Langsung ke konten utama

CERBUNG "12:19", Oleh: Erka Ray


(Bagian 2 ....)


Hari sudah malam, jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh. Lampu-lampu di rumah penduduk mulai redup. Satu dua mulai mati. Hemat listrik katanya. Suasana di luar mulai temaram dan sunyi. Hanya sesekali terdengar suara tetangga sebelah barat rumah Zidan yang masih terjaga di jam segini. 

Zidan sibuk dengan pikirannya malam ini. Dila. Perempuan itu sukses membuat fokusnya teralihkan. Padahal di depannya saat ini sedang berserakan beberapa berkas yang harus dia periksa. 

Entahlah. Pikirannya sekarang sedang bergerilya kemana-mana. Kenangan lama itu, masalah itu, semuanya bagai kaset rusak yang diputar pada ingatannya. Saat dia berkata dengan berat hati pada Dila waktu itu. 

"Aku harus menghapus perasaan ini, Dil. Aku gak bisa jika harus mencintaimu lebih lanjut. Perasaan ini hadir di waktu yang salah, Dila. Gak seharusnya aku punya perasaan ini sama kamu." Itu yang dikatakan Zidan pada Dila waktu itu. 

"Aku akan menyakitimu Dila jika perasaan ini terus dilanjutkan. Maafkan aku Dila, dengan berat hati aku harus menghapus perasaanku ini," lanjut Zidan. 

"Sebelum perasaan ini ada, kita haya sibuk tertawa, Dil. Hanya ada tawa di antara kita. Tapi semenjak perasaan ini ada, kamu menangis setiap hari. Aku penyebabnya, Dil. Aku tidak ingin membuatmu menangis dan terus menambah masalah baru dalam hidupmu. Jika perasaan ini terus ada, aku hanya akan menyakitimu. Dan rasa bersalahku akan terus ada." Zidan tertunduk dalam waktu mengatakan hal itu pada Dila. 

"Mohon, aku mohon mengertilah Dila." Kedua manik mata Zidan menatap Dila yang sudah sesenggukan di depannya. Ini menyesakkan bagi Zidan. 

Keduanya sama-sama hancur. Tidak ada yang baik-baik saja. Tanpa sepengetahuan Zidan, Dila telah membuka hati untuknya juga. Meski pada akhirnya, Dila mengakui perasaannya pada Zidan. Keduanya sama-sama salah atas perasaan yang ada. 

Zidan mempunyai perasaan pada Dila saat keduanya mulai semakin akrab dan sering mengurus urusan kuliah bersama. Meski sebelumnya, keduanya memang sudah bersahabat baik dari awal masuk kuliah. Saling berbagi cerita suka dan duka. Akan tetapi lama kelamaan perasaan Zidan berubah kepada Dila saat dirinya baru saja dipatahkan oleh kekasihnya. 

Zidan merasa perasaannya datang di waktu yang salah pada Dila karena pada waktu itu Dila tengah mempunyai seorang kekasih juga. Tapi perasaan adalah sebuah perasaan. Sejatinya tidak ada yang salah dengan perasaan Zidan. Tapi tempat dan waktunya yang salah. 

Hingga pada akhirnya kedekatan Zidan dan Dila diketahui oleh kekasih Dila. Memang sebelumnya persahabatan mereka tidak diketahui oleh kekasih Dila, dikarenakan takut membuat masalah pada hubungan Dila. Entahlah, tapi takdir Tuhan aneh sekali. Skenario yang tidak terduga datang hingga membuat hancur semuanya. Mereka mengakui jika sama-sama salah. Telah menyakiti banyak hati. 

Hingga akhirnya mereka sepakat untuk saling menjauh. Dila menyetujui permintaan Zidan agar rasa bersalahnya karena menghancurkan hubungan Dila bisa hilang, salah satu caranya mereka harus saling menjauh. Meski berat, mereka akhirnya sepakat dan terbiasa. Hingga akhirnya sama-sama lulus dan tidak ada komunikasi di antara mereka sejak masalah itu ada. 

Zidan menggaruk-garuk rambutnya. Kenangan lama itu keringat kembali olehnya, lengkap tanpa kurang satu kisah pun. Ini berat. Dila hadir lagi dalam hidupnya. Persetan dengan masalah itu, perasaan Zidan bahkan dari dulu sampai hari ini masih tetap pada Dila. Hanya karena rasa bersalahnya yang teramat dalam waktu itu sehingga dia memutuskan untuk menjauh. 

