, Zidan."
"Kamu," Zidan langsung memotong perkataan Dila.
"Aku hanya minta waktu untuk aku berpikir." Demikian kata Dila.
"Aku sudah memberimu waktu, Dila. Bahkan sudah hampir satu bulan. Tapi sikap kamu akhir-akhir berubah. Kamu menjauh, Dil. Aku hanya ingin berbicara berdua. Dari hati kehati, Dila."
"Kenapa katakan. Kamu menolakku? Kamu sudah tidak punya perasaan itu itu? Atau kamu sudah menerima lamaran dari orang lain, Dil." Zidan terus memaksa. Meminta penjelasan pada Dila.
Saat ini mereka tenaga berdiri di luar pagar masjid. Setelah terjadi adegan cekal-mencekal, akhirnya Zidan bicara berbicara dengan Dila.
"Aku tidak menerima lamaran dari siapapun, Zidan. Aku hanya membutuhkan waktu untuk membuat diriku yakin untuk menerimamu," ucap Dila.
Perbincangan siang ini cukup menegangkan. Zidan akhirnya meminta Dila untuk duduk sebentar di taman kota. Mereka harus bicara.
"Apa yang membuatmu ragu, Di. Aku serius ingin melamarmu. Memintamu dengan baik-baik pada orang tuamu." Demikian kata Zidan saat keduanya telah duduk di salah satu bangku taman.
"Kamu Zidan, kamu kamu membuat aku ragu." Dila akhirnya berbicara setelah terdiam lama. Hatinya sudah tidak kuat.
Siang itu dila bercerita pada Zidan soal apa yang dilihatnya. Zidan akhirnya paham kenapa Dila menjauh meminta waktu berpikir. Masalahnya ada pada dirinya sendiri.
Di salah satu bangku taman yang mereka duduki, Zidan menjelaskan panjang lewat soal apa yang Dila lihat. Zidan memang tidak sengaja bertemu dengan mantannya siang itu. Jadi mereka memutuskan untuk mengobrol sebentar. Tidak lebih dari itu. Dila memang melihat Zidan tertawa renyah, tapi sebenarnya tidak ada apa-apa antara Zidan dengan mantan kekasihnya itu. Mereka memang sudah benar-benar selesai beberapa tahun yang lalu.
"Dengerin aku, Dil. Apa yang kamu lihat gak seperti itu kenyatannya. Percaya sama aku. Apapun yang membuatmu merasa tidak nyaman, jika itu ada sangkut pautnya denganku, katakan saja, Dil. Kita bisa mencari jalan keluarnya bersama-sama. Bukan malah diam dan menghindar. Kita butuh terbuka satu sama lain." Kedua mata Zidan lekat memandang Dila. Sedangkan yang ditatap sedang menangis sesenggukan. Angin mulai berhembus di dekat mereka, memberikan kesejukan.
"Boleh aku bertanya sesuatu?" Dila akhirnya bicara.
"Apa," jawab Zidan.
"Kamu pernah bilang, Dan. Kalau kamu tidak benar-benar melupakan mantan kekasih kamu. Dilain kesempatan, kamu sadar kalau kamu masih punya perasaan sama dia. Apa perasaan itu masih ada sampai sekarang." Dengan susah payah akhirnya Dila mengutarakan kegelisahannya yang lain.
"Dengarkan aku, Dila. Aku mengatakan itu sudah dulu. Aku sudah tidak berkomunikasi lagi dengan dia. Fokus tujuanku hari ini dan kedepannya hanya kamu, Dil. Kalau aku masih ada perasaan sama dia, mana mungkin aku ingin melamarmu." Kali ini ucapan Zidan begitu mantap. Zidan tidak main-main untuk mempersunting Dila untuk menjadi teman hidupnya. Zidan telah memantapkan hatinya dan dia juga serius untuk hal itu.
"Jika kamu serius dengan perkataanmu, datanglah ke rumah, Dan. Aku dan keluargaku menunggumu esok lusa." Demikian kata Dila.
Mendengar apa yang dikatakan Dila membuat wajah Zidan mendongak. Entahlah, hatinya seperti disiram dengan bunga. Zidan benar-benar bahagia atas jawaban yang Dila berikan.
"Aku akan ke rumahmu, Dil. Tunggu aku."
Siang itu keduanya telah sepakat untuk menuju ke jenjang yang lebih serius. Rencananya Tuhan memang tidak terduga, orang yang telah dipisahkan bertahun-tahun jika memang berjodoh tentu akan mendapatkan jalannya tersendiri untuk bersatu.
