Hari ini cerah tapi tidak secerah suasana hati. Burung-burung sudah pergi mencari isi perut sepagi ini, terbang rendah di atas genting. Bersuara merdu, meski hanya samar-samar. Di desa ini kehidupan sudah mulai bangkit sejak subuh. Entah ada yang sibuk di dapur atau sibuk mempersiapkan alat-alat kerjanya untuk ke ladang.
"Sudah siap tidak?" Andi tampak rapi dengan setelan Kemeja hitam dan celana cream. Jam delapan lewat sepuluh menit, dia nongol di samping rumah. Hari ini Aku dan Andi akan pergi ke pernikahannya Mita. Iya hari ini Mita menikah.
Sebelumnya perkenalkan, namaku Fauzan. Dan tidak ada yang spesial sih dariku untuk kalian ketahui. Cukup tahu nama saja. Selebihnya biarkan kisah ini tuntas terlebih dahulu.
"Kau kuat kan, Kawan?" Andi sibuk bertanya di atas motor saat kami sudah berangkat. Mengganggu konsentrasiku menyetir saja.
Aku tahu maksud Andi berkata demikian. Aku menaruh hari pada Mita sudah sejak lama. Sejak kami duduk di bangku SMA. Mita yang datang ke sekolah kami sebagai murid baru langsung mencuri perhatian teman satu kelas. Orangnya yang baik, ramah dan tentu saja cantik hati dan wajahnya. Itu lah awal mula aku menyukainya. Sayangnya, cinta ini hanya sekedar cinta. Hanya mangkir di hati, tak kunjung naik pada lidah untuk diucapkan. Jadilah aku keduluan yang lain.
Setelah kami sama-sama lulus kuliah, karena aku, Andi dan Mita satu kampus juga cuma beda jurusan saja. Aku mengambil jurusan Hukum, Andi mengambil jurusan Teknik Informatika, sedang Mita mengambil Jurusan Perbankan. Seperti cita-citanya yang ingin menjadi pegawai Bank. Aku keduluan yang lain, Mita dilamar teman sekelasnya saat kuliah. Ya dan saat ini mereka menikah, aku dan Andi diundang karena masih terhitung teman yang cukup akrab.
"Seharusnya kau waktu itu menyatakan perasaan. Bukan malah menerapkan sistem cinta dama diam. Kau ini tidak cocok. Jadilah sakit hati kan sekarang melihat Mita menikah," Andi berbisik saat kami sudah dipersilahkan masuk oleh Ibunya Mita. Mita terlihat cantik di depan sana, dengan dibalut gaun berwarna putih, dan riasan yang membuat wajah cantiknya semakin cantik.
"Sudah jangan bersedih hati, Kawan. Nanti juga dapat yang jauh lebih baik." Andi menepuk-nepuk punggungku. Reflek aku langsung batuk karena tersedak.
"Kau ini apa-apaan. Kalau mau mukul pelan-pelan saja. Kau tidak liat aku sedang minum." Aku bersungut-sungut. Sedangkan Andi hanya cengengesan meminta maaf, bilang sengaja agar fokus sedihku teralihkan.
"Selamat menempuh hidup baru ya, Mit." Aku menyalami Mita beserta suaminya. Suaminya memang jauh lebih baik dariku.
"Terima kasih sudah datang, Fauzan. Aku tidak menyangka kamu akan datang. Soalnya kemarin saat mengantarkan undangan, Ibumu bilang kamu sedang mengurus cabang bengkelmu yang barumu," ucap Mita sambil tersenyum menerima uluran tanganku. Mita memang tidak tahu soal perasaanku padanya, jadi dia saat ini bisa saja kepadaku. Berbeda denganku yang saat ini tidak biasa aja.
"Sudah-sudah, cepet geser. Aku juga mau salaman dengan pengantin baru." Lagi-lagi Andi merusak suasana saja.
Setelah selesai bersalaman dengan mempelai. Kami diperlukan untuk mencicipi hidangan di pernikahan itu. Sistemnya prasmanan, bebas mengambil yang mana saja. Jadilah saat ini aku dan Andi sedang mengantri untuk mengambilnya makanan.
"Eh, maaf. Aku tidak sengaja," ucap seorang perempuan berkerudung coklat yang secara tiba-tiba menyenggolku dan menumpahkan air. Jadilah lengan bajuku basah.
