Langsung ke konten utama

CERBUNG "12:19", Oleh: Erka Ray


(Bagain 3 ...)



Hari ini tepat hari Senin sore, di mana pesanan roti ibu itu sudah siap dan harus antarkan. Sesuai dengan alamat yang diberikan oleh ibu itu, maka roti itu akan diantarkan. Dila yang akan mengantarkan roti itu ditemani oleh supir dari toko roti. 

"Seperti tidak asing dengan jalannya." Itu yang dikatakan Dila sepanjang perjalanan ke rumah ibu itu. 

Persis memasuki gang untuk menuju ke rumahnya, dengan view persawahan yang hijau kekuningan. Di situlah Dila sadar. Ini adalah jalan ke rumah Zidan. Dila pernah ke rumah ini dua kali waktu hubungannya dengan Zidan baik-baik saja di masa kuliah itu. Apa ibu itu tetangganya Zidan? Salah, Dila salah, ibu itu bukan tentangnya Zidan. Ibu itu adalah Bundanya Zidan. 

Di depan rumah dengan halaman yang cukup luas, mobil yang membawa roti pesanan itu berhenti. Persis di depan rumahnya Zidan. Rumah yang sudah berubah dari bentuk yang dulu. Tidak lagi sederhana, rumahnya sudah di renovasi. Mencerminkan sekali jika Zidan sukses membahagiakan orang tuanya. 

"Sudah datang rupanya. Silahkan masuk, Nak." Ibu itu keluar dari dalam rumah dengan pakaian yang sederhana seraya tersenyum ramah. 

Dila dan supir dari toko roti dipersilahkan masuk ke dalam rumah itu. Rumah dengan cat putih, dengan warna keramik yang masih sama berwarna coklat. Rumah ini mewah. Persis seperti yang dibayangkan oleh Dila dulu yang dia beritahu pada Zidan. Ruang tamu, kamar depan dengan pintunya yang menghadap ke utara dan meja makan persis di depan kamar dengan itu. Dila terdiam menyaksikan apa yang ada di hadapannya saat ini. 

"Ayo, Nak, diminum dulu tehnya sebelum dingin." Bunda Zidan lagi-lagi tersenyum ramah. Memberikan beberapa camilan untuk tamunya. 

"Roti-rotinya diletakkan di situ saja ya," ucap Bundanya Zidan sambil menunjuk sekat ruangan. Dila dan supir itu saling mengangkut kotak-kotak roti dari dalam mobil. Lagi-lagi Dila terdiam. Ruang keluarga ini berada di balik sekat ruangan dan disampingnya terdapat tiga kamar yang persis menghadap ruang keluarga. Entah kebetulan atau tidak, rumah ini persis seperti apa yang dibayangkan Dila dan diberitahukannya kada Zidan dulu. 

Kesibukan mengangkut roti tidak berlangsung lama. Selebihnya bunda Zidan belum membolehkan Dila dan supir dari toko roti itu pergi. Mereka masih berbincang-bincang. 

Sedangkan dari arah luar terdengar suara deru motor yang baru memasuki halam rumah. Itu Zidan. Dia pulang lebih awal sore ini. Masih jam setengah empat. Dia pulang dalam keadaan lunglai. Entahlah, semangatnya hilang. Dia tidak bertemu dengan Dila lagi di hari ke tiga. Kemana perempuan itu. Itu yang dipikirin Zidan. 

Zidan membuka helmnya. Perlahan masuk ke rumahnya. Lelah setalah seharian bekerja. 

"Assalamualaikum," ucap Zidan di ambang pintu. 

"Waalaikum salam," ucap orang-orang di ruang tamu. Disitulah, Zidan terpaku. Orang yang dia tunggu-tunggu di masjid selama tiga hari terakhir ini, tanpa dia sangka malah duduk santai di rumahnya sendiri. Ada rasa senang dan apalah sejenisnya saat Zidan melihat Dila sore ini. Semangatnya kembali. 

"Ayo masuk. Ini loh, Bunda persen roti di toko roti kamu buat acara syukuran besok," ucap Bunda Zidan. 