 "Kenapa kamu harus hadir lagi, Dila. Kenapa? Perasaan ini. Perasaan ini makin membuncah melihatmu lagi, Dil. Rasa ingin tahu keadaannya sekarang, rasa ingin tahu apakah perasaanmu masih tetap ada untukku atau tidak. Atau kamu telah menemukan laki-laki yang bisa membuatmu tersenyum tidak seperti aku." 

Malam ini pikiran Zidan kacau. Tidak, dia tidak bisa menyelesaikan tugas kantornya malam ini. Pikirannya tidak fokus, dari pada semakin berantakan, dia lebih baik istirahat saja. 

***

"Sarapan dulu, Dan. Sudah ada nasi goreng di meja makan." Itu suara Bundanya Zidan. Sepagi ini beliau sudah sibuk di dapur. Mengurus ini itu, memasak ini itu. Tidak ada yang membantu, karena Zidan merupakan anak laki-laki sekaligus anak satu-satunya di keluarga itu. 

"Bapakmu pergi ke mana?" tanya Bunda Zidan. Yang ditanya hanya menggeleng tidak semangat. 

Sepuluh menit kemudian, isi piring sudah tandas. Zidan menyalami tangan Bundanya. Pamit pergi, lalu menyalakan motor warna biru tuanya untuk menuju kantor bea cukai di pusat kota. 

***

Entah ada apa dengan Zidan, siang ini dia ingin cepat-cepat menuju masjid. Bahkan berangkat lebih awal ke masjid. Memang sebelum-sebelumnya dia rajin shalat duhur ke masjid, tapi entah kenapa semenjak bertemu Dila waktu itu, dia jadi berubah. Bahkan Pak Hosein menjadi terheran-heran dengan kelakuan Zidan yang berangkat ke masjid padahal masih jam setengah sebelas siang. 

"Dimana, Dila. Apa kemarin dia hanya kebetulan shalat di masjid Jami' ini?" Kini Zidan sudah duduk di tangga masjid. Sambil matanya menatap awas ke depan. Menunggu ke datangan Dila.

Entahlah, dia tiba-tiba kecewa. Sudah hampir jam setengah dua belas, tapi Dila belum juga kelihatan. Zidan tertunduk kecewa.

Akan tetapi, hatinya berdegup tiba-tiba saat mendengar suara azan berkumandang dari masjid. Matanya menatap lebar semakin terang. Pasalnya, orang yang dia tunggu-tunggu akhirnya datang. Dila terlihat buru-buru memasuki masjid dengan tas mukena warna biru yang dia bawa. Langsung menuju area kamar mandi wanita. 

Zidan tersenyum dari tangga masjid saat melihat Dila datang. 

Shalat duhur siang itu digelar dengan penuh kekhidmatan. Imam membaca bacaan shalat dengan lantang. 

Sesudah shalat, Zidan masih duduk di tangga masjid. Melihat jam di pergelangan tangannya yang masih menunjukkan jam dua belas pas. Terlihat Dila menuruni anak tangga. Dan di situlah tatapan mereka bertemu. Dila terlihat kaget dengan keberadaan Zidan. 

"Eh, kamu." Ucapan itu yang keluar dari dalam mulut Dila. 

"Eh, iya." Bodoh, Zidan malah ikutan kikuk. Menjawab dengan jawaban yang juga bodoh. 

"Kamu sering shalat di masjid Jami' ya?" Zidan bertanya pada Dila. Mereka saat ini tengah duduk berdua di tangga masjid dengan jarak yang lumayan dekat. Zidan yang mengajak Dila untuk mengobrol, dengan embel-embel teman lama yang baru bertemu. Entahlah, Zidan mungkin tengah memanfaatkan sesuatu. 

"Iya. Kalau duhur aja sih. Soalnya tempat kerja saya di dekat sini," tukas Dila. 

"Di mana?" Zidan malah celingak-celinguk mencari tempat kerja Dila dengan melihat ke luar masjid. 

"Eh, bukan di depan masjid juga. Tapi di sebelah kiri masjid. Kamu tahu toko roti yang terkenal itu? Nah, saya kerja di sana." 

"Toko roti Royal?" Zidan balik bertanya. Dila mengangguk sebagai jawabannya. 

Zidan tersenyum. Bagaimana tidak, Dila ternyata berkerja di toko rotinya sendiri, tapi dia tidak tahu kalau Dila adalah salah satu karyawannya. Memang toko roti itu di pegang oleh sepupu perempuan Zidan. Zidan tidak ikut campur soal toko roti itu. Sepupu perempuannya lah yang mengurus semuanya. Sampai-sampai dia tidak tahu, kalau Dila adalah salah satu karyawannya. 