"Aduh jadi basah, bagaimana ini." Perempuan itu panik. Berusaha mengelap lengan bajuku menggunakannya tangannya.
"Tidak apa-apa. Cuma basah air, nanti kering sendiri." Aku mencoba untuk melepaskan tangannya yang sedang sibuk mengelap lengan bajuku.
"Aku minta maaf sekali. Tadi jalan tidak liat. Malah tersandung karena sepatu hak tinggi ini." Perempuan ini menunjuk-nunjuk sepatunya.
"Iya tidak apa-apa. Santai saja. Lagian cuma air kan. Tidak apa-apa, benar-benar tidak apa-apa," ucapku meyakinkan. Masalahnya perempuan ini tetap merasa tidak enak.
"Serius?" tanyanya lewat tatapan mata.
Jadilah sekitar sepuluh menit aku masih meyakinkan wanita itu kalau tidak apa-apa meskipun basah.
"Kenapa lenganmu basah begitu? Andi bertanya saat aku sedang menghampirinya yang sedang lahap memakan sajian. Seperti orang yang tidak makan sepuluh hari saja modelnya.
****
"Ibu ingin mengenalkanmu dengan seorang perempuan, Zan," ucap Ibu satu bulan setelah pernikahan Mita.
"Aku tidak mau dijodohkan, Bu. Lagi pula aku masih mudah, Ibu tidak perlu pusing soal jodoh." Sudah beberapa kali aku bilang pada Ibu kalau tidak perlu sibuk menjodoh-jodohkan.
"Muda dari mana, kamu itu sudah umur dua puluh tujuh tahun, Zan. Kamu jangan ikut-ikutan Andi yang jomblo sampai sekarang itu," ucap Ibu sambil mondar-mandir di depanku. Sibuk mengelap kaca jendela.
"Ibu tidak mau tahu, besok Ibu kenalkan kamu dengan perempuan itu. Kamu pasti suka," lanjut Ibu kemudian.
Ya sudahlah, untuk kali ini aku menurut karena dari kemarin aku sudah menolak beberapa ajakan Ibu untuk bertemu perempuan yang ingin dia jodohkan denganku. Toh Mita juga sudah menikah. Tidak ada lagi yang harus kutunggu cintanya. Kalian jangan berpikir aku akan menunggu jandanya. Tentu tidak. Biarkan Mita bahagia dengan suami sampai ke surga sana.
Esok siangnya Aku, Ibu dan Bapak pergi ke rumah perempuan itu. Kami disambut hangat oleh keluarganya. Dipersilahkan duduk, dihidangkan teh hangat dan kue kering.
"Nah ini dia anak perempuan kami yang kamu maksud. Namanya, Risa," ucap Bapak Yadi memperkenalkan anaknya yang tadi menghidangkan sajian untuk Aku sekeluarga. Sedangkan Risa yang dimaksud membalas dengan senyuman. Cantik, itu yang ada di benakku pertama kali melihatnya.
Saat melihat wajah perempuan ini, aku teringat sesuatu. Perempuan ini kalau tidak salah yang menumpahkan minuman pada bajuku. Yang beberapa kali meminta maaf merasa tidak enak hati. Iya tidak salah lagi.
Waktu berjalan dengan cepat, aku sekeluarga berada di rumah Risa sekitar 2 jam. Sambil bercerita-cerita antara Bapak, Ibu dan juga keluarganya Risa.
Disela-sela perbincangan itu Bapakku, mulai mengutarakan maksud dan tujuannya datang ke rumah Pak Yadi.
"Maksud dari kedatangan kami ke sini, ingin melamar anakmu untuk anakku, Yadi. Kami sekeluarga mempunyai iktikad baik untuk menyambung tali silaturahmi lebih erat lagi dengan keluargamu." Demikian ucapan Bapak dengan segala dramatisasi.
Ya, kemarin aku mengiyakan permintaan Ibu untuk bertunangan dengan perempuan pilihannya. Tidak apa, mungkin ini yang terbaik dari yang baik yang sudah dipersiapkan Tuhan. Maka jalani saja sampai mana alur cerita ini nantinya.
Keluarga Pak Yadi menyambut baik maksud dan tujuan dan Bapakku. Siang ini, kesepakatan telah dibuat. Aku dan Risa akan bertumbangan. Meskipun kami sebenarnya tidak saling kenal sebelumnya. Risa menerima begitu juga denganku. Setelahnya kami pamit untuk pulang.
