Pernahkah kalian diambil barang kesayangannya, atau kehilangan barang kesayangan kalian waktu masih kecil, masih anak-anak. Tentu saja pernah, mainan kesayangan yang diambil temenan, dirusak teman, dihilangkan teman. Nyeseknya bisa sampai dewasa.
"Mainan apaan sih nih. Butut banget. Udah jelek, lusuh, item begini, kotor di mana-mana. Mending dibuang, Fa." Rifan salah satu temen kelas Fatin mengambil mainan Boneka Beruang miliknya, ditimang-timang, dibolak-balik, dilihat-lihat.
"Butut. Udah butut begitu masih saja dibawa kemana-mana. Bahkan ke sekolah dibawa." Itu yang Fatin dengar samar-samar dari mulut Rifan yang sudah menjauh.
Fatin mengambil bonekanya yang dilempar sembarangan oleh Rifan. Lalu memasukkannya ke dalam tas. Ibunya bilang ini adalah pemberian dari Ayahnya dulu waktu Fatin masih kecil.
"Hari ini pelajaran sampai di sini dulu. Jangan lupa kalian kerjakan soal-soal latihan di halaman 75. Lalu di kumpulkan Minggu depan pada Agus," ucap Bu Ria sambil menunjuk Agus selaku Ketua Kelas. Setelahnya, Bu Ria merapikan tas, lalu mengucap salam. Sekolah hari ini selesai.
Anak-anak dengan seragam merah putih langsung berhamburan keluar dari dalam kelas masing-masing. Terdengar bel sekolah sudah berbunyi. Seperti biasa pak Yadi yang membunyikannya.
"Kamu mau ikut main gak Fa, nanti di rumahnya, Yuli," Devi bertanya di sela-sela bising jalanan yang mereka lewati saat ini. Mereka sudah pulang sekolah. Jarak dari rumah ke sekolah lumayan jauh. Anak-anak ini memang berjalan kaki. Lebih seru, bisa sambil ngegosip di jalan, bercanda-canda.
"Kayaknya enggak, aku ikut Ibu jualan," jawab Fatin. Fatin memang jarang sekali ikut main. Lebih memilih ikut Ibunya jualan Bakso di warung mereka.
Di rumah Fatin siang ini memang tidak ada siapa-siapa. Ibunya sudah pergi jualan dari pagi. Mereka hidup berdua di rumah sederhana ini. Jangan menimbulkan pertanyaan apapun, kisah ini masih lumayan panjang.
Setelah berganti baju, dan merapikan buku-buku sekolahnya yang besok, Fatin berangkat menuju warung Ibunya yang ada di perempatan jalan. Jalan yang ramai pas sekali untuk posisi jualan Ibunya.
Saat tiba warung Ibunya sedang ramai. Banyak motor-motor terparkir di sana. Ibunya sedang sibuk. Sambil dibantu oleh Bi Nana, saudara ibunya. Mereka terlihat sibuk mengangkat-ngangkat mangkuk berisikan Bakso.
Fatin ikutan membantu..
"Akhirnya, sudah jam lima. Mari Mbak tutup warungnya." Bi Nana sedang mengeliat, tubuhnya pasti merasa pegal saat seharian bekerja membantu Kakaknya, ibunya Fatin.
Warung itu memang tutup sampai jam lima saja. Kenapa? Bukankah masih ada malam hari untuk berjualan, misalnya sampai jam sembilan malam.
"Tidak, Nak. Ibu sudah merasa cukup jualan dari pagi sampai sore. Gantian biar orang-orang membeli pada warung sebelah. Kita tidak boleh serakah dengan apa yang sudah kita dapat hari ini. Bukan berarti karena warung kita rame, kita egois hanya mementingkan diri sendiri. Sedangkan di samping kita masih ada warungnya pak Sholeh. Nanti malam biarkan giliran dia yang mendapatkan rezeki. Ingat, Nak. Selama kita masih hidup, masih bernapas, kita masih punya rezeki. Meski datangnya tidak tahu dari mana," seloroh Ibunya Fatin malam ini, saat Fatin bertanya kenapa warung mereka tidak buka sampai malam saja sedangkan pembeli mereka banyak setiap harinya.
Setelah melewati malam yang sunyi dan hati yang tenang. Kini pagi datang menjemput. Dari wajah langit sisi timur, mentari masih malu-malu menyapa dedaunan.
"Cepat sarapan lalu berangkat, Fa." Ibu Fatin sedang bolak-balik dari dapur ke meja makan sambil membawa lauk-pauk di tangannya.
Fatin mengangguk. Dia menyendok nasi, mengambil tumis kangkung. Enak sekali masakan ibunya.
Setelahnya, Fatin mencium tangan ibunya, pamit berangkat.
"Apa tugas bahasa Indonesiamu sudah, Fa," tanya Devi saat mereka sudah jalan beriringan di trotoar menuju sekolah.
Fatin bilang, dia sudah mengerjakannya semalam. Bilang, ternyata tugasnya tidak susah-susah amat kalau sudah dikerjakan. Mereka saja yang awalnya khawatir soal tugas-tugas itu. Berpikir kalau tugasnya sulit. Padahal belum dikerjakan sudah bilang sulit duluan.