Dila balik bertanya pada Zidan mengenai pekerjaan. Zidan menjawab bahwa dia berkata di Bea Cukai di seberang masjid Jami'. 

Mereka terdiam setelah itu. Pasalnya, dulu mereka pernah berbincang-bincang soal bea cukai. Khayalan-khayalan Dila dan Zidan soal Zidan yang akan bekerja di bea cukai dan Dila sebagai istri bea cukainya. 

"Ya sudah ya, saya pamit duluan. Sudah jam dua belas lewat sembilan belas menit. Saya harus kembali berkerja," tutur Dila kemudian memecah canggung di antara mereka. Zidan mengiyakan. Dila kemudian pamit pergi. Perlahan-lahan menuruni anak tangga masjid. Diiringi dengan Zidan yang tersenyum. 

***

Kalian tentu tahu, terkadang hal-hal bodoh sering saja dilakukan oleh orang yang sedang jatuh cinta. Nah, itu yang dilakukan Zidan sekarang. Sengaja datang lebih awal ke masjid Jami' setiap harinya hanya untuk melihat kedatangan Dila yang selalu terburu-buru menenteng tas mukenanya yang berwarna biru. Kemudian, masih berusaha mengajak berbincang-bincang dengan Dila setalah selesai shalat. Meski untuk kemudian harus berakhir di jam 12:19 karena Dila harus kembali ketempat kerjanya . 

Akhir-akhir ini Dila dan Zidan kembali dekat. Zidan memberanikan diri meminta nomor WhatsApp Dila.

"Boleh ya?" kata Zidan waktu meminta nomor WhatsApp Dila. 

"Untuk menjalin silaturahmi kembali dari pertamanan kita sempat terputus." Begitu kata Zidan. 
Sebenarnya ini akal-akalan Zidan saja. Sama seperti yang dia lakukan dulu waktu kuliah. Rela malam-malam mengantarkan makanan untuk Dila ke kosannya. Hubungan Zidan dan Dila kembali membaik. Mereka berteman kembali. 

Lalu bagaimana dengan Dila. Di depan etalase toko rotinya. Dila tengah senyum-senyum sendiri. Ada perasaan yang tidak karuan. Tadi saat selesai shalat duhur dia masih berbincang-bincang dengan Zidan sejenak membahas beberapa hal random saat kuliah dulu. 

"Tumben senyum-senyum. Ada apa nih? Menang undian kah?" Vivi lagi-lagi usil saat melihat Dila tengah senyum-senyum sendiri. 

"Apaan sih. Gak lucu." Dila melengos, beralih mengambil plastik di rak belakang. Ada ibu-ibu yang tengah membeli roti di toko itu. 

"Gak usah sewot dong. Jangan-jangan lagi kasmaran ya." Vivi semangkin usil.

"Sama siapa sih? Kasih tahu doang." Vivi terus membuntuti Dila dari belakang, penasaran dengan temannya yang tiba-tiba senyum-senyum sendiri. 

Kejahilan Vivi baru berakhir setalah seorang ibu-ibu masuk ke dalam toko. Kesan pertama yang dilihat Dila adalah merasa tidak asing saat ibu-ibu itu masuk. Seperti pernah melihat ibu itu. Entah di mana dan siapa.

"Selamat siang, Ibu. Silahkan dilihat-lihat dulu sajian roti di toko kami," Dila berkata ramah pada ibu itu. 

"Begini, Nak. Saya ingin memesan roti bolu dan roti karamel ya, masing-masing rotinya 400 biji yang berukuran sedang saja. Rencananya di rumah saya mau mengadakan acara syukuran, Nak," ucap ibu itu. Ibu itu bilang acaranya hari Selasa empat hari lagi. Ibu itu juga memberikan alamatnya untuk mengantarkan roti pesanannya di hari Senin sore. 

Dila memperhatikan alamat yang ibu itu berikan. Lagi-lagi seperti tidak asing. Akan tetapi Dila menepis pikiran itu. Sudahlah, tokonya akan sibuk beberapa hari kedepan untuk menyiapkan roti-roti pesanan Ibu itu. 