Satu bulan lagi berlalu setelah pulang dari rumah bapak Yadi itu. Aku dan Risa sudah melangsungkan prosesi lamaran seminggu dari kedatanganku ke rumahnya. Kami sudah resmi, tinggal nikahnya saja. Entah kapan.
"Hari ini sudah tidak jomblo lagi ya kawanku yang satu ini," ucap Andi saat kami berdua sedang ada di bengkel. Iya aku mempunyai usaha perbengkelan. Memang sedikit aneh, kuliah ambil jurusan hukum setalah lulus malah ngelantur ke bengkel.
"Sepertinya, kamu harus lagi-lagi meninggalkan kami para jomblo ini, Kawan," ucap Andi lagi padaku dan karyawan bengkel yang lain.
"Memang ada apa?" aku bertanya.
"Masih bertanya ada apa? Ya jelas tunanganmu yang cantik itu datang membawakan makan siang untukmu." Andi menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aku langsung bergegas menghampiri Risa. Saat ini dia sedang duduk di kursi tunggu, aku plastik putih besar berisi makanan di tangannya.
"Sudah lama menunggu?" Aku kikuk. Iya, macam anak muda yang baru mengenal cinta saja. Tersipu malu.
Setelahnya kami makan berdua di kursi tunggu itu. Risa membawakan sekotak ayam geprek. Enak, apalagi makannya dengan Risa.
"Oh ya, Bapak memintamu untuk datang ke rumah. Ada acara 7 bulanan Mbak Risma," ucap Risa disela-sela makan.
Hubungan kami semakin dekat setiap harinya. Benih-benih cinta memang mulai tumbuh. Memang benar cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu. Aku mencintai Risa saat ini, meski dengan definisi cinta yang lain, tidak seperti cintaku pada Mita.
Aku dan Risa memang sering menghabiskan waktu berdua. Dia sering membawakan makan siang ke bengkel. Sering datang ke rumah membantu ibu memasak. Dan Ibu suka hal itu. Menantu idaman katanya.
Waktu terus berlalu, perasaan ini sudah semakin dalam.
"Bagaimana kalau pernikahannya dilaksanakan dua bulan lagi, itu tanggal yang bagu sekali," ucap Bapakku saat kamu bertamu ke rumah Risa untuk menetapkan tanggal pernikahan. Aku dan Risa sudah sama-sama siap menikah. Jadikan pernikahan kami akan dilangsungkan dua bulan lagi. Kami mulai sibuk mempersiapkan segalanya. Mulai dari gedung, undangan, catering, MUA. Semuanya lah untuk orang nikahan.
"Bagus tidak?" Risa bertanya saat kamu pergi ke suatu butik untuk membeli baju pernikahan. Risa terlihat cantik dengan gaun ini. Terlihat anggun. Cocok dengan dirinya. Jadilah kami sepakat untuk memakai baju pernikahan ini.
Hari ini, sudah memasuki hari kesekian menjelang pernikahanku dengan Risa. Masih kurang satu bulan lebih sih.
"Eh, tahu tidak. Si Mita temanmu waktu SMA itu katanya di-KDRT sama suaminya. Sekarang urusannya pelik sekali. Mita dibawa pulang ke rumah orang tuanya. Mukanya lebam, tangannya memar. Intinya aku kasihan sekali melihat kondisinya itu," ucap Sulaiman pada Andi salah satu pegawai bengkel. Aku hanya mendengarkan dari balik etalase. Tidak menimpali apapun. Ada sedikit rasa cemas di hati dan pikiran. Bagaimana mungkin di-KDRT sedangkan yang aku lihat waktu pernikahan mereka, suami Mita sangat mencintai Mita.
"Aku dengar juga, suaminya selingkuh," lanjut Sulaiman soal ceritanya tentang Mita.
Iya ternyata benar kabar itu, Mita di-KDRT suaminya. Kabar itu sudah menyebabkan luar ke seluruh desa. Mita sudah menjadi top news di desa kami.
"Apakah kita harus menjenguk Mita?" Aku bertanya pada Andi saat Sulaiman si pembawa kabar sudah mulai bekerja lagi.
Andi hanya mengangkat bahunya. Entahlah, katanya. Sepertinya aku memang harus menemui Mita. Sebagai temannya.