Sumenep, 15 April 2023
***
Hari ini Zidan gugup sekali. Entahlah, subuh tadi baru jam empat Zidan sudah buru-buru bangun, mengambil wudhu menunaikan shalat subuh. Sedikit memanjatkan doa kelancaran untuk setiap urusan, terutama urusannya hari ini.
Tadi malam antara Zidan dan Dila sempat berkomunikasi lewat telepon. Berbicara satu dua hal yang menyenangkan.
"Aku kok deg-degan dari sekarang ya, Dil," ucap Zidan di sela-sela perbincangan mereka tadi malam.
"Kenapa? Kamu jantungan?" jawab Dila dengan polosnya.
"Bukan, sayang. Kenapa malah ke penyakit jantung sih. Lawak deh kamu."
Panggilan dengan embel-embel sayang dari Zidan sukses membuat Dila mengembangkan senyumnya diseberang telepon sana.
Iya, hubungan mereka semakin dekat dan semakin mesra. Sesekali dibumbui keromantisan yang dilakukan oleh Zidan dan sukses membuat Dila tersipu malu. Terutama panggilan 'Sayang' ini, meski terdengar aneh di telinga Dila. Namun, Dila menyukai itu.
"Udah, Dan. Berdoa saja untuk kelancaran hari esok. Lagian aku sudah bilang ke, Ayah, kalau kamu akan ke sini besok dengan membawa iktikad baik." Itu yang dikatakan Dila untuk memenangkan Zidan. Sebenarnya, Zidan tetap gugup, resah dan gelisah memikirkan hari esok meski Dila sudah memberitahunya kalau Ayah Dila sudah menerima Zidan dan menunggu kedatangan Zidan ke rumahnya.
Akhirnya telepon itu ditutup dengan satu dua kalimat candaan berikutnya untuk meminimalisir rasa gugup. Dan juga diakhiri dengan perkataan,
"Selamat tidur, Sayang. Mimpi indah ya." Begitulah ucapan yang selalu Zidan berikan setiap mereka akan beristirahat dan disambut dengan senyuman lebar dari bibir Dila di seberang sambungan sana.
***
Dila dan Zidan sudah bersepakat untuk meresmikan hubungan mereka kejenjang yang lebih serius, maka lima hari dari pertemuan Zidan dan Dila di taman waktu itu, Zidan akan berkunjung ke rumah Dila tepat di hari Selasa untuk menyampaikan iktikad baiknya yang akan melamar Dila pada orang tuanya.
"Kamu kenapa, Dan," Bunda Zidan bertanya sebab anaknya pagi-pagi sekali sudah mondar-mandir di ruang tamu dengan muka gelisah.
"Gak papa kok, Bun." Zidan mencoba tenang, itu yang Zidan lakukan. Mengintip matahari pagi dari balik jendela rumahnya, sudah sedikit meninggi.
"Sini duduk dulu, nih Bunda bawain kolak." Bunda Zidan duduk dengan semangkuk kolak di tangannya lalu diletakkan di atas meja.
Zidan ikut duduk, lalu menyendok kolak itu. Enak, manis. Masakan Bundanya memang tidak pernah gagal. Bahkan resep di toko rotinya itu semuanya dari sang Bunda. Zidan hanya mengembangkan resep-resep dari Bundanya menjadi sebuah bisnis besar, hingga pada akhirnya toko roti itu dikenal banyak orang sampai ke luar kota.
"Tenang, Dan. Ibu tahu kamu gelisah karena akan ke rumah Dila. Berdoa yang banyak, insyaallah lancar hari ini, Dan," ucap sang Bunda. Ucapan Bundanya selalu sukses menghipnotis Zidan dan membuatnya lebih tenang jika dalam keadaan gelisah resah seperti sekarang ini.
"Nanti kamu ke rumahnya Dila sama Om Jamal ya. Om Jamal sudah bunda telfon tadi malam. Bentar lagi Bunda telfon lagi," tutur Bunda sambil berlalu dari dekat ruangan hendak ke dapur.
Benar hari ini Zidan akan ke rumah Dila untuk melamarnya dan ditemani om Jamal. Baru setelah lamaran itu diterima, maka Zidan akan membawa keluarga besarnya untuk bertamu ke rumah Dila. Om Jamal ini adalah adik dari Bundanya Zidan. Dengan berpakaian rapi dan sopan, maka tepat jam delapan pagi mereka berangkat bersepeda motor berdua. Rumah Dila cukup jauh, sebab antara Zidan dan Dila tinggal di kabupaten yang berbeda. Hanya saja, dulu Dila berkuliah di kabupaten tempat Zidan tinggal.
Meskipun jarak tempuh yang lumayan memakan waktu, itu tak lantas membuat Zidan tenang. Hatinya terus saya berdegup kencang. Memikirkan kemungkinan, memikirkan respon dari orang tua Dila dan keluarganya. Sepanjang perjalanan itu juga, tak henti-henti Zidan berdoa untuk kelancarannya.
