Langsung ke konten utama

CERPEN "TUNGGU AKU PULANG", Oleh: Erka Ray (BELUM SELESAI DITULIS)

"Kau tidak bosan duduk di pos ronda ini setiap hari, Ram?" 

Itu adalah pertanyaan kesekian yang dilontarkan Nizam teman sebayaku beberapa hari terakhir ini. Agaknya dia sudah bosan melihatku yang setiap pulang sekolah mendatangi pos ronda yang ada di dekat pintu gerbang kampung. 

Namaku Ramli dan aku memang selalu mendatangi pos ronda itu setiap pulang sekolah sekitar jam 11 siang, membawa buku-buku pelajaran dan buku-buku cerita. Kadang aku di sana hanya sendirian, kadang ditemani oleh Nizam, Ali dan Bahrul. Saat jam perkiraan menunjukkan setengah dua siang, aku pulang ke rumah, mandi, shalat terus bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah agama sore di belakang rumah. Lalu pulang menjelang Maghrib dari sekolah agama sore itu, mandi lagi dan bersiap-siap untuk pergi mengaji ke surau sampai selepas isya'. 

"Ah susah sekali soal yang ini." Bahrul menggerutu di samping Nizam mengacak-acak rambutnya.

"Tidak susah, kau saja yang bodoh." Ali santai sekali mengucapkan hal ini. Yang dimaki sama sekali tidak sakit hati.

"Baiklah, kau yang paling pintar di antara kami di sini. Maka, kemarin kan jawaban kau." Tanpa ba-bi-bu Bahrul langsung mengambil buku tugas Ali. Dan terjadilah saling rebut buku tugas di antara mereka. 

Matahari di atas sana sudah tergelincir dari bayangannya. Menandakan waktu dhuhur telah tiba. Kami anak-anak kelas 4 SD masih sibuk menulis tugas. Bahrul dan Ali sudah berdamai dengan rebutan buku tugasnya. Mereka kompak membagi jawaban tugas, biar cepat selesai katanya. 

"Pos ronda ini sudah semakin panas. Kita pulang saja, Ram. Lagipula aku tiba-tiba mengantuk, ingin tidur di rumah." Nizam sejak tadi memang sudah tidak sabaran ingin pulang, matanya terkantuk-kantuk, bola matanya merah. 

"Aku pulang saja ya." Nizam merapikan buku-buku yang dia bawa dan bergegas berdiri.

"Kau mau pulang, Zam?" Ali reflek menolah.

Nizam menjawab dengan anggukan. 

"Aku juga ikut pulang," kata Ali sambil ikut membereskan buku-bukunya yang berserakan.

"Kalau kalian berdua pulang, aku juga akan pulang." Demikian kata Bahrul.

"Kau mau pulang tidak, Ram?" Yang lain menolah padaku.

"Kalian pulang saja, aku akan tetap di sini." 

Baiklah yang lain sepakat. Untuk hari ini mereka pulang duluan dari kumpul-kumpul siang hari di pos ronda yang ada di dekat pintu gerbang kampung. Nizam, Ali dan Bahrul kompak melambaikan tangan padaku, selanjutnya mereka berlarian sambil berteriak siapa yang sampai lebih dulu ke rumah. 

Perkiraan satu jam dari pulangnya ketiga teman sebayaku itu, aku juga memutuskan pulang. Perkiraan sekarang jam setengah dua siang, aku harus pulang untuk mandi terus shalat dan bersiap-siap berangkat ke sekolah agama sore. 

Aku membereskan buku-buku yang kubawa, menolah sebentar ke pintu gerbang kampung, hanya ada mobil-mobil yang berlalu lalang di jalan raya sana. Karena kampungku memang dekat dengan jalan raya yang sering di lalui oleh bus-bus besar dan juga truk-truk Fuso. Selebihnya lengang dengan beberapa ekor kambing yang mengunyah rumput di lapangan dekat pintu gerbang kampung, bodo amat dengan sekitar. Matahari di atas sana sangat menyengat sekali. 

