(Bagian 1 ....)
Entah hari ini hari apa. Tapi yang jelas, hari ini bulan Maret, baru basuk awal bulan jadi masih segar-segarnya bulan ini. Sepagi ini jalanan sudah mulai padat oleh pengendara roda empat dan roda dua. Sibuk menuju tempat kerja masing-masing. Pasar-pasar, sepagi ini juga sudah ramai sekali. Tawar-menawar yang berlangsung sengit. Ancaman yang datang dari kembali, bahwa dia akan pergi jika tidak diberi harga segitu. Kehidupan yang mulai sibuk. Perkotaan yang padat.
Diseberang jalan sana, seorang laki-laki hendak menyebrang dalam dengan sepeda motornya yang berwarna biru tua. Hari ini dia akan pergi bekerja di salah perusahaan yang ada di kotanya. Perusahaan dengan gedung tiga lantai, bercat biru muda dan biru tua. Persis berada di jantung kota.
Berpakaian rapi, rambut klimis. Zidan, itu namanya. Seorang mahasiswa lulusan program studi Hukum tiga tahun lalu, tapi sialnya dia keterima bekerja di bea cukai yang ada di kotanya. Entah masih nyambung atau tidak, Zidan menikmati pekerjaannya.
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh. Motor warna biru tua milik Zidan terlihat memasuki halaman parkir yang ada di kantor. Dia bermotor sendiri di antara pegawai yang lain. Bukan karena tidak punya mobil, mobilnya jutsru merk ternama. Tapi baginya, bermotor lebih efektif apalagi saat terjebak macet. Bisa nyalip sana sini.
"Selamat pagi, Pak Zidan." Satpam di gerbang kantor menyapa Zidan dengan ramah. Rutinitas pagi, memang seperti itu.
"Selamat pagi, Pak." Zidan balas menyapa tidak kalah ramah.
Semenjak masuk kantor ini, Zidan memang terbiasa menyapa Pak Hosein yang merupakan satpam di kantor itu, baik pagi hari saat datang ke kantor ataupun saat hendak pulang kantor sore harinya. Mengenai kedudukannya di kantor, dia menduduki orang penting kedua di kantor itu. Akan tetapi, hal tersebut tidak membuatnya menjemawa diri. Dia tetap ingat bahwa yang diinjaknya masih tanah.
Zidan mengambil handphone nya di saku celana. Mengetik berapa pesan untuk Bundanya. Dia bilang, dia sudah sampai dengan selamat di kantor. Rumahnya memang tidak terlalu jauh dari kantor, tapi Bundanya selalu berpesan untuk terus memberi kabar saat sudah sampai di kantor. Maklum, Zidan adalah anak semata wayang di keluarganya.
Hari berjalan semakin cepat. Banyak sekali tugas-tugas menumpuk di meja kerja Zidan. Laporan tentang ini dan itu yang harus segera di cek nya.
Terdengar bunyi azan berkumandang, itu menunjukkan kalau waktu dhuhur sudah tiba.
"Mau shalat bareng, Pak?" Zidan bertanya saat bertemu dengan Pak Hosein di gerbang kantor.
"Boleh, Pak. Mari," jawab Pak Hosein.
Keduanya berjalan kaki menuju masjid Jami' di pusar kota. Gedung tempatnya bekerja juga dekat dua tempat ibadah sekaligus. Di sebelah kiri gedungnya terpadat Gereja. Sedangkan masjid Jami' persis berada di seberang jalan di sebelah barat kantornya. Jadi cukup jalan kaki saja sudah sampai.
Beberapa orang terlihat memasuki masjid dan memenuhi saf-saf depan untuk menunaikan ibadah shalat dhuhur. Terdengar suara imam masjid sudah mengumandangkan Iqamah. Siang itu shalat dhuhur ditunaikan dengan hidmat di Masjid Jami' yang ada di pusat kota.
"Pak Zidan langsung balik ke kantor?" Tanya Pak Hosein saat keduanya sedang duduk-duduk di emperan masjid setelah menunaikan shalat dhuhur.
"Iya, Pak. Saya masih banyak kerjaan di kantor. Di meja saja masih berserakan berkas-berkas yang belum di cek." Zidan menggulung kemejanya sesiku.
"Udah jam 12:19 juga, Pak. Sebaiknya saya balik saja. Pak Hosein masih mau di sini?" Zidan bertanya. Pak Hosein bilang, dia masih akan ngadem dulu di masjid. Baru akan balik jika sudah hampir jam satu siang.
"Ya sudah, Pak. Saya duluan ya." Zidan menurun tangga setelah berpamitan pada Pak Hosein.
Karena tidak hati-hati saat hendak memakai sandalnya, Zidan tanpa sengaja menyenggol seseorang sampai orang itu kehilangan keseimbangannya dan terjatuh.
"Maaf, maaf, Mbak."
"Mbak gak papa kan?" Zidan memastikan. Perempuan itu masih berusaha berdiri. Zidan merasa tidak enak hati, ingin membantu memberi uluran, tapi dia canggung.
Perempuan itu akhirnya berdiri.
"Gak papa, Mas. Saya gak papa kok," ucapnya sambil menepuk-nepuk tangannya yang kotor sebab jatuh tadi.
Keduanya masih belum fokus. Masih melihat objek lain. Zidan yang menilik tangan perempuan itu apakah terluka atau tidak, dan perempuan itu yang masih fokus menepuk-nepuk tangan dan membersihkan gamisnya. Sepersekian detik berikutnya barulah pandangan mereka bertemu.