Selang beberapa menit saat mereka sudah duduk-duduk di dalam kelas. Bel masuk pun berbunyi. Bu Ria masuk kedalam kelas dengan pakaian yang rapi. Mengucap salam, berbasa-basi sebagai awal pembuka untuk kelas pagi ini.
"Sudah mengerjakan tugas yang Ibu berikan Minggu kemarin?" tanya Bu Ria pada muridnya. Yang ada di dalam kelas serempak mengiyakan.
"Minggu depan ibu mau kalian semuanya membuat sebuah tulisan tentang hari-hari kalian, atau momen-momen kalian saat bersama Ayah. Misalnya, saat kalian pergi membantu ayah bekerja, atau saat diceritakan dongeng oleh saat akan tidur. Kalian paham? Apa ada pertanyaan?" ucap Bu Ria saat selesai menjelaskan pelajaran di Bab 8.
Rifan mengacungkan tangannya, ingin bertanya, "Bu, kalau tidak punya Ayah seperti Fatin lalu gimana, Bu. Kan tidak ada momen bersama Ayah, lalu apa yang akan diceritakan?" Rifan bertanya sambil sedikit tertawa ke arah Fatin.
"Kasian, Fatin, nanti tugasnya gak selesai," ucap Satrio. Tawa-tawa dikelas menggema. Fatin menunduk. Iya, Fatin tidak punya Ayah, Ibunya belum menjelaskan sama sekali soal siapa Ayahnya, padahal Fatin sudah besar dan sepatutnya tahu soal itu.
Bu Ria merasa tidak enak hati akhirnya, mengubah tugasnya, membuat cerpen apa saja yang penting cerpen dan sesuai dengan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen yang dijelaskan hari ini.
Sesampainya di rumah, Fatin murung. Sepi, seperti biasa ibunya sedang berjualan bersama Bi Nana di warung bakso mereka.
Siapa, "Siapa Ayahku?" Fatin bertanya-tanya dalam benaknya.
"Bagaimana sekolahmu hari ini, Fa. Apa tugas yang kamu kerjakan tadi malam mendapat nilai bagus. Ibu tahu kamu berusaha keras untuk tugas itu," Ibu Fatin bertanya. Malam ini mereka sedang menikmati Bakso sisa dari jualan tadi siang.
Fatin hanya menjawab singkat soal tugasnya.
"Siapa Ayahku, Bu?" Fatin bersuara memecah keheningan di antara mereka saat ini.
Ibunya Fatin terdiam mendengar pertanyaan anaknya. Kenapa tiba-tiba, begitu benak ibunya. Ibunya dulu memang bilang akan menjelaskan semuanya jika sudah waktunya. Akhir-akhir ini kehidupan mereka berjalan lancar. Fatin sama sekali tidak bertanya soal Ayahnya. Mereka hidup bahagia.
"Mereka mengejekku tidak punya Ayah, Bu. Mereka bilang, Aku tidak punya Ayah." Fatin menunduk. Itulah yang ingin disampaikan Fatin pada Ibunya selama ini. Pertanyaan-pertanyaan tentang siapa Ayahnya, terus saja dia pikirkan.
"Ayahmu ada, Nak." Ibunya Fatin menunduk.
Dimana. Begitulah ekspresi wajah Fatin saat ini.
"Ayahmu, ada di suatu tempat, Nak. Jauh, saking jauhnya Ibu juga tidak tahu di mana. Ayahmu ada. Kamu punya ayah." Ibu Fatin akhirnya bicara.
Malam ini sambil ditemani semilir angin yang masuk lewat kisi-kisi jendela. Ibu Fatin bercerita. Ayah Fatin ada. Hanya saja setelah Fatin lahir dan berumur 1 tahun, Ayah Fatin pergi merantau ke negara tetangga. Jadi TKI. Mereka berpisah sejak itu. Awal-awal sejak kepergian Ayah Fatin, dia masih rajin mengirimkan uang setiap bulannya dari tempatnya bekerja, sambil sesekali mengirim mainan juga.
Akan tetapi, setalah satu tahun. Ayah Fatin hilang kabar. Nomor handphone-nya tidak bisa dihubungi. Ditanyakan ke saudara-saudara Ayahnya dan keluarga Ayahnya, tidak ada yang tahu. Semenjak itulah Ayah Fatin menghilang entah kemana. Kiriman-kiriman uang sudah tidak ada. Hingga akhirnya, Ibu Fatin memutuskan berjualan untuk menyambung hidup mereka. Sampai Fatin besar sekarang dan sudah kelas 5 SD, Ayah Fatin tetap tidak ada kabar.
Begitulah. Fatin tahu dia punya Ayah.
Malam itu Fatin tidur sambil tersenyum memeluk boneka beruang dari Ayahnya. Meski tidak tahu siapa Ayahnya, tidak tahu wajahnya. Fatin sudah merasa cukup sekarang.
"Heh, bagaimana tugasmu? Gara-gara kamu tidak punya Ayah tugas kemarin jadi gagal," ucap Rifan saat mereka berada di dalam kelas esok harinya.
"Aku punya Ayah. Aku sudah tahu siapa Ayahku," ucap Fatin sambil berlalu dari hadapan Rifan. Fatin rasa, dia tidak perlu meladeni Rifan. Yang penting dia sudah tahu.
Diselesaikan di Sumenep, 10 Januari 2023
Komentar
Posting Komentar