Dalam suatu kota yang maju, yang tumbuh pesat perekonomiannya. Tentu akan tidak pernah lepas dengan yang namanya ketimpangan di beberapa sudut kotanya. Orang-orang pinggiran, pemulung, anak jalanan, tumbuh semakin banyak bagai jamur di musim penghujan seiring dengan semakin berkembangnya suatu perkotaan.
Matahari semakin meninggi. Seakan-akan membelah ubun-ubun saking panasnya. Orang-orang di pinggir jalan semakin sibuk ke sana kemari entah akan kemana. Orang-orang penjual es kelapa tampak segar sekali di tengah cuaca terik seperti ini.
Dani meneguk salivanya. Dia haus sekali hari ini. Seharian mengamen ke sana kemari tidak ada hasil. Orang-orang seperti enggan memberikan sedikit uangnya. Hanya satu dua orang memberikannya uang seribuan dan lima ratusan.
Apa yang bisa dikerjakan anak jalanan sebatang kara seperti dirinya jika tidak mengamen dan menjadi pedagang asongan. Tentu hanya itu kesehariannya. Dia punya prinsip dari dulu, tidak akan pernah ada tangan di bawah selagi dia masih bisa berusaha. Tidak sekolah dan tidak belajar. Padahal anak-anak seusianya sekarang sedang asik-asiknya belajar di bangku kelas 6 SD.
"Nanti juga minum itu kok." Dani membesarkan hatinya. Pasalnya es kelapa muda itu terlihat begitu segar sekali.
Dia memilih berjalan lagi. Kali ini tidak mengamen di lampu merah. Memilih mendatangi rumah-rumah penduduk.
Dia mulai menggenjreng ukulelenya. Beberapa rumah penduduk yang dia datangi tidak membuahkan hasil apapun. Ada yang langsung menutup pintunya saat dia datang. Sedikit menyakiti hati sebenarnya orang seperti itu. Hanya saja, Dani tidak memperpanjang hal itu. Mungkin orang-orang itu risih dengan anak jalanan modelan dirinya.
"Permisi, Bu. Numpang mengamen ya, Bu." Dani meminta izin sebelum memetik ukulelenya kepada Ibu-ibu dengan badan agak sedikit gendut yang sedang menyiram tanamannya di halaman rumah yang cukup besar.
Ibu-ibu itu menoleh menganggukkan kepalanya. Mempersilahkan.
Setelah menyanyikan satu lagu, Ibu-ibu itu menghampirinya hendak memberikan uang.
"Apa saya bisa meminta minum saja, Bu. Saya haus sekali. Ingin membeli air tapi tidak ada uang," ucap Dani. Peluhnya sudah mengucur deras di kening karena panasnya matahari siang ini.
"Tentu bisa, Nak. Ayo masuk-masuk." Ibu-ibu itu ramah sekali. Dani dipersilahkan masuk ke dalam rumahnya yang besar. Ibu-ibu ini orang berada. Lantainya saja dari keramik yang berkualitas. Pasti harganya mahal. Rumah dengan tampilan yang elegan. Tidak mencolok dengan warna emas seperti rumah orang-orang kaya lainnya.
"Tunggu sebentar di sini ya. Duduk dulu. Sandalnya tidak usah dilepas, Nak. Pakai saja, tidak apa-apa." Ibu itu menyuruh Dani memakai sandalnya. Dani tidak enak, rumah ini bagus sekali. Tidak mungkin harus dia nodai dengan sandalnya yang hitam dekil seperti ini.
Dani memandang takjub rumah ini. Tapi sayangnya sepi. Tidak ada siapapun di dalamnya. Kemana orang-orang di rumah ini.
Selang lima menit Ibu itu membawakan segelas susu dingin. Mempersilahkan untuk diminum. Sekali teguk, susu itu tandas. Dani haus sekali. Seperti sebuah nikmat besar mendapatkan segelas susu dari Ibu ini.
Mereka saling berkenalan, Ibu itu memperkenalkan dirinya juga. Namanya Ibu Reni. Suaminya sudah meninggal 10 tahun yang lalu. Anak-anaknya pergi merantau dan ikut ke rumah istri-istrinya. Dia tinggal sendiri di rumah besar ini.
"Di rumah sebesar ini hanya tinggal sendiri?" Dani reflek menutup mulutnya, kelepasan berbicara keras.
Dia kaget. Pikirnya, 'Sayang sekali rumah besar dan megah seperti ini hanya di huni satu orang saja. Pasti Ibu Reni ini kesepian.'
Setelahnya mereka berbincang-bincang. Ibu Reni ini sering melihat Dani pagi-pagi buta lewat di depan rumahnya dengan menenteng ukulele. Dani memang berangkat mengamen sangat pagi. Karena jalan raya sedang rame-ramenya dengan orang yang akan pergi bekerja.