Dan benar, tiga hari kedepan Dila sibuk sekali. Dia ikut membantu membuat roti itu. Pesanan Ibu ini banyak dan harus diselesaikan dalam waktu 3 hari. Toko roti tempat Dila bekerja tidak mau mengecewakan pelanggannya. Dan selama tiga hari itu Dila tidak shalat di masjid Jami'. Dia hanya shalat mushalla yang ada di toko. Waktunya mepet jika dia harus ke masjid, karena setelah itu harus kembali membuat roti. 

Selama tiga hari itulah, Zidan tidak bertemu dengan Dila. Di hari pertama itu, padahal Zidan sudah menunggu tidak ada Dila bahkan sampai selesai shalat pun, Dila tetap tidak ada. 

"Apa Dila tidak bekerja hari ini?" Itu yang dipikirin Zidan. Tetap berpikir positif. Mungkin Dila tidak shalat di masjid hari ini. 

Dan hari keesokannya juga, Dila juga tidak ada. Zidan masih setia menunggu dari jam setengah dua sebelas siang sampai selesai shalat duhur. Ternyata Dila memang tidak shalat di masjid lagi. Ingin menghubungi lewat WhatsApp, Zidan tidak berani. Mereka baru saja berteman kembali setelah putus komunikasi bertahun-tahun. Entahlah, tiba-tiba harinya seperti tanpa matahari, mending seketika. Padahal, cuaca hari ini sedang terik-teriknya. 

***


Bersambung ....


Pamekasan, 10-11 April 2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI "PERCAKAPAN IBU", Oleh: Erka Ray

(Artisoo.com) Anak bertanya, "Kenapa ibu menangis saat mengupas bawang?" "Perih, Nak,"  Katanya demikian  "Kenapa ibu lama membasuh muka?" Pertanyaan selanjutnya "Wajah ibu kotor dosa, Nak. Wajah ibu sering tak ramah saat memintamu mengaji. Apalagi saat menyuruhmu pulang ke rumah, wajah ibu sangar. Pun wajah ibu sering kaulupakan saat kausedang berbahagia." Apa kaulihat ada yang bangun melebihi aku saat pagi tiba? Pun tak kaudapati siapapun di dapur kecuali aku, Nak Mengupas bawang yang sebenarnya masih terkantuk Memotong sayuran  Menyalakan kompor Menyalakan kran air kamar mandi Tak akan kaudapati selain aku, Nak Yang tangannya mencuci baju di kamar mandi dan matanya awas menatap nyala api sedang memasak air untuk membuat kopi Kelak, Jika kautak lagi temukan keributan dari mulutku, Nak Cepat peluk tubuhmu sendiri Mungkin aku sedang ingin beristirahat di ruang tamu Sembari diiringi keramaian lain yang sedang membaca doa-doa Sumenep, 0...

PUISI "PERASANKU", Oleh: Erka Ray

Entahlah,  Malam seakan bersendawa panjang Sehabis sarapan yang mengenyangkan Piring kotor dicuci sehabis itu  Malam tak bergeming di dekat jendela Gorden tak dibuka Untuk apa? Sesal tangan tak menggenggam Sesak dada mengingat sesal  Yang mana yang harus dirasa  Campur rasa tak menjadi suka  Malah menduka  Panjang umur malam ini  Penyair sampai hilang puisi  Kata di bait pertama yang tak berarti Pamekasan, 11 April 2023

HUMOR "MA, MINTA ADEK", Oleh: Erka Ray

Di pagi yang cerah, terjadi obrolan seru dari keluarga kecil di meja makan. Disana ada sepasang suami istri dan dua anaknya laki laki dan perempuan yang masih berumur 6 tahun dan si kaka 8 tahun di sela sela sarapan salah satu dari anak mereka memulai obrolan dengan mengajukan permintaan. "Ma, mama dulu yang buat adek gimana sih ma?" tanya si Kakak yang merupakan anak pertama. "Kenapa Kakak nanya kaya gitu," kata si Mama sembari tesenyum menahan tawa. "Kakak pengen adek lagi." "Pengen adek lagi gimana, Kak?" Si mama mulai kebingungan. "Ya pengen adek lagi, Ma. Adek bayi." Matanya mengerjab-ngerjab menunjukkan muka polosnya. "Itu kan masih ada adeknya, Kak." "Iya, Kak. Itu adeknya masih ada, masih lucu juga." Si papa ikut nyeletuk. "Tapi kakak pengen yang masih bayi, Pa, Ma. Iyakan dek?" Si kakak melirik adeknya, meminta dukungan. "Iya, Pa. Adek juga pengen adek baru yang masih bayi."  "Kalia...