Saat ini matahari bersinar terang sekali. Padahal masih jam enam pagi, tapi sudah terasa sekali di kulit. Beberapa orang terlihat buru-buru pagi ini. Berpakaian rapi dan wangi. Bertas punggung atau bertas selempang. Di samping gerbang bercat hitam, terlihat tempat printer yang sedang penuh dikerubungi oleh mahasiswa mahasiswi yang mengirim file tugasnya lewat WhatsApp untuk di-print. Pedagang kaki lima sudah banyak yang membuka lapak jualannya. Berdoa dalam hati, agar hari ini rezeki lebih banyak menghampiri mereka.
Akan tetapi, kisah ini bukan soal mahasiswa atau mahasiswi yang sedang sibuk ngeprint tugas. Bukan pula soal pedagang kaki lima yang wangi dagangannya tercium enak.
Di seberang jalan sana, saat orang-orang tengah sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Safitri, itu adalah nama dari anak perempuan berusia kisaran 9 tahun berparas cantik dengan rambut agak sedikit ikal yang sedang dikuncir asal. Dia terlihat sibuk memilah-milah sampah botol minum di tempat sampah besar yang ada di seberang gerbang sebuah Universitas.
"Di sebelah sana juga dicari ya, Fit." Bapaknya berteriak dari ujung jalan pada Fitri yang tengah sibuk memasukkan botol-botol bekas kedalam karung.
Fitri mengangguk samar. Matahari ini sedikit menganggu pandangannya.
"Sudah lumayan, Pak." Fitri berlari-lari kecil menuju Bapaknya yang tengah melipat dus.
"Oh ya, Bapak ada sedikit uang nih. Sana kamu beli es tuh di toko itu." Bapak Fitri menunjuk kedai yang menjual es.
Fitri tersenyum. Dia memang sangat haus, padahal ini masih pagi sekali. Dia riang menyebrang jalan untuk membeli es.
Ini adalah hari senin, hari yang ramai. Kenapa Fitri tidak sekolah padahal ini adalah hari senin. Dia sebelumnya sekolah. Sayangnya, tidak semua orang beruntung mengecap rasanya bangku sekolah bukan. Tidak ada anak yang tidak ingin sekolah, meski sesekali mereka bermalas-malasan. Susah saat disuruh pergi sekolah. Tapi sekolah selalu mempunyai sisi menyenangkannya masing-masing. Entah itu dari teman, guru atau pelajarannya. Apalagi Fitri termasuk anak yang pintar, semangat belajarnya menggebu-gebu.
Sayangnya, ada sesuatu yang harus kita lepas meskipun kita sayang pada hal itu. Fitri terpaksa putus sekolah. Bapaknya tidak punya biaya untuk membayar uang sekolahnya. Jangan pernah kalian bilang, 'hanya'. Iya biaya itu kecil untuk yang mampu, berat bagi yang tidak mampu.
"Bisa ya, Fit." Bapak Fitri sedang membujuk Fitri malam itu. Ini adalah keputusan berat sebenarnya, baik bagi Bapak Fitri maupun bagi Fitri. Pasalnya dia harus menyuruh putri semata wayangnya untuk berhenti sekolah karena keterbatasan biaya. Malam itu Fitri dan Bapaknya tengah duduk di ruang tamu rumah mereka dengan beralaskan tikar anyaman dan setoples kerupuk di hadapan mereka.
"Nanti kalau Bapak punya uang, kita lanjutkan lagi ya," ucap Bapak Fitri dengan suara yang sedikit bergetar.
Fitri menunduk. Pikiran dan hatinya sedang berkecamuk. Fitri tahu perekonomian keluarga mereka. Bapaknya hanya pemulung. Pasti kalian berpikir, 'kenapa tidak cari pekerjaan lain, bukankah banyak pekerjaan dengan gaji yang lumayan?'. Sayangnya, mencari pekerjaan bukanlah sesuatu yang gampang apalagi bagi Bapak Fitri yang hanya menempuh pendidikan sampai kelas 5 SD. Ijazah SD-nya saja tidak ada. Ibu Fitri juga tengah sakit yang lumayan parah. Sering bolak-balik ke rumah sakit untuk periksa. Entah apa nama penyakitnya Fitri tidak hafal. Bapaknya mengeluarkan biaya banyak untuk itu dengan penghasilannya yang pas-pasan. Terkadang penghasilan itu hanya cukup membeli kebutuhan pokok untuk dua sampai tiga hari kedepan.
"Iya, Pak. Gak papa kok. Fitri bisa belajar di tempat lain kan. Lagi pula ilmu tidak hanya didapat di sekolah saja." Fitri tersenyum lebar meksi tampak sekali raut sedih di wajahnya.
"Maafin Bapak ya, Fit."
Malam itu rumah Fitri yang sederhana terasa sesak. Dia baru kelas 5 SD dan akan lanjut ke kelas 6. Tapi sayangnya mimpi-mimpi harus terputus, atau mungkin jika Tuhan berbaik hati, dia akan punya jalan lain untuk bisa tetap sekolah.
Malam itu, Fitri tertidur dengan berselimut kain tipis seadanya. Masih bisa untuk menyelimuti tubuh dan menghalangi dingin menyentuh kulitnya, tapi sayangnya tidak bisa menyelimuti hatinya yang sedang hancur.
Malam itu, bantal butut di kamar Fitri basah karena air mata.
***
Dan saat ini Fitri memulung bersama Bapaknya. Sudah sekitar satu bulan ikut memulung, berarti sudah satu bulan juga dia tidak sekolah bersama teman-teman sepantarannya yang saat ini sudah duduk di bangku kelas 6 SD. Mereka berkeliling untuk mencari kardus bekas, botol bekas, besi tua dan apa saja sepanjang itu bisa ditukar menjadi uang.
Fitri kembali pada Bapaknya yang duduk di trotoar melepas penat. Fitri memegang erat cup es jeruk yang tampak segar sekali. Apalagi di cuaca panas seperti ini.
"Coba deh Bapak minum ini. Ini enak banget, Pak." Fitri riang sekali menyodorkan minum jus jeruk pada Bapaknya yang dia beli tadi di kedai penjual minuman di seberang jalan sana.
"Ini manis sekali ya." Bapak Fitri meminum satu dua kali. Lalu menyodorkannya pada Fitri.
"Bapak kok minumnya cuma sedikit?" Fitri bertanya.
"Sudah minum kamu saja. Kamu haus sekali tadi kan," tutur Bapak Fitri.
"Cepat habiskan ya. Kita harus berpindah-pindah tempat lagi," lanjutnya.
Mereka memang memulung tidak hanya satu tempat saja. Sepanjang jalan mereka susuri mencari barang-barang bekas untuk dijual.
Fitri membantu bapaknya memasukkan satu dua karung berikan barang-barang bekas ke dalam gerobak. Mereka hanya segera pergi.
Soal sekolah. Jangan ditanya. Fitri sering menangis diam-diam. Dia ingin sekolah, itu keinginannya. Berseragam seperti teman-teman, berangkat pagi ke sekolah dengan bekal di dalam tas punggung.
Sambil mendorong gerobak, Fitri melirik Bapaknya. Bahkan senyum di bibir Bapaknya saat ini lebih berharga. Iya, Fitri harus memaksa ikhlas. Tuhan punya cara lain tentunya yang lebih indah.
Diselesaikan di Pamekasan, 21 Februari 2023
🥰
BalasHapus