***
"Aku mendengar kabar yang tidak enak soal dirimu," ucapku pada Risa malam-malam lewat pesan WhatsApp. Aku khawatir, itu jelas. Tidak bisa dipungkiri perasaan ini masih ada.
"Itu bukan kabar burung. Kabar itu benar, Zan." Mita akhirnya menjawab pesanku sekitar satu jam setelahnya. Malam ini kita sepakat bertemu besok.
***
"Kamu apa kabar?" Mita basa-basi bertanya. Saat kami sudah bertemu disebuah rumah makan yang agak jauh dari jangkauan tetangga. Kami tidak ingin ada gosip yang tidak benar. Masih ada bekas lebam di pipi kirinya.
"Awalnya dia baik padaku, Zan. Kami mulai membangun rumah tangga yang baik, yang seperti kami rencanakan. Pindah rumah, memiliki rumah sendiri." Mita tertunduk sambil bercerita.
"Tapi entah kenapa, tiba-tiba dia berubah. Mulai pulang malam. Kadang Lima hari tidak pulang sama sekali. Aku khawatir. Saat dia pulang aku bertanya dengan baik-baik. Dia malah marah padaku. Mulai memaki, mulai bermain tangan," lanjut Mita.
Mita sudah tidak kuasa. Dia menangis. Aku tahu ini berat bagi Mita. Suami Mita berubah semenjak kenal dengan wanita baru. Sering pulang larut atau bahkan tidak pulang berhari-hari. Karena takut ketahuan, setiap Mita bertanya suaminya dari mana, dia pasti akan marah dan memukul.
"Jika tahu semuanya akan berakhir seperti ini. Aku tidak akan membiarkanmu jatuh pada laki-laki yang salah, Mit," ucapku akhirnya. Entahlah, perasaan ini masih ada. Apa aku jahat dengan mencintai dua wanita sekaligus. Mita dan Risa. Mereka sama-sama baik.
"Aku ingin bertanya sesuatu. Sepertinya ini tidak pantas. Tapi aku hanya ingin bertanya memastikan," ucap Mita kemudian. Makanan di depan kami sudah lama dihidangkan oleh pelayan rumah makan. Sudah dingin. Entah kenapa tiba-tiba tidak nafsu makan.
"Soal apa?" Aku menatap Mita.
"Soal perasaanmu." Mita masih terdiam. Aku, entahlah. Mendadak paham arah pembicaraan ini.
"Aku tahu dari Andi sudah lama, kalau kamu menyimpan perasaan terhadapku. Apa itu benar? Aku tahu semuanya dari Andi. Dia bercerita. Kamu tidak berani mengungkapkan. Kenapa?" Mita bertanya. Dia mulai menatapku.
"Seharusnya kamu mengatakan, Zan. Seharusnya kamu tidak memendamnya. Jika kamu mengatakannya padaku, mungkin aku tidak akan menerima lamaran orang lain. Kamu tahu? Aku menunggumu menyatakan cinta itu semenjak aku tahu dari Andi. Nyatanya kamu tidak mengatakan apapun."
"Waktu SMA, aku mengira hanya aku yang memiliki perasaan ini. Nyatanya kita sama-sama memiliki perasaan ini, hanya tidak bisa untuk mengungkapkan," ucap Mita.
Topik ini berat nyatanya bagiku. Aku baru tahu jika kenyataannya demikian. Sambil memaki Andi, kenapa dia bocor soal perasaan ini, dan kenapa dia tidak mengatakan kalau sudah tahu semuanya. Semua tentang perasaan Mita. Apakah takdir kita memang tidak bisa bersama.
Aku menunduk. Mungkin saat ini adalah waktunya untuk jujur.
"Maaf, aku tidak punya cukup keberanian untuk mengungkapkan semuanya, Mit. Aku takut. Berpikir soal penolakan-penolakan. Banyak yang suka padamu. Lalu siapa aku yang berani-beraninya akan mengungkapkan perasaan. Aku memilih memendamnya. Aku bukan laki-laki yang cukup berani jika menyangkut perasaan." Akhirnya sudah selesai. Aku menceritakan semuanya. Mengungkapnya.
Siang itu Mita pamit pulang. Sebelum pamit, dia berpesan,
"Jangan pernah menyakiti siapapun, Zan. Kamu orang baik. Jangan pernah menjadi jahat. Jangan pernah sakiti Risa tunanganmu, meski kamu sudah tahu kalau ternyata kita memiliki perasaan yang sama."