"Saya biasanya tidak mengamen di perumahan ini, Bu. Hanya ngamennya di lampu merah dekat toko onderdil mobil dan motor itu. Tapi hari ini sepi, jadi saya pindah mengamen ke rumah-rumah." Begitu kata Dani.
Sekilas jika dilihat, percakapan ini seperti siluet percakapan Ibu dan anak laki-lakinya.
Dani bersyukur hari ini bisa minum. Dia haus sekali. Dan Ibu-ibu ini baik sekali memberikanya segelas susu dingin yang enak. Hari ini, di rumah besar ini, Dani berjanji akan membalas segelas susu itu suatu saat.
"Tambah lagi ya, Nak." Bu Reni menambahkan secentong nasi lagi pada piring Dani. Selain baik karena telah memberikan susu, Dani juga diajak makan di rumah besar itu.
"Ibu, masak banyak hari ini. Mubazir jika tidak ada yang makan. Makan yang banyak, Dan."
Tuhan, masih ada sisi orang-orang baik di sekitar Dani. Bu Reni ini, tersenyum ramah memberikannya segelas susu. Terasa dingin sampai ke hati.
Setelahnya, Dani pamit pulang. Sudah sore. Ibu ini terlampau baik sekali padanya. Dia pulang dengan haus yang hilang dan perut yang kenyang. Belum lagi dia diberikan nasi bungkus untuk dibawa pulang.
Di arah barat sana, siluet senja udah terang sekali menguning. Menyapa pucuk-pucuk dedaunan dan atap-atap rumah penduduk.
***
Setiap hari Dani lewat di depan rumah besar Ibu Reni. Dan setiap hari pula Bu Reni memberikan segelas susu di pagi hari untuk Dani. Keduanya sama-sama kesepian. Dani yang yatim piatu dan anak jalanan, dan Bu Reni yang kesepian di rumahnya. Sesekali mereka memang terlihat berbincang bersama di depan rumah besar itu. Untuk kemudian Dani pamit pulang sore harinya. Pernah Bu Reni menawarkan agar Dani ikut tinggal bersamanya. Tapi Dani menolak. Tidak, baginya Ibu ini terlalu baik. Tidak perlu dia ngelunjak dengan ikut tinggal bersamanya di rumah besar ini.
Waktu terus berjalan. Kehidupan seperti roda yang berputar bukan. Orang yang awalnya di atas bisa saja dibawah. Yang kaya jadi miskin, yang sedih jadi bahagia, yang sendiri menjadi berdua. Selalu ada perubahan dalam hidup.
Lalu apa yang terjadi dengan Dani dan Bu Reni setelah tahun-tahun berlalu. Banyak yang berubah tentunya. Dani tidak lagi lewat di depan rumah besar itu untuk pergi mengamen di lampu merah dekat toko onderdil motor dan mobil. Dan Bu Reni tidak lagi memberikannya segelas susu pada Dani. Meski sempat beberapa kali Bu Reni bertanya dalam benaknya,
"Dimana anak pengamen itu."
Dani memang hilang tiba-tiba.
Tahun-tahun berlalu.
Bukankah Tuhan memang sudah menyiapkan skenario terbaik untuk hambanya. Dani, anak jalanan yang sebatang kara itu, bertemu dengan orang baik. Dia dijadikan anak angkat, di sekolahkan. Dia hidup enak sekarang. Hingga akhirnya bersekolah di Universitas ternama di luar kota, dan menyandang gelar Dokter.
Lalu apa yang terjadi dengan Ibu Reni itu. Naas, roda kehidupan berputar. Dia yang awalnya di atas, kini harus berapa di bawah. Ibu itu mengalami kebangkrutan. Lebih tepatnya anaknya. Anaknya mengalami kerugian besar saat berinvestasi. Hingga harus menjual barang-barang berharga di rumah besar Ibunya. Sekarang rumah besar itu, kosong melompong. Bukan hanya tidak ada orangnya, tapi juga tidak ada barang-barang bagus dan mahal seperti waktu Dani masuk ke dalam rumah itu pertama kalinya.
***
"Ada korban kecelakaan." Salah satu perawat berteriak di ujung koridor rumah sakit. Mukanya sedikit panik.
"Dokter Dani, ada pasien kecelakaan, Dok. Lukanya parah sekali. Tubuhnya terus mengeluarkan darah." Suster muncul dibalik pintu kaca sambil berkata demikian.
Dani yang baru saja duduk melepas jas putihnya sehabis memeriksa beberapa pasien, langsung berdiri. Tidak ada istirahat kali ini. Tugas telah memanggil, dan ada nyawa yang harus diselamatkan.
Dani sedikit berlari keluar dari ruangannya.
"Cepat siapkan peralatan. Di mana korban kecelakaannya?" Dia bertanya pada suster yang tadi menyampaikan pesan.