"Hah! Toko roti Zidan?" Dila reflek menutup mulutnya, saking terkejutnya dia sampai kelepasan menyaringkan suara. 

"Iya, Nak. Toko tempat kamu kerja itu milik Zidan putra saya. Ya memang sekarang dikelola oleh sepupunya Zidan, Mbak Uda itu." Demikian penjelasan Bunda Zidan. 

"Oh ya, kamu kenal Zidan kok tahu nama anak saya?" Bunda Zidan bertanya penasaran. 

Disitulah Zidan memperkenalkan Dila kembali. Zidan bilang, Dila dulu pernah ke rumah ini dua kali, dulu saat mereka masih kuliah. Dila adalah sahabatnya Zidan. Barulah disitu Bundanya Zidan teringat sesuatu. 

"Oh ya, saya ingat. Kamu yang dulu ke sini itu kan ya? Saya ingat kamu sekarang, Nak?" Wah gak nyangka bisa ketemu lagi." Mata Bunda Zidan berbinar mengetahui kebenarannya.

Mereka masih berbincang-bincang setelahnya. Zidan ikut duduk bergabung di ruang tamu itu. Dengan bunda Zidan terkejut mengenai Dila, dan Dila yang terkejut dengan rumah Zidan dan semua yang dia ketahui hari ini bahwa toko roti tempatnya bekerja adalah milik Zidan. Memang Dila bekerja di toko roti itu baru berjalan tiga bulan. Jadi maklum saja jika belum tahu seluk-beluk toko roti itu. Dila kira Mbak Uda adalah pemilik toko roti itu, ternyata pemiliknya adalah orang yang sama sekali tidak diduga oleh Dila sebelumnya. 

Malam mulai temaram. Bak selimut gelap yang dihinggapi cahaya lampu. Dila pulang sore itu dari rumah Zidan dengan banyak perasaan. Terdiam malam ini di kamarnya. Sedangkan Zidan tengah berbunga-bunga karena bisa bertemu Dila lagi hari ini bahkan langsung di rumahnya sendiri. 

Pamekasan, 12 April 2023

Beberapa hari berlalu dari kejadian di rumah Zidan. Antara Zidan dan Dila semakin dekat, keduanya mulai terbuka lagi. Saling bercerita meskipun hanya hal-hal kecil.

Malam ini di Zidan yang tengah berbaring di dipan kamarnya terlihat tersenyum sendiri memerhatikan layar handphone. Sedang bertukar pesan dengan Dila melalui WhatsApp. Meski tanpa Zidan ketahui, ada hal yang tengah ditutupi oleh Dila.

"Aku ingin berbicara sesuatu padamu besok." Begitu isi pesan yang Zidan kirim.

"Ingin membicarakan apa," jawab Dila diseberang sana. 

Ya, memang chattingan mereka terlihat kaku. Entahlah mungkin keduanya tidak bisa kembali menggunakan nada berbicara yang dulu. Yang lebih terbuka. 

"Sesuatu. Aku hanya meminta waktunya sebentar setalah shalat duhur besok." Chatting malam itu di tutup dengan seutas emoji senyum. Dan beberapa kalimat penutup berikutnya. 

Zidan telah memantapkan diri. Dia yakin dengan keputusannya. 

Keesokan paginya, Zidan terlihat tidak sabaran. Beberapa kali terlihat mondar-mandir di ruang kerjanya. Melihat-lihat kaca jendela yang memperlihatkan bangunan masjid di seberang tempat kerjanya. Baru setelah jam sebelas, dia terburu-buru menuruni anak tangga. Bergegas ke masjid. Hatinya memang sedang tidak karuan. Memikirkan tanggapan dari Dila, memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Sempat di sapa oleh Pak Hosein di gerbang kantor. Zidan hanya membalas singkat. 

Entahlah, apa ini momen yang pas atau tidak. Yang jelas Zidan sudah memantapkan diri sejak tadi malam. Sudah berbicara dengan Bundanya juga.