"Kamu akan menjadi orang yang sama jahatnya dengan suamiku, jika kamu menyakiti Risa. Jangan pernah berpikir meninggalkan dia," ucap Mita.
Sebelumnya, aku mengatakan kalau aku akan menikahinya, sesudah proses perceraiannya dengan suaminya selesai. Aku akan memperjuangkan perasaan ini yang nyatanya kami memiliki perasaan yang sama. Tapi Mita menolak keras. Dia bilang, jangan pernah menjadi orang jahat untuk siapapun dan dalam keadaan apapun. Dia juga bilang, jangan pernah sakiti Risa. Fokus pada apa yang sudah ada di hadapanku sekarang, bukan dirinya yang hanya masa lalu. Mita juga memohon, untuk melupakan perasaan ini.
Pelik sekali urusan ini.
***
"Kamu tahu gak? Undangan yang waktu itu kita pilih, sudah datang ke rumah. Tukang print nya sudah mengirimkan undangan-undangan itu, kita tinggal memberi nama siapa saja yang akan kita undang," ucap Risa. Saat kami sedang bertemu di bengkel. Ini rutinitasnya yang sering membawakan makan siang untukku. Wajah Risa riang. Terlihat cerah.
Entahlah, aku bingung antara memperjuangkan perasaanku pada Mita, tapi Mita menolak keras untuk aku menyakiti Risa, dan meminta untuk melupakan perasaanku padanya. Satu sisi lainnya, ada Risa. Perempuan yang baik, Sholehah, penyayang, cantik lahir batinnya. Apa aku sejahat itu sekarang mencintai dua orang ini.
***
Hari-hari terus berlalu. Hari pernikahanku dengan Risa semakin dekat sedangkan aku resah, gundah memikirkan Mita dan semua perasaan ini.
Apa harus apa?
Sedangkan proses perceraian Mita sudah masuk ke pengadilan, sidang pertama hari ini. Aku sempat mengirimkan pesan untuk menyemangatinya.
Akhir-akhir ini aku selalu kepikiran dengan Mita, tentang perasaan kita yang ternyata hanya soal keberanian saja untuk bisa bersama. Sayang kita bukanlah orang yang sama-sama berani untuk mengungkapkannya.
"Aku tidak bisa terus begini, Mit. Aku masih terus memikirkan kamu dan perasaan ini. Aku tidak bisa menghapus paksa perasaan ini. Tapi di satu sisi aku juga mencintai Risa dengan segala kebaikannya," ucapku malam-malam lewat pesan WhatsApp pada Mita.
Aku mengatakan semuanya, aku mulai bimbingan untuk hubunganku dengan Risa. Aku tidak mau menyakiti Risa dengan menikahinya tapi aku masih menaruh perasaan pada Mita. Tapi jika aku meninggalkan Risa. Aku juga akan menjadi orang jahat bagi Risa dan juga bagi Mita yang terus-menerus mengatakan untuk tidak menyakiti Risa.
Selang dua puluh menit ada pesan masuk dari Mita.
"Sudah aku bilang, Zan. Lupakan perasaanku padaku. Kamu sudah mempunya Risa. Tidak ada yang kurang dari Risa. Jangan pernah sakiti dia, Zan." Begitulah jawaban dari Mita.
Malam ini aku uring-uringan lagi soal perasaan. Entah harus di bagaimanakan. Aku harus membuat keputusan secepatnya. Sedangkan hari pernikahanku dengan Risa semakin dekat.
***
"Kamu kenapa kok kayak lemas gitu," Risa bertanya saat aku dan dia sedang duduk-duduk di ruang tunggu bengkel esok harinya.
"Kamu sakit?" Risa memegang dahiku. Mengecek suhunya.
"Engga kok gak panas," lanjut Risa. Aku memang tidak sakit, hanya sedang banyak pikiran. Tapi tidak mungkin aku mengatakannya pada Risa kan, ini akan menyakiti perasaannya.
"Oh ya, aku harus segera pergi, Ris. Aku ingin bertemu dengan orang lama ada urusan." Aku berpamitan. Aku akan bertemu dengan orang lama, tepatnya Mita.
Siang itu juga aku berangkat, meninggalkan Risa di bengkel. Dia belum mau pulang, jadi aku pamit pergi duluan. Entahlah apa semua ini benar. Aku rasa tidak benar.