Suster itu bilang, korbannya sudah ada di dalam ruang UGD. Korbannya seorang Ibu-ibu dengan tubuh sedikit gemuk. Ada sedikit ingatan di benak Dani. "Sedikit gemuk?" Seperti menggambarkan suatu sosok.
Dani masuk terburu-buru ke dalam UGD. Langsung berhadapan dengan korban kecelakaan itu. Tubuhnya sudah penuh dengan darah.
"Ibu ini," Dani bergeming. Otaknya reflek memutar ingatan waktu siang-siang kehausan diberikan segelas susu oleh Ibu-ibu baik ini.
"Ibu Reni," Dani berkata lirih
"Langsung siapkan peralatan, sus. Segera bersihkan lukanya. Ada beberapa luka yang harus dijahit." Siang itu ruang gawat darurat itu sibuk dengan satu pasien spesial Dani.
Sesak di dada Dani. Ibu ini harus diselamatkan. Itu yang dia pikirkan sekarang. Mulai membersihkan darah-darah yang ada di tubuh Ibu itu. Suster membantu mengganti pakaian yang sudah berlumuran darah dan robek. Siang itu benar-benar panik.
"Stok darah golongan B sedang kosong Dok di rumah sakit," ucap salah seorang suster yang baru datang mengecek stok darah.
"Ambil darah saya saja, sus. Golongan darah saya juga B." Dani tidak pikir panjang, langsung menawarkan diri. Demi segelas susu yang Ibu itu berikan saat dia sedang haus. Darah ini tidak ada artinya.
Transfusi darah itu segera dilakukan. Semuanya berjalan lancar. Malam harinya Ibu itu dipindahkan ke ruang inap yang lebih baik. Belum dasarkan diri. Dani berdiri di samping kanannya.
"Kemana keluarganya?" Itu yang dari tadi Dani tanyakan. Ingin menghubungi, tapi tidak ada satupun keluarganya yang Dani kenal. Ibu itu selalu saja sendiri di rumah besar itu, bahkan hingga sekarang dia sedang bertarung untuk hidup pun, dia masih sendiri.
Terdengar bunyi dering telepon. Mama angkat Dani menelfon, dia harus pulang. Dani sudah punya keluarga saat ini. Yang baik, yang membuatnya menjadi seperti sekarang ini.
Beberapa hari berlalu.
Keadaan Ibu itu semakin membaik. Bisa dikatakan sudah sembuh total. Tubuhnya yang robek karena kecakapan itu sudah dijahit. Ibu itu sehat kembali.
Hari ini Ibu itu keluar dari rumah sakit. Berjalan pelan ke resepsionis hendak menanyakan biaya rumah sakitnya. Sedikit cemas, masalahnya dia tidak punya uang sama sekali untuk membayar uang perawatannya selama di rumah sakit ini.
"Sudah lunas, Bu." Itu kata resepsionis.
"Lunas, Mbak? Tapi saya belum bayar sama sekali, Mbak," ucap Ibu itu sambil kebingungan. Pasalnya dia merasa belum membayar, tiba-tiba sudah lunas.
"Oh ya, Bu. Ada yang menitipkan ini untuk Ibu." Resepsionis itu mengerjakan selembar kertas. Entah apa isinya.
Ibu Reni membuka isinya. Hanya terdapat beberapa garis tulisan. Isinya,
"Telah dibayar lunas dengan segelas susu. Terima kasih, Bu. Saya jadi tidak haus lagi siang itu. Semua ini sungguh tidak ada apa-apa dibandingkan dengan kebaikan Ibu."
Demikian isinya.
"Dani anak pengamen itu." Ibu Reni berkata lirih. Sosok Dani langsung terhambat di otaknya.
"Apa saya bisa bertemu dengan orang yang memberikan kertas ini, Mbak?" Ibu Reni bertanya pada resepsionis.
"Mohon maaf, Ibu. Dokter Dani baru saja berangkat ke luar kota."
Ibu Reni kehilangan kata-kata saat ini.
Anak jalanan itu sudah menjadi dokter. Itu yang dia pikirkan. Resepsionis itu juga memberi tahu, kalau dokter Dani lah yang memberikan mendonorkan darah padanya, karena waktu itu stok darah golongan B di rumah sakit sedang habis.
Ibu Reni sungguh terharu. Segelas susunya masih diingat oleh anak jalanan itu.
Seperti janji Tuhan. Kebaikan akan dibalas kebaikan. Satu kebaikan akan dibalas sepuluh kebaikan. Kadang kita berpikir bahwa kebaikan kita bagi orang lain itu kecil, tapi siapa sangka kebaikan yang kita anggap kecil itu justru dianggap besar oleh orang lain. Segelas susu itu contohnya. Mungkin 'hanya', tapi begitu berharga bagi orang yang membutuhkan.
Diselesaikan di Sumenep, 14-15 Febuari 2023
Komentar
Posting Komentar