"Kamu," ucap keduanya.
***
Zidan terkejut. Orang yang tidak sengaja disenggolnya tadi adalah orang yang selama ini masih ada dipikirannya. Orang yang selam ini masih di langitkan namanya semenjak perasaan itu muncul di semester 4 mereka Kuliah.
Faradila atau Dila, itu adalah nama perempuan itu. Sedangkan perempuan yang bernama Dila itu sama kagetnya dengan Zidan. laki-laki yang ada di depannya saat ini merupakan orang yang selama ini masih ada dipikirannya. Entah apa rencana Tuhan hari ini. Tepat jam 12:19 mereka dipertemukan secara tidak sengaja.
Dila, dia siang ini akan shalat di masjid Jami', dia memang setiap dhuhur pasti melaksanakan shalat di masjid, dan tempat kerjanya juga dekat dengan masjid. Di samping kiri masjid beberapa meter lagi adalah tempat kerjanya. Sebuah toko roti yang terkenal di kota itu.
Hari ini sungguh tidak terduga mereka bertemu. Sebuah ketidaksengajaan.
Canggung itu yang mereka rasakan. Sudah tidak menjalin kabar lebih dari tiga tahun setelah lulus. Dan menjadi asing setelah masalah yang terjadi di antara mereka saat kuliah dulu.
"Em ..., maaf ya. Tadi tidak sengaja." Zidan memulai percakapan terlebih dahulu. Dia merasa tidak enak karena membuat Dila terjatuh.
"Gak papa kok. Santai saja. Lagi pula saya gak papa, dan gak ada yang luka," jawab Dila yang tak kalah canggung.
"Lama ya gak ketemu kamu. Apa kabar?"
Entah keberanian dari mana, Zidan malah dengan bodohnya melanjutkan pertanyaan. Hatinya berkecamuk saat ini. Perempuan ini adalah bagian dari hidupnya semenjak semester 4 itu. Perempuan ini yang berhasil membuatnya jatuh cinta lagi dengan begitu cepat setalah dia patah hati. Perempuan ini berbeda, itu sebabnya dia menyukai perempuan ini.
"Baik kok. Kamu apa kabar, Zidan?" Dila tersenyum kikuk. Entahlah hari ini hatinya tidak karuan. Ingin rasanya dia cepat-cepat pergi dari halaman Masjid ini.
Setelahnya, keduanya sama-sama sibuk dengan pikiran masing-masing. Meski sebenarnya objek yang mereka pikirkan adalah sama. Soal perasaan yang masih ada.
"Eh, anu. Saya duluan ya. Sudah hampir jam satu. Saya harus masuk kerja lagi. Lanjut lain waktu saja ya." Dila buru-buru mengakhiri lamunannya. Dia harus pergi, pekerjaannya sedang menunggu. Lagi pula, dia canggung bertemu dengan Zidan kembali. Laki-laki yang namanya pernah dia langitkan pada Tuhannya.
Zidan hanya mengangguk. Tidak berkata sepatah katapun. Dia melihat Dila yang berlari-larian kecil menjauh darinya.
Baru tiga menit kemudian dia tersadar,
"Oh ya, kantor." Buru-buru dia berjalan menuju kantor yang berada di seberang jalan masjid.
***
Dila yang sudah sampai di toko roti tempatnya bekerja buru-buru menuju kamar pekerja di bagian belakang untuk mengganti sandal yang dipakainya dengan sepatu.
"Kamu kemana aja, tumben baliknya Sampek hampir jam satu." Vivi bertanya saat melihat Dila yang sedang memakai sepatunya. Dia adalah teman kerja Dila.
Dila hanya menjawab dia masih berdiam diri di masjid sejenak. Tidak mungkin dia berbicara sejujurnya kalau dia bertemu dengan laki-laki itu. Laki-laki yang masih terus dia sebut namanya meskipun sudah tidak berkomunikasi.
Setelah memasang sepatu Dila beralih mengambil beberapa roti dari dapur untuk di letakkan di etalase depan. Dila harus fokus bekerja, nanti saja jika ingin memikirkan laki-laki bernama Zidan itu.
***
Sedangkan Zidan, sepulang dari masjid pikirannya tidak bisa fokus. Dila. Itu yang ada dipikirannya. Pekerjaannya menumpuk di atas meja. Masih ada beberapa berkas soal surat-surat pengiriman barang yang memerlukan izin yang belum dia periksa. Bagaimanalah ini. Pikirannya kali ini berisi Dila. Perempuan itu.
Jam dinding di ruangannya menunjukkan pukul 16:50. Itu tandanya dia harus bersiap-siap untuk pulang.
Di gerbang depan bertemu dengan pak Hosein yang lagi-lagi menyapa ramah, dan Zidan yang menjawab sapaannya dengan tidak kalah ramah juga.
Motor warna biru tua itu kali ini sudah melaju di jalanan kota. Terus membelah langit sore. Zidan pulang sore ini seperti biasa. Masih mampir di depan perpustakaan umum untuk membeli makanan pesanan Bundanya. Setelahnya, Zidan terus melajukan motornya ke arah tidur. Langit sore yang indah tapi temaram. Entah, apa karena hari ini bertemu dengan Dila lagi. Atau karena perasaannya yang sampai saat ini belum hilang meksipun dia berkali-kali dulu bilang, kalau dia akan menghapus perasaannya untuk Dila.
Entahlah.
BERSAMBUNG ...
Sumenep, 09 April 2023
Komentar
Posting Komentar