Sejauh mata memandang, menelanjangi langit sore di ujung barat. Terlihat semburat kuning yang iseng sekali mengecup pucuk-pucuk dedaunan yang sedang berdansa bersama angin.
Sebentar lagi mata langit akan terpejam, memberi isyarat lewat senja yang ditaburnya di seluruh penjuru kota, termasuk di wajahku kali ini.
Semua kenangan, semua ingatan indah dan pahit, mulai terputar ulang. Tersusun rapi di kepala. Aku dengan lirih menunduk sambil berkata,
"Kenapa secepat ini."
Aku tidak lagi menghiraukan lutut yang celananya kotor karena tanah yang lembab bekas hujan semalam.
Aku mengingat jelas raut wajah itu saat menunjukkan benda pipih panjang yang menunjukkan garis dua.
"Ini serius?" Aku bertanya dengan antusias. Lupakan semua lelah saat berkerja seharian. Ini sungguh kabar yang hebat sekali. Fitri, istriku mengangguk meyakinkan.
"Kamu hamil, Sayang? Di sini ada Bayinya?" Aku berjongkok mengelus perut istriku yang masih rata. Aku tersenyum. Aku memeluknya, menitikan air mata bahagia.
Ya Tuhan, ini adalah kabar yang sungguh hebat setelah kami bersabar menunggu begitu lama. Engkau telah mengabulkan doa kami. Aku semakin erat memeluk Fitri sore itu.
"Kamu jangan banyak gerak dong. Udah duduk aja biar aku cuci piringnya." Aku menyuruh Fitri untuk duduk. Masalahnya dia bandel sekali. Tidak mau diam barang sedetik. Selalu bekerja.
"Jangan lari kalau di lantai, Sayang. Nanti jatuh." Lagi-lagi Fitri membuatku spot jantung. Untungnya tidak punya riwayat penyakit jantung.
"Iya maaf, Mas." hanya itu jawaban Fitri sambil nyengir memperlihatkan deretan giginya.
Malam semakin larut. Kabar bahagia ini sungguh hebat. Aku antusias, begitu juga dengan Fitri. Sungguh terima kasih Tuhan. Aku berulang kali mengucap syukur.
"Mas. Gimana kalau kita ngadain syukuran kecil-kecilan buat merayakan kehamilan aku. Misalnya kayak ngundang anak-anak tetangga buat makan bareng gitu," ucap Fitri saat aku baru selesai shalat Isya'.
"Ide bagus. Tapi ingat, kamu jangan sampek kecapean. Besok Mas libur aja biar bisa bantu kamu masak."
"Emang boleh Mas libur?" Aku mengangguk sebagai jawabannya. Mana mungkin aku akan membiarkan Fitri bekerja memasak sendirian. Aku akan menemaninya. Aku juga bisa memasak, hasil dari belajar pada istriku ini.
Malam sudah larut. Dari luar mulai terdengar derik serangga yang semakin nyaring. Rembulan dengan santainya memamerkan tubuhnya yang molek malam ini.
Keesokan harinya aku dan Fitri memasak bersama membuat masakan ayam geprek, jelly dengan bentuk hewan. Membuat bolu, cup cake. Bermacam-macam. Hari yang indah. Inisiatif istriku untuk mengundang anak-anak tetangga sebagai bentuk syukur ini disambut antusias oleh tetangga kami. Banyak yang mengucapkan selamat.
Sedangkan saat kami memberi tahu keluarga kami, mereka juga begitu antusias dan sangat bahagia. Karena ini adalah kehamilan yang sangat ditunggu-tunggu setalah sekian lama berperang dengan kemungkinan-kemungkinan mandul dan semacamnya.
"Ingat, jangan bikin Istrimu kelelahan Ilham. Ibu seminggu sekali akan ke sana untuk membawakan jamu." Itu kata Ibuku saat aku memberitahukan kabar bahagia ini.
Kandungan istriku sangat sehat begitu dengan ibunya. Kami rutin untuk cek kandungan. Fitri rutin juga meminum jamu-jamu untuk orang hamil yang dibuat sendiri oleh Ibuku.