Keesokkan harinya pun sama. Setelah pulang sekolah aku pergi lagi ke pos ronda itu, mencium tangan ibu di ruang tengah yang sedang melipat baju. 

"Jangan pulang terlalu sore seperti kemarin, Ram. Kau harus sekolah sore." Ibu berteriak dari dalam rumah, sedangkan aku sudah berlari-lari kecil menuju rumah Nizam. Rumahnya yang paling dekat denganku.

"Aku tidak akan ke pos ronda, Ram. Ibu marah-marah aku keluyuran setiap hari. Aku diizinkan keluar pintu saja untuk menemuimu sudah sangat Alhamdulillah sekali." Demikian kata Nizam. 

Baiklah, Nizam tidak bisa. Mungkin Ali dan Bahrul mau ikut ke pos ronda.

"Aku hendak ikut ibu ke toko baju," kata Bahrul.

"Aku ikut bapak ke rumah om Rusli siang ini," kata Ali yang sudah bersiap-siap naik ke atas motor bapaknya. 

Baiklah, kali ini aku akan sendiri ke pos ronda itu. Toh terkadang aku juga sendiri ke sana. Sendirian menikmati semilir angin yang berhembus pelan, sendirian mengerjakan tugas, sendirian melihat kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya dekat pintu gerbang kampung. Dan kambing di lapangan itu masih tetep bodo amat dengan sekitar sambil memakan rumput di hadapannya. 

Aku memilih membuka buku cerita Anak Nusantara karya seorang penulis terkenal, membacanya perlahan. Sudah di halaman tengah, sayang sekali jika tidak ditamatkan apalagi ceritanya seru sekali. Sesekali aku melirik pintu gerbang kampung, tetep tidak ada apa-apa. Hanya sesekali tetangga lewat dengan motornya sambil membawa rumput, sepertinya habis ngarit di manalah. 

Jam duanya aku pulang ke rumah, mengucap salam di depan pintu. Ibu di ruang tengah sedang berbicara dengan seseorang di telpon. 

"Dia sudah tidak ada kabar hampir setahun ini, Unai. Aku tidak tahu harus menghubungi siapa. Kiriman uang padaku sudah berhenti sejak lama. Mungkin suamimu punya kenalan yang satu kerjaan dengan dia, suamimu kan pernah bekerja di malay juga." 

Aku tidak berniat menguping, tapi pembacaan ibu terdengar saat aku melewati menuju kamar mandi yang ada di dapur. Aku memilih tidak menyela apapun. Aku tahu ibu sedang membacakan apa, tapi aku tidak perlu ikut campur biarkan itu menjadi urusan ibu saja. Yang menjadi urusanku adalah bagaimana menjadi anak yang patuh pada ibu. 

***

Selintas bayangan hitam itu berdiri di depanku. Butuhnya tinggi, kakinya panjang. Perawakan laki-laki. Entahlah seperti tokoh-tokoh dalam film kartun yang tinggi, pajang dan berpakaian hitam. Tapi aku di mana? Kenapa tempat ini remang-remang. Tempat ini bukan rumahku, bukan pula surau, bukan pos ronda tempat yang biasa aku datangi. Ini di mana? 

Aku mengedipkan mata, padahal hanya sepersekian detik kedipan itu, bayangan hitam itu sudah hilang. Tiba-tiba muncul lagi di sampingku, lalu di tepat di depanku. Aku yang kaget langsung langsung berlari sekuat tenaga. Tanpa menolah ke belakang, terus berlari sekencang mungkin dari bayangan hitam itu. Napasku terangah-engah. Tapi masih terus berlari dengan sisa tenaga yang ada. Tersandung batu satu dua kali. Tapi aku harus tetep berlari. Aku mencoba menoleh kebelakang, bayangan itu rupanya ikut mengejar. Larinya cepat sekali. Aku semakin tidak kuat. Peluh mengucur deras dari pelipis. 