"Jika kamu sudah yakin dengan keputusan kamu, dan sudah yakin dengan pilihan kamu. Bunda hanya bisa mendukung kamu, Dan. Apapun yang kamu pilih tentu sudah kamu pertimbangkan." Begitu kata Bundanya Zidan saat malam-malam Zidan mengutarakan keinginannya. 

"Lakukan apa yang menjadi keinginanmu. Lagipula dia adalah perempuan yang baik." lanjut Bunda Zidan. 

Lampu hijau dari orang tuanya sudah dia dapat. Lagi pula Bundanya suka dengan pilihannya ini. Tinggal menunggu lampu hijau dari orang yang dia maksud. Dan lihatlah persis di menit ke tiga puluh dari jam sebelas siang. Lebih tepatnya jam setengah dua belas. Persis saat azan berkumandang, Dila terlihat berlari-lari kecil memasuki halangan masjid, seperti biasa menenteng tas mukenanya yang berwarna biru. Langsung bergegas menuju kamar mandi wanita. 

Siang itu shalat dhuhur lagi-lagi digelar dengan hidmat di masjid Jami' pusar kota. Suara bacaan shalat dari imam terdengar syahdu ditelinga. Beberapa jama'ah ada yang berusaha memantapkan diri untuk khusyuk. 

"Bisa aku meminta waktumu tiga puluh menit saja?" Itu yang dikatakan Zidan saat bertemu dengan Dila di tangga masjid setelah selesai shalat. 

Dila mengangguk sebagai jawabannya. 

"Apa?" Itu yang dila pertanyakan lewat tatapan mata.

Sedangkan yang ditanya terlihat gusar. Merasa takut meksi hanya untuk mengeluarkan huruf A dari pita suaranya. 

"Aku ...." Suara Zidan terhenti.

"Bicara saja, Dan. Gak perlu takut. Memangnya mau bicara apa?" Dila bertanya karena Zidan tidak kunjung berbicara.

"Aku ... Aku ... aku bermaksud ingin melamarmu, Dil." Dengan susah payah akhirnya kalimat itu terlontarkan. 

"Apakah kamu menerima lamaranku?" Lanjut Zidan. Besar harapannya untuk bisa diterima oleh Dila. 

Mereka sudah dekat akhir-akhir ini, meksi tidak menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Namun keduanya terlihat cocok sekali. Dan sudah sangat dekat.

Lama, sekitar sepuluh menit. Tidak ada jawaban dari Dila. Dila terdiam. Pikirannya sedang penuh. Dia tidak yakin dengan Zidan meskipun dia juga mempunyai perasaan yang sama seperti Zidan. Rasa ingin memiliki itu ada, rasa ingin menuju ke jenjang yang lebih serius itu ada. Entahlah, ada yang membuatnya ragu. 

Beberapa hari lalu, tanpa sengaja Dila melihat Zidan tengah berbincang dengan mantan kekasihnya di sebuah cafe. Entah mereka bertemu secara kebetulan atau memang direncanakan. Dila waktu itu tengah diajak Vivi teman kerjanya untuk membeli makanan di jalan niaga. Tetapi sudut matanya malah melihat Zidan yang tengah tertawa renyah dengan mantan kekasihnya. Dila mulai ragu sejak saat itu, apa Zidan memang benar-benar sudah bisa melupakan mantan kekasihnya itu. Yang Dila tahu, mereka dulu menjalin hubungan cukup lama. Perempuan itu termasuk mantan kekasih Zidan yang paling berkesan.

Di tangga masjid tempat Zidan dan Dila duduk hari ini. Dila tidak tahu harus memberi jawaban apa. Sedangkan Zidan, dengan hati gemetar menunggu jawaban dari Dila. 

"Bagaimana?" Zidan berbicara untuk memecah keheningan di antara mereka.

"Jika kamu mengiyakan. Aku akan datang ke rumahmu Dil untuk memintamu secara baik-baik pada Bapak," ucap Zidan.

