Aku mengajakmu duduk satu meja. Dengan pikiran yang sibuk berkelana. Kita hanya duduk diam berdua, tanpa ada yang memulai pembicaraan. Cukup saling pandang.
Dulu kita juga semeja. Kita bercanda, bercerita panjang tentang aktivitas kita, bercerita tentang rencana-rencana yang jelas kemungkinannya.
Kita menjadi patung di seberang meja. Dengan secangkir kopi yang telah dingin. Tak ada yang memulai pembicaraan. Kita memiliki membisu dengan keadaan hati yang sibuk menata rindu.
Aku tahu, kau tak lagi nyaman semeja denganku. Berulangkali kau meremas jemari. Seakan memberi isyarat, bahwa kau ingin cepat berlalu dari tempat ini. Aku tahu, kau diam-diam memeriksa waktu, menghitung putarannya yang terasa lama saat ditunggu.
Dan aku juga tahu, kita tak lagi nyaman. Dengan mengenang masa-masa manis yang kurasa tak perlu diceritakan. Kita menjadi dua orang asing sekarang. Padahal dulu kita akrab sekali. Hingga orang-orang menyebut kita sepasang hati yang cocok sekali.
Kenyamanan telah tak ada lagi di antara kita. Dengan kau yang sibuk melirik pergelangan tangan, dan aku yang sibuk mencari perkataan untuk memulai pembicaraan di pertemuan kita yang penuh kecanggungan.
Hingga waktu kita habis. Kau berpamitan, dan akhirnya kau pun pulang. Dan aku terpaku dengan kenyataan, bahwa kau tak mungkin lagi kuminta datang.
Catatan, 11 Desember 2020
Komentar
Posting Komentar