"Menurut Mas, anak kita ini laki-laki apa perempuan ya?" Fitri bertanya saat kamu sedang tiduran di dalam kamar. Malam hari yang indah. Usia kandungan Fitri sudah memasuki bulan ke 8. Sudah syukuran 7 bulanan juga yang diadakan di rumah orang tuaku dan orang tua Fitri. Semuanya tidak mau mengalah, ingin mengadakan syukuran.
"Aku sih terserah, apa saja, Sayang. Mau laki-laki atau perempuan itu sama saja, yang penting Ibu dan anaknya sehat dan selamat. Dan proses lahirannya lancar," ucapku sambil mengelus perut buncit Fitri.
"Eh, dia nendang loh." Aku antusias. Bayi ini aktif sekali. Biasanya saat dielus begini pasti nendang. Dan benar saja, dia nendang.
"Udah gak sabar keluar ya, Nak? Tunggu ya. Belum waktunya." Aku dan Fitri tersenyum malam itu.
Kejutan dari Tuhan lagi-lagi tidak terduga bukan. Setelah kami menunggu sekitar dua tahun, akhirnya Fitri hamil juga. Aku selalu bersyukur di sela-sela kebahagiaan ini.
"Kamu ngapain?" Aku bertanya pada Fitri esok hari. Ini hari Minggu, aku yang pekerja kantoran tentu libur. Jadi ada waktu untuk menemani Fitri di rumah.
"Ini tuh senam untuk Ibu hamil mas." Fitri menjelaskan panjang lebar soal senam Ibu hamil ini. Dan aku sama sekali tidak paham.
Aku memilih tidak menggangu Fitri, dan fokus pada acara televisi pagi ini. Entah kenapa sudah lima menit memencet remote mencari saluran yang pas dan bagus tidak ketemu-ketemu. Yang ada hanya berita artis, sinetron, FTV dan acara-acara apa ya namanya yang mengundang orang-orang yang sedang viral itu lah pokoknya. Akhirnya aku memutuskan untuk mematikannya saja. Tidak ada yang mengedukasi.
"Mas aku pengen Martabak deh. Kayaknya enak," ucap Fitri.
"Mau martabak?" Fitri mengangguk antusias. Baiklah aku akan keluar untuk membelikannya.
Momen-momen kehamilan ini indah sekali. Seriusan, tanya saja pada yang sudah hamil. Entah itu ngidamnya, mual-mualnya dan hal-hal yang lain.
Sayangnya, sehabis senja bukankah akan datang malam. Yang gelap, sunyi. Entah ujian apa yang disiapkannya Tuhan. Untuk yang kali ini aku mengucapkannya dengan tega.
Pagi itu, aku tertidur lagi setalah shalat subuh. Ngantuk berat karena tadi malem Fitri tidak bisa tidur uring-uringan sampai jam dua baru bisa tertidur.
"Mas, tolong aku. Mas ...." Terdengar teriakan Fitri dari arah kamar mandi yang ada di kamar kami. Aku yang masih setengah bangun, langsung reflek bangun. Luntang-lantung ke arah kamar mandi.
Saat dibuka pintunya. Fitri sudah terduduk dengan darah yang membasahi dasternya.
"Sakit." Fitri mengaduh
Aku langsung membantu mengangkat tubuhnya. Aku mati-matian mengangkatnya. Membuka pintu kamar, dan tertatih-tatih menuruni anak tangga. Karena kamar kami ada di lantai dua.
"Bertahan ya, kita akan ke rumah sakit." Aku bergetar mengucapkannya. Tuhan ini ada apa. Aku mulai takut.
Tetangga yang melihatku menggendong Fitri langsung membantu membukakan pintu mobil. Aku langsung tancap gas ke rumah sakit. Lupakan rumah yang belum dikunci, lupakan kerjaan hari ini. Lupakan semuanya. Bahkan untuk memberi kabar pada orang tua saja aku tidak sempat.
Aku menerobos jalanan yang lumayan padat pagi ini. Hari Senin memang sedang sibuk-sibuknya. Tak lama kemudian aku sampai pada rumah sakit di kota kami. Langsung berteriak pada suster untuk membawakan brangkar. Pagi itu Fitri langsung ditangani oleh dokter. Keluargaku dan keluarga Fitri langsung datang ke rumah sakit saat aku memberi tahu kabar genting ini.