Entahlah, padahal Zidan berharap perjalanan ini akan cukup panjang. Tapi malah secepat ini sampai ke rumah Dila.
Motor yang Zidan kendarai mulai memasuki halaman rumah Dila. Rumah sederhana bercat putih dan berkeramik putih dengan sedikit corak warna coklat. Membuat rumah ini terlihat bersahaja.
Terlihat Ayah Dila berdiri di depan pintu rumahnya tenang menyambut kedatangan Zidan.
Zidan dan Om Jamal dipersilahkan masuk ke dalam rumah itu.
Apa yang terjadi setelahnya. Hanya pikiran Zidan saja yang kalang kabut karena takut, panik, khawatir dan sebagainya. Kenyatannya Ayah Dila menyambutnya dengan begitu ramah.
Setelah cukup lama berbincang-bincang dengan keluarga Dila. Om Jamal yang menjadi pengantar akhirnya mengutarakan maksud dan tujuan mereka datang.
"Jadi begini, maksud dan tujuan kami datang bertamu ke sini, ingin melamar anak kamu yang bernama Faradila untuk keponakan saya yang bernama Zidan. Kami sekeluarga dan saya yang mewakili Zidan sekeluarga ingin bermaksud baik dengan menyambung tali silaturahmi antara dua keluarga," Om Jamal masih menjeda ucapannya. Menarik napas sejenak. Sedangkan di samping kanannya, terlihat Zidan yang berkeringat dingin.
"Jika kiranya lamaran kami diterima, maka sesuai dengan kesepakatan nanti, Zidan akan membawa keluarga besarnya untuk bersilaturahmi ke sini," lanjut om Jamal.
Jangan ditanya perihal hati Zidan saat ini. Sudah tidak ada ditempatnya. Mungkin sudah pindah ke halaman rumah Dila. Ini tidak berlebihan, memang begitu adanya. Coba saja kalian para laki-laki ada di posisi Zidan saat ini, tentu tidak bisa santai.
Lama sekitar sepuluh menit, ruang tamu rumah Dila menjadi lengang. Ayah Dila tidak menjawab apapun. Hanya menatap Zidan dan Dila secara bergantian.
"Denger ini Nak Zidan. Sebelumnya Dila sudah mengatakan maksud dan tujuan kamu datang ke rumah kami. Dan saya sebagai ayahnya Dila menyambut baik iktikad kamu yang ingin melamar Dila," tutur ayah Dila.
"Bagi saya sebagai orang tua Dila. Dila tetep putri kecil saya meskipun dia sudah besar, sudah lulus kuliah, sudah bekerja. Di mata saya Dila tetap putri kecil saya, Nak. Jika kamu serius terhadap Dila putri saya, saya titipkan Dila pada kamu. Selama Dila bersama saya, tidak pernah sedikitpun tangan saya bermain kasar pada Dila, jadi saya harap kamu juga begitu. Rawat dan jaga serta sayangi putri kecil saya," ucap ayah Dila lirih.
Zidan tahu, ada rasa khawatir di hati ayah Dila. Takut putrinya bersama orang yang salah.
"Saya berjanji pada Bapak dan pada diri saya sendiri akan merawat, menjaga dan menyayangi Dila. Saya akan berusaha membahagiakan Dila. Saya serius dan telah memantapkan hati saya untuk menjadikan Dila sebagai pendamping hidup saya." Entahlah Zidan seperti tidak menapak pada tanah saat mengatakan itu. Harap-harap cemas dengan tanggapan ayah Dila.
Sesekali Zidan melirik Dila yang duduk di depannya bersama Ibunya.
Lima menit, ruang tamu ini kembali lengang. Tapi malah mencekam bagi Zidan.
"Jika kamu serius dengan Dila, bawa keluarga besar kamu lima hari lagi ke sini, Zidan. Saya tunggu kedatangan kamu dan keluarga besar kamu." Ya, itu yang dikatakan Ayah Dila.
Lamaran ini diterima. Zidan akan datang kembali dengan membawa keluarga besarnya. Meski rasa khawatir, takut dan cemas itu masih ada, tapi tidak bisa dipungkiri Zidan tersenyum bahagia lamarannya diterima.
Setelah berbincang-bincang santai selama tiga puluh menit akhirnya Om Jamal pamit pada orang tua Dila. Mereka hendak pulang.
Setelah mengucap salam dan si antar sampai halaman rumah, Zidan dan Om Jamal mulai melajukan motor mereka dari pekarangan rumah Dila.
Pamekasan, 02 Mei 2023
Komentar
Posting Komentar