"Bisa beri aku waktu untuk berpikir dan memutuskan jawaban yang paling tepat?" Suara Dila terdengar bergetar. Rasa sakit hatinya masih ada saat melihat Zidan beberapa waktu lalu. 

"Aku akan memberikanmu waktu, Dil. Mantapkan hatimu terlebih dahulu. Semoga jawaban yang kamu putuskan nanti seperti apa yang aku harapkan, Dil." Zidan tersenyum untuk meyakinkan Dila. 

"Terima kasih." Hanya itu yang keluar dari mulut Dila. Setelahnya Dila pamit pergi. Dia harus bekerja. Tanpa menoleh lagi, Dila terlihat menjauhi halaman masjid. Sedangkan Zidan tersenyum dari tangga masjid melihat kepergian Dila. Hatinya merasa lega karena telah melontarkan maksud dan tujuannya pada Dila. 

***

Sumenep, 15 April 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI "PERCAKAPAN IBU", Oleh: Erka Ray

(Artisoo.com) Anak bertanya, "Kenapa ibu menangis saat mengupas bawang?" "Perih, Nak,"  Katanya demikian  "Kenapa ibu lama membasuh muka?" Pertanyaan selanjutnya "Wajah ibu kotor dosa, Nak. Wajah ibu sering tak ramah saat memintamu mengaji. Apalagi saat menyuruhmu pulang ke rumah, wajah ibu sangar. Pun wajah ibu sering kaulupakan saat kausedang berbahagia." Apa kaulihat ada yang bangun melebihi aku saat pagi tiba? Pun tak kaudapati siapapun di dapur kecuali aku, Nak Mengupas bawang yang sebenarnya masih terkantuk Memotong sayuran  Menyalakan kompor Menyalakan kran air kamar mandi Tak akan kaudapati selain aku, Nak Yang tangannya mencuci baju di kamar mandi dan matanya awas menatap nyala api sedang memasak air untuk membuat kopi Kelak, Jika kautak lagi temukan keributan dari mulutku, Nak Cepat peluk tubuhmu sendiri Mungkin aku sedang ingin beristirahat di ruang tamu Sembari diiringi keramaian lain yang sedang membaca doa-doa Sumenep, 0...

PUISI "PERASANKU", Oleh: Erka Ray

Entahlah,  Malam seakan bersendawa panjang Sehabis sarapan yang mengenyangkan Piring kotor dicuci sehabis itu  Malam tak bergeming di dekat jendela Gorden tak dibuka Untuk apa? Sesal tangan tak menggenggam Sesak dada mengingat sesal  Yang mana yang harus dirasa  Campur rasa tak menjadi suka  Malah menduka  Panjang umur malam ini  Penyair sampai hilang puisi  Kata di bait pertama yang tak berarti Pamekasan, 11 April 2023

HUMOR "MA, MINTA ADEK", Oleh: Erka Ray

Di pagi yang cerah, terjadi obrolan seru dari keluarga kecil di meja makan. Disana ada sepasang suami istri dan dua anaknya laki laki dan perempuan yang masih berumur 6 tahun dan si kaka 8 tahun di sela sela sarapan salah satu dari anak mereka memulai obrolan dengan mengajukan permintaan. "Ma, mama dulu yang buat adek gimana sih ma?" tanya si Kakak yang merupakan anak pertama. "Kenapa Kakak nanya kaya gitu," kata si Mama sembari tesenyum menahan tawa. "Kakak pengen adek lagi." "Pengen adek lagi gimana, Kak?" Si mama mulai kebingungan. "Ya pengen adek lagi, Ma. Adek bayi." Matanya mengerjab-ngerjab menunjukkan muka polosnya. "Itu kan masih ada adeknya, Kak." "Iya, Kak. Itu adeknya masih ada, masih lucu juga." Si papa ikut nyeletuk. "Tapi kakak pengen yang masih bayi, Pa, Ma. Iyakan dek?" Si kakak melirik adeknya, meminta dukungan. "Iya, Pa. Adek juga pengen adek baru yang masih bayi."  "Kalia...