Sekitar satu jam dokter berada di Ruang Gawat Darurat. Aku mulai cemas dengan semua kemungkinan-kemungkinan yang aku pikirkan sendiri.
"Banyak berdoa, Nak. Fitri pasti baik-baik saja." Ibuku memelukku, memberikan kekuatan.
Terlihat dokter keluar dari ruang UGD dengan raut wajah yang entahlah, sepertinya tidak membawa kabar bahagia.
"Kita harus segera melakukan operasi. Kondisi Ibu dan anaknya tidak memungkinkan untuk sekarang. Kita harus segera melakukan persalinan sekarang." Aku tanpa basa-basi menyetujui perkataan dokter. Lakukan apa saja yang terbaik untuk anak dan Istriku. Lakukan, begitulah raut wajahku saat ini.
Ini ada apa. Kenapa Engkau membuat kejutan seperti ini, Tuhan. Bukankah kemarin kami masih tertawa tersenyum, bukankah baru kemarin kami menerima kabar bahagia ini. Bukankah baru kemarin syukuran tujuh bulanan itu. Semuanya terasa baru kemarin Tuhan.
Siang itu juga operasi dilakukan.
Sekitar jam tiga sore, dokter keluar dari dalam ruangan operasi.
"Bagaimana, Dok?" Aku bertanya cemas.
"Belum selesai. Mohon bantu doanya. Kami sedang berusaha untuk menyelamatkan keduanya." Dokter hanya mengatakan seperti itu. Berapa lama lagi aku harus menunggu.
Sampai hampir senja. Dokter keluar dengan raut wajah yang entahlah. Dokter itu menggelengkan kepala. Aku mulai menerka-nerka. Tuhan jangan beri aku kabar buruk.
"Maaf dengan berat hati, saya memohon maaf yang sebesar-besarnya. Operasinya berhasil. Tapi kami hanya bisa menyelamatkan anaknya saja." Aku sudah tidak mendengar lagi perkataan dokter itu. Langsung berhamburan masuk ke dalam.
Di atas brangkar terdapat tubuh Fitri yang sudah membujur kaku. Fitri benar-benar pergi. Kenapa secepat ini. Aku memeluk tubuh Fitri istriku saat ini. Bukankah baru kemarin kita merancang kamar anak kita. Bertengkar soal warna cat dinding. Kita berjanji akan membesarkannya bersama kan. Kenapa kamu ingkar janji.
Samar-samar aku melihat bayangan senja yang mulai turun lewat kisi-kisi jendela rumah sakit.
***
Aku tersadar dari lamunanku yang masih menatap senja. Fia, anakku dan Fitri menarik-narik ujung bajuku.
"Papa, Papa. Kata Papa, Mama suka sekali dengan bunga mawar merah. Lihat, Fia bawakan bunga bunga itu hari ini untuk Mama." Fia mengeluarkan setangkai bunga mawar merah dari dalam paper bag coklat. Meletakkan di makam Fitri.
Lihat, Sayang. Anak kita sudah tumbuh besar. Sekarang usianya sudah tujuh tahun. Sudah sekolah TK sekarang, setiap hari di antara oleh Omanya.
Sudah tujuh tahun juga kamu pergi. Dan aku bahkan masih bisa mengingat semua momen-momen kita dengan begitu rinci.
"Kita pulang yuk. Besok ke sini lagi. Bawakan Mama bunga mawar." Aku mengajak Fia pulang. Langit di atas kami sudah menguning. Senja yang mulai turun.
"Fia pulang dulu ya, Ma. Besok sore setalah pulang sekolah, Fia janji akan ke sini lagi dengan bunga mawar yang lebih banyak." Fia mengelus-elus batu nisan yang bertulisan Fitriana.
Aku dan Fia bergandengan menuju gerbang pemakaman. Pulang. Fia menagih janji soal es krim coklatnya nanti malam.
Diselesaikan di Sumenep, 23 Januari 2023
Komentar
Posting Komentar