Entah sudah berapa meter aku berlari. Bahkan sandal yang aku pakai sudah entah ada di mana, terlepas dari kaki. Saat aku merasa sudah tidak kuat, akhirnya aku berhenti. Tiba-tiba ada yang menyenggol pundakku. Saat aku mendongak, ini sudah di pos ronda di dekat pintu gerbang kampung. Kenapa banyak orang sekali di sini? Kenapa orang-orang berbaju hitam. Mereka berdesak-desakan. Bahkan orang-orang ini lebih banyak dari pada orang yang mengantri sembako saat menjelang lebaran. Orang-orang ini amat aku kenal, mereka orang-orang kampungku. 

"Cepat gali liangnya." Itu suara bapaknya Ali. Aku hafal intonasi suaranya. 

Liang apa yang digali? Liang kubur? Punya siapa? Belum sempat aku membuka mulut untuk bertanya pada orang yang ada di dekatku. Orang-orang itu tiba-tiba maju serempak menuju arah pintu gerbang kampung. Aku tergiring oreng kerumunan mereka. Mataku memejam, entah kemana orang-orang ini akan membawaku. Saat semakin tersedak, tubuhku semakin terhimpit, tiba-tiba ada yang menarikku, dan aku terjatuh. Reflek membuka mata.

Aku di mana? Kenapa ruangan ini seperti tidak asing? Bukankah ini kamarku? Aku baru sadar ternyata aku terjatuh dari ranjang tempat tidur. Ternyata tadi hanya mimpi. Ternyata mimpi itu mengalami penambahan, biasanya mimpi itu hanya perihal bayangan hitam yang terus datang dengan menyeramkan. 

"Suara apa tadi, Ram." Ibu muncul dari balik pintu kamar. Rupanya ibu mendengar suara tubuhku yang terjatuh dari ranjang. 

"Kalau tidur jangan terlalu kepinggir, Ram. Jatuh lagi kan." 

Ibu sudah membereskan tempat tidurku, merapikan bantal-bantal dan selimut. 

Ibu menoleh. "Cepat ke kamar mandi, Ram. Tudak lihat di luar sana subuh hampir dipatok ayam." Ibu mendengar. 

Demi mencari aman, aku yang sebenarnya belum sadar belum betul dari tidur, akhirnya berjalan pelan ke kamar mandi. 

***

"Jangan sering melamun, Ram. Mukamu kalau sedang melamun itu seperti kambing yang ada di lapangan saat kehabisan rumput, tidak enak dilihat." 

Ali yang duduk di sampingku sibuk berkomentar dengan mulut yang sedang penuh mengunyah pentol pedas. Kami saat ini sedang berada di kantin sekolah. Pentol mbak Nike gak pernah kalah saing sama pentol yang lain, pentolnya ini paling enak di kantin sekolah. Maka saat jam istirahat tiba, anak-anak akan berlarian menuju lapaknya mbak Nike di kantin. 

"Melamun lagi anak ini." 

Aku kaget, tiba-tiba Ali sudah datang dari membeli pentol. Sudah duduk di sampingku lagi. 

"Kau melamunkan apa heh?" Ali bertanya sambil mulutnya penuh dengan pentol. 

Aku hanya menjawab dengan gelengan kepala. Bukan apa apa. Memang bukan hal serius yang aku lamunkan, hanya perihal mimpi tadi malam. Mimpinya terasa nyata sekali. Aku masih mengingatnya. Perihal, mimpi bayangan hitam itu memang sudah berkali-kali aku alami. Tapi tadi malam berbeda. Kenapa dalam mimpi itu terdapat banyak orang berpakaian serba hitam. Orang-orang kampungku. Kenapa bapaknya Ali di dalam mimpi itu membicarakan soal liang. Liang apa? Liang siapa?