"Aku harus bagaimana, Mit. Perasan ini memang tidak bisa hilang. Aku tetap mencintaimu." Aku meminta saran pada Mita. Saat ini kamu sedang berada di sebuah cafe.
"Aku sudah bilang berkali-kali, Zan. Lupakan aku dan perasaanmu padaku. Kamu sudah mempunyai Risa. Jangan sakiti dia hanya demi aku. Aku dan kamu akan menjadi orang yang jahat jika melakukan itu, Zan," ucap Mita. Sedangkan aku makin gundah.
"Jangan pikirkan aku. Aku baik-baik saja setelah perceraianku. Aku kan memulai hidup baru," lanjut Mita.
"Tapi aku harus harus bagaimana, Mita. Aku kebingungan. Aku tidak bisa menikah dengan Risa jika hati ini masih untukmu." Diujung perkataanku itu. Aku melihat Risa di ambang pintu cafe sedang bertabrakan dengan pelayan cafe. Dia memegang dompetku, pastilah tertinggal. Risa pasti ingin mengantarkan itu.
Risa menghampiri aku dan Mita.
"Aku hanya ingin mengantarkan ini," ucap Risa sambil menyodorkan dompetku. Dia buru-buru berbalik badan, ingin pergi.
"Tunggu dulu." Mita mencegat Risa.
"Aku tidak mau ada kesalahpahaman di antara kita bertiga. Bisa duduk sebentar, Risa," pinta Mita. Risa mulai berkaca-kaca. Aku yakin dia pasti mendengar semuanya.
"Sudah sudah mendengar semuanya" Mita bertanya. Risa mengangguk sebagai jawabannya.
"Tolong jangan salah paham, Risa. Aku dengan Fauzan hanya teman lama. Kami hanya masa lalu yang tidak mungkin menjadi masa depan. Jika kamu mendengar semuanya yang kami perbincangan tadi. Aku sudah mengatakan berulang kali dengan Fauzan untuk melupakan aku. Kalian harus menikah. Aku tidak mau menjadi orang jahat yang harus menghancurkan hubungan kalian." Mita menggenggam tangan Risa, berkata tulus.
"Tapi perasaan kalian bagaimana? Aku juga akan menjadi orang jahat yang menghalangi kalian bersatu." Risa mulai menangis. Kenapa berat sekali percintaan ini. Seharusnya kan tidak seperti ini. Sepertinya memang aku dalangnya.
"Tidak. Kamu bukan orang jahat. Kamu orang baik, dan kamu tidak menjadi penghalang bagi siapapun. Aku dan Fauzan tidak ada apa-apa. Perasaan itu tidak berarti."
"Kalian harus tetap bersama." Mita menatap aku dan Risa bergantian.
Siang itu, Mita berpamitan. Setelah mati-matian meyakinkan Risa. Dan aku hari ini telah mengambil keputusan. Aku akan membahagiakan Risa. Hanya Risa yang akan aku perjuangkan, bukan yang lain. Aku mencari Risa hanya saya sedikit goyah saat mengetahui bahwa Mita ternyata memiliki perasaan yang sama padaku.
"Lalu perasaan kalian bagaimana?" Risa bertanya di sela-sela tangisnya setalah kepergian Mita.
Aku meyakinkan Risa. Bahwa pilihanku sudah jatuh padanya. Aku akan membahagiakan Risa. Aku berulang kali meminta maaf padanya di cafe ini.
Hari-hari berlalu dari masa bimbang dan ragu itu. Hari pernikahan sudah di depan mata.
"Qobiltu nikahahe wataswijaha bil mahril madzkur haalan." Lafadz itu aku ucapkan dengan lantang di depan para tamu undangan.
Pada akhirnya aku memilih untuk tidak menjadi tokoh yang jahat dalam cerita ini. Bukan karena takut dihujat dan semacamnya. Tapi aku telah yakin Risa adalah yang terbaik dari yang baik untukku seterusnya. Bukan lagi Mita.
Lalu bagaimana dengan Mita sekarang? Yang aku dengar dari Dika, Mita pergi untuk melanjutkan Kuliah S2. Dia ingin mengejar cita-citanya sebagai pegawai Bank. Dan tidak bisa hadir ke pernikahanku.
Hari ini Risa tengah tersenyum padaku, menerima uluran tangan untuk bersalaman. Kami sah sebagai suami istri sekarang.
Diselesaikan di Sumenep, 22 Januari 2023
Komentar
Posting Komentar