Aku buru-buru mengusir jauh-jauh pikiran itu. Bel tanda masuk sudah berbunyi, sebaiknya aku bergegas ke kelas. 

***

"Kau curang menyenggolku, Bahrul." 

Nizam berteriak pada Bahrul yang sudah berlari jauh. 

Kami sedang berlari-lari kecil saat pulang sekolah. Karena iseng, Bahrul mengajak kami bertanding, siapa yang lebih dulu sampai ke simpang tiga belokan ke rumahku, dialah pemenangnya. Akhirnya kami langsung saja berlarian setelah Ali menghitung mundur. 

Sesampainya di rumah, aku hanya menemukan rumah yang kosong. Ibu entah kemana. Biasanya setiap aku pulang ibu pasti ada di rumah.


(08/02/24)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PUISI "PERCAKAPAN IBU", Oleh: Erka Ray

(Artisoo.com) Anak bertanya, "Kenapa ibu menangis saat mengupas bawang?" "Perih, Nak,"  Katanya demikian  "Kenapa ibu lama membasuh muka?" Pertanyaan selanjutnya "Wajah ibu kotor dosa, Nak. Wajah ibu sering tak ramah saat memintamu mengaji. Apalagi saat menyuruhmu pulang ke rumah, wajah ibu sangar. Pun wajah ibu sering kaulupakan saat kausedang berbahagia." Apa kaulihat ada yang bangun melebihi aku saat pagi tiba? Pun tak kaudapati siapapun di dapur kecuali aku, Nak Mengupas bawang yang sebenarnya masih terkantuk Memotong sayuran  Menyalakan kompor Menyalakan kran air kamar mandi Tak akan kaudapati selain aku, Nak Yang tangannya mencuci baju di kamar mandi dan matanya awas menatap nyala api sedang memasak air untuk membuat kopi Kelak, Jika kautak lagi temukan keributan dari mulutku, Nak Cepat peluk tubuhmu sendiri Mungkin aku sedang ingin beristirahat di ruang tamu Sembari diiringi keramaian lain yang sedang membaca doa-doa Sumenep, 0...

PUISI "PERASANKU", Oleh: Erka Ray

Entahlah,  Malam seakan bersendawa panjang Sehabis sarapan yang mengenyangkan Piring kotor dicuci sehabis itu  Malam tak bergeming di dekat jendela Gorden tak dibuka Untuk apa? Sesal tangan tak menggenggam Sesak dada mengingat sesal  Yang mana yang harus dirasa  Campur rasa tak menjadi suka  Malah menduka  Panjang umur malam ini  Penyair sampai hilang puisi  Kata di bait pertama yang tak berarti Pamekasan, 11 April 2023

HUMOR "MA, MINTA ADEK", Oleh: Erka Ray

Di pagi yang cerah, terjadi obrolan seru dari keluarga kecil di meja makan. Disana ada sepasang suami istri dan dua anaknya laki laki dan perempuan yang masih berumur 6 tahun dan si kaka 8 tahun di sela sela sarapan salah satu dari anak mereka memulai obrolan dengan mengajukan permintaan. "Ma, mama dulu yang buat adek gimana sih ma?" tanya si Kakak yang merupakan anak pertama. "Kenapa Kakak nanya kaya gitu," kata si Mama sembari tesenyum menahan tawa. "Kakak pengen adek lagi." "Pengen adek lagi gimana, Kak?" Si mama mulai kebingungan. "Ya pengen adek lagi, Ma. Adek bayi." Matanya mengerjab-ngerjab menunjukkan muka polosnya. "Itu kan masih ada adeknya, Kak." "Iya, Kak. Itu adeknya masih ada, masih lucu juga." Si papa ikut nyeletuk. "Tapi kakak pengen yang masih bayi, Pa, Ma. Iyakan dek?" Si kakak melirik adeknya, meminta dukungan. "Iya, Pa. Adek juga pengen adek baru yang masih bayi."